40. Disposable

14.6K 1.8K 98
                                    

P.S. aku double up. 39 & 40 ya. Kalau notifikasi membawa ke sini tapi belum bab 39, sila mundur satu bab.

*

Salsa melirik. Kebingungan memaknai kalimat Eno yang terkesan ambigu. Langit yang menguning tampak membuat semuanya jadi lebih dramatis. Kalau ini film-film roman picisan di bioskop, mungkin, akan ada lagu pelan mengalun.

"Jangan bercanda ah, Mas!" Salsa memalingkan wajah dengan kikuk.

Eno terkekeh. Ia mengibaskan tangannya. "Yah, yah, masih... lama," kata Eno lagi. Ia mengambil napas. "Nggak tahu kapan pastinya. Kamu keburu nikah sama orang lain, kali!"

Salsa memutar bola mata. Menatap sahabat kakaknya itu dengan sorot aneh.

"Aku kasihan sama Nolan. Pas dia datang pertama kali ke rumah Ayah dan Ibumu, kondisinya kacau."

Jantung Salsa serasa berhenti berdetak beberapa detik ketika mendengar penuturan Eno.

"Dia ketakutan. Sama aku pun takut. Butuh beberapa bulan untuk anak itu bisa tertawa-tawa lagi." Eno menjabarkan apa yang terjadi. "Saat itu, aku mikir, ke mana Salsa? Ke mana ayahnya yang katanya orang kaya itu? Kenapa dia ditinggal di sini sendirian? Demi Tuhan, aku pengin samperin kamu ke Jakarta!"

Omongan Eno yang berapi-api membuat Salsa menunduk. Ia bukan ibu yang baik. Ia yang saat itu masih berusia di tengah dua puluhan dan tidak tahu harus berbuat apa-apa langsung mengiyakan saat ayahnya mengambil Nolan. Ia yang terlalu naif dan merasa Ben akan berubah kembali luluh. Ia yang takut kehilangan segala yang dipunyanya, tetap bertahan, mengorbankan Nolan yang tidak bertemu dengannya hampir dua tahun—atau mungkin, lebih.

Salsa mengambil napas. lagi-lagi, dadanya terasa sesak.

"Kalau nggak karena cowok sialan itu... kalau nggak karena dia..." Suara isak terdengar mengisi langit kemerahan.

"Sa..." Eno mengulurkan tangan untuk mengusap lengan Salsa pelan. "Nggak apa-apa. Nggak apa-apa."

Salsa menunduk. Tangisnya kembali pecah. Rasa penyesalan datang bertubi-tubi. Mendengar Nolan bermain dengan ceria membuat dadanya sakit. Ia merasa kehilangan banyak momen dengan anak lelakinya.

Eno masih mengusap-usap lengan Salsa. Berusaha menenangkan Salsa yang sekarang bergetar hebat sambil menutup wajah.

"Aku lemah banget ya, Mas? Ya, Tuhan!"

"Nangis aja, Sa. Nangis sepuas-puasnya. Nggak apa-apa. Kamu boleh nangis, kok. Hidupmu pasti berat. Aku nggak tahu apa yang terjadi sama kamu, sih. Dan bukan tempatku untuk tanya-tanya. Yang aku tahu, kamu sudah berusaha yang terbaik. Kalaupun kamu melakukan kesalahan, kamu sekarang sadar dan berusaha memperbaiki.

"Nggak apa-apa kok. Setiap orang pernah punya salah. Setiap orang pernah gagal. Yang bisa dilakuin ya cuma bangkit lagi. Jangan nyerah sama hidupmu."

Salsa semakin menangis tersedu-sedu. Bahunya bergetar hebat.

"I don't know. Aku nggak tahu, Mas. Ini... berat banget. Rasanya, aku nggak pernah nemuin orang yang tepat." Salsa mengambil napas sejenak. "Hidupku kacau. Hancur, berantakan. Nggak ada yang sayang sama aku."

"Banyak, Sa. Banyak."

Salsa mendongak. Menampakan matanya yang basah.

"Kalau Pak Candra dan Bu Ayu—ayah dan ibumu—nggak sayang sama kamu, dia nggak akan mau nerima kamu bahkan nyaranin kamu cerai padahal dia tahu, semua orang di sini sekarang gunjingin kamu," kata Eno. Kalimat itu membuat Salsa mencelus. "Apalagi Ibumu. Kamu tahu Ibumu itu anak siapa. Aku denger dari Dina—sepupumu itu—katanya, Ibumu diadili sama kakekmu lantaran membiarkan kamu cerai. Bikin malu, katanya. Tapi, Ayah Ibumu lagi-lagi ngebela kamu habis-habisan. Bahkan, Ayahmu ngamuk-ngamuk karena mereka ngegunjing soal kamu yang katanya bercerai karena selingkuh."

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang