Salsa kembali menatap dirinya di cermin. Hari ini, ia resmi menjadi karyawan sementara Adhyaksa. Dan di hari pertamanya ini, Salsa tidak ingin tampil dengan penampilan yang buruk. Sebagai seorang profesional, Salsa selalu merapeli mantra yang sama.
Pekerjaan dan personal harus dipisah.
Jadi, sekacau apapun keadaannya kemarin malam atau pagi ini, Salsa harus tetap bisa memasang senyum, menampilkan kepercayaan dirinya, juga rasa semangat yang tinggi dalam bekerja. Ia mengambil napas, menghembuskannya, lalu memasang senyum.
Sekali lagi, ia memerhatikan penampilannya. Cekungan hitam di matanya sudah berhasil ia samarkan dengan concealer. Ia juga sudah memoles riasan untuk menutupi wajah pucatnya. Salsa menegakan tubuh. Walau punggungnya sakit akibat terbentur, ia tetap membetulkan posturnya.
Berjalan dengan langkah percaya diri, Salsa keluar dari toilet sebagai pribadi yang lain. Pribadi yang membuat siapa saja menengok ke arahnya. Ia menatap ke arah resepsionis di depan lobi kantor dengan senyum penuh percaya diri.
"Saya dari Dream Sky. Kemarin katanya disuruh kerja di sini per hari ini. Saya harus ketemu siapa dulu ya, jadinya?" tanya Salsa dengan tegas.
Si resepsionis perempuan itu buru-buru berdiri. Wajahnya terlihat begitu gugup. "Bu Salsa, ya? Tadi Bu Sela—sekretaris Pak Darma—ada info. Mari, Bu."
Salsa hanya mengangguk pelan. Kakinya mengikuti resepsionis memasuki lift. Matanya memicing ketika resepsionis tersebut menekan tombol lift untuk VIP dan membeliak saat melihat tombol yang ditekan si resepsionis mengarah ke lantai 47.
Lift terus membawanya ke lantai atas. Satu. Dua. Tiga. Empat.
"Saya bukannya di lantai 9, ya?" celetuk Salsa sebelum lift menyentuh angka sembilan.
Si resepsionis tersenyum sopan. "Bu Sela tadi bilang disuruh nganterin Bu Salsa ke lantai 47."
Mata Salsa membulat. Ia ingin protes namun tertahan. Pada akhirnya, ia hanya bisa diam. Mengikuti si resepsionis ke lantai 47.
Kaki keduanya melangkah di lorong-lorong sepi. Mereka berhenti tepat di depan sebuah ruangan. Salsa mengenal betul pintu ruangan yang berada tepat di seberang ruangannya. Ruangan Darma.
Ruangan itu tertutup. Tak ada suara sama sekali. Sela yang duduk di depan ruangan itu berdiri sopan.
"Nia, dari sini aku aja, makasih, ya," ucap Sela cepat.
Nia—resepsionis—tadi mengangguk sebelum beranjak pergi. Meninggalkan Salsa dan Sela di lorong.
"Mari, Bu Salsa." Sela membuka pintu. Menampilkan isi ruangan yang berada di baliknya.
Kini di hadapan Salsa, tampak ruangan yang besar dengan cat warna putih dan karpet abu. Meja besar dan kursi yang terlihat empuk—yang diyakini Salsa berharga fantastis demi menunjang k-ergonomisan—berada di pojok ruang. Sama seperti ruangan Darma, ruangan itu juga punya sofa yang diperuntukan untuk mengadapakan rapat. Tetapi, dari semua yang ada dalam ruangan, Salsa paling salah satu sisi dinding yang merupakan full height window—memberikan cahaya natural sekaligus pemandangan gedung-gedung tinggi.
"Ibu Salsa ruangannya sementara di sini, ya. Nanti kalau perlu apa-apa, bisa panggil saya. Kata Pak Darma, saya nanti yang bantu-bantu ibu juga."
Salsa melongo. Ia mengerjapkan mata tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Bukannya saya di lantai sembilan?" Salsa malah mengulang pertanyaannya pada Nia ke Sela.
Sela tersenyum tipis. "Kata Pak Darma, lebih mudah kalau Bu Salsa di sini. Lebih gampang kalau ada apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...