Darma mengangkat alis ketika malam minggu ini, ia menemukan Adhisty di depan pintu rumahnya. Perempuan itu membawa tas besar dengan wajah kusut dan semrawut, sudah dipastikan ada masalah yang terjadi antara dia dan... Romi.
Tanpa dipersilahkan, Adhisty main masuk begitu saja setelah pintu membuka. Perempuan itu meletakan tasnya di foyer.
"Lo lagi kenapa ke sini?" tanya Darma saat menutup pintu.
Adhisty mengangkat bahu. "Kangen Mas Darma" jawabnya asal yang ingin ditoyor Darma. Sayang, posisi mereka jauh. "Semenjak tahun lalu lo cabut dari rumah, lo jarang balik kecuali ada ulang tahun, makan malam atau diadili."
Senyum miring tercetak di bibir Adhisty. Ia membalik tubuh lalu melangkah lebih dalam ke rumah.
Darma mengikuti. Sebagai saudara yang perbedaan umurnya hanya tiga tahun, mereka terbiasa bersama. Dulu saat masih kecil, Adhisty hanya mau sekamar dengan Darma karena takut sendirian. Di masa remaja, sudah tidak terhitung berapa kali orang-orang mengira mereka pacaran. Dimaklumi mengingat Darma punya tubuh tinggi dengan kulit sawo matang akibat sering main basket sementara Adhisty malah bertubuh kecil dan mungil dengan kulit putih, menurun dari sang ibu.
Mereka sering bertukar cerita tentang apapun. Darma adalah sahabat baik Adhisty. Adhisty adalah sahabat baik Darma. Sahabat yang ditentukan oleh darah.
Siapapun yang mau mendekati Adhisty pasti harus bisa mendekati Darma. Pawang pertama, kalau kata orang. Dan Darma tidak akan segan-segan menghajar siapapun yang menyakiti adiknya.
Ketika adiknya mulai masuk kuliah, Darma mulai melonggarkan cengkramannya perlahan. Dinamika hubungan mereka mulai merenggang. Privasi mulai terbentuk satu sama lain. Masing-masing dengan dunianya.
Adhisty berpacaran dengan Romi—Romeo Wiguna—di tahun ketiga kuliahnya. Darma mengenal Romi dengan baik. Pacar adiknya itu seumur Darma. Berasal dari keluarga dokter dan pemilik rumah sakit, Romi juga punya profesi yang sama dengan seisi keluarganya. Dia seorang yang bertanggung jawab, baik dan penyabar. Untuk pertama kalinya, Darma melepas Adhisty sepenuhnya pada Romi.
Romi memang memperlakukan adiknya itu seperti tuan putri. Tetapi, tak ada orang yang sempurna. Buat Romi, ketidak sempurnaannya terletak pada kesulitannya membagi waktu antara Adhisty dan pekerjaannya yang tak kenal waktu sebagai dokter residen spesialis bedah jantung.
Jadi, Darma yakin, dilihat dari Adhisty yang masih mengenakan riasan dan berpakaian sangat cantik, kedatangan Adhisty kali ini merupakan episode ke sekian dari pertengkaran dengan topik yang sama.
"Tumben lo ada di rumah! Nggak dugem," komentar Adhisty sambil berjalan ke arah dapur dan membuka kulkas khusus wine.
"Lo lagi ada masalah apa sama Romi? Ditinggal kerja lagi?" Tanpa menjawab pertanyaan Adhisty, Darma malah bertanya balik sambil melempar diri ke sofa. Ia melirik ke arah Adhisty yang sudah menuang wine pada gelas. "Masih jam delapan, udah minum aja."
"Hari ini mau nginep, ya?" Adhisty berucap tanpa menghiraukan Darma. "Nggak berencana bawa Mbak Salsa ke sini, kan? Atau Mbak Salsa ada di sini? Nggak apa-apa juga, sih. Gue bisa tidur di kamar biasa, Mbak Salsa kan tidur di kamar lo."
Darma memutar bola mata. Ia sudah bersumpah akan menunggu, jadi ia tidak boleh melanggarnya. Cukup satu—atau, dua—kali, ia melanggar batasan itu.
Ia menatap adiknya yang mendekat sambil memberikan satu gelas pada Darma. Alis Darma terangkat.
"Lo beneran lagi error, kayaknya," komentar Darma menerima gelas itu.
Adhisty melempar dirinya di sofa lain. Ia tak meminum anggur dalam gelas. Hanya menggoyang-goyangkan cairan itu perlahan, kontras dengan Darma yang sudah menandaskannya dalam sekali tegak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...