8. Walking Pheromon

24.8K 2.2K 61
                                    

"Oke, Pak Kresna, terima kasih. Nanti, saya minta tolong dikirim saja ya hasil penyidikan dan dokumen lainnya."

Kalimat Salsa itu mengakhiri sesi panggilannya dengan Kresna, pengacara yang menangani kasus Darma. Perempuan itu meletakan ponselnya. Ia memutar kursi, kembali menatapi pemandangan gedung dari jendela besarnya. Hidungnya menghela napas sambil jari jemari menyentuh bibirnya. 

Jam di dinding masih menunjukan pukul sebelas siang. Masih ada banyak waktu sebelum hari berakhir dan masih ada 89 hari lagi sebelum Salsa hengkang dari gedung ini. Tetapi,  rasanya, ingin Salsa menciut dan tidak bertemu dengan Darma lagi.

Ciuman itu masih membekas. Membuat dadanya sesak. Padahal hanya sepersekian detik dan Darma langsung melenggang dengan santai tanpa beban, tetapi, kepala Salsa pusing tak terkira. Salsa yakin, kalau sekarang tensi dan denyut nadinya dihitung, ia berani taruhan kalau angkanya tidak akan normal.

Dengan helaan napas yang sudah kesekian kalinya, ia membalik badan untuk menatap laptop. Draf rilis yang sangat berantakan masih bertengger di aplikasi Microsoft Word. Di sebelah laptop, tampak buku catatan Salsa dengan tulisan tangan berantakan berisi catatan tentang hal yang baru saja ia bicarakan dengan Kresna. Biasanya, Salsa langsung bisa mengetik dengan luwes setelah mendapatkan informasi yang ia butuhkan. Sayangnya, kali ini, otaknya membeku.

Tak hanya perkara ciuman, telepon Naya beberapa puluh menit ketika Darma pergi membuatnya membeliak. Ben datang ke kantor Dream Sky dan mengacau. Ia marah-marah dan meminta Salsa keluar. Untung saja Ben berhasil diusir satpam. Tinggal menunggu waktu kapan Ben tahu bahwa Salsa tengah bekerja di gedung Adhyaksa untuk sementara waktu. Dan jika saat itu tiba, mungkin, Ben akan kembali membuat onar.

"Salsa, come on!" Ia berbisik pada dirinya sendiri seraya menunduk dan menopangkan dahi di tangan. Ia tidak bisa berpikir. Mana yang membuatnya gila, Ben atau Darma?

Bicara Ben, Salsa sudah menghubungi Tia untuk meminta bantuan. Tia—jelas—dengan senang hati memberikan tumpangan. Ia juga dengan cepat mencari-cari apartemen yang bisa disewa. Dalam lima belas menit, Tia sudah kembali dengan beberapa nomor agen penyewaan apartemen. 

Sementara, mungkin, besok, setelah keadaan lebih tenang dan isi kepalanya sudah lebih terurai, Salsa akan menelepon ayah ibunya untuk menjelaskan keadaannya. Juga, mungkin, menjemput Nolan yang tahun depan akan masuk sekolah dasar.

Suara ketukan pintu terdengar seraya dengan suara Sela dari depan membuyarkan lamunan Salsa. Perempuan itu menepuk pipinya pelan, mengubah ekspresinya sebelum menghela napas.

"Masuk, Sel," ucap Salsa cepat.

Sela membuka pintu. Tubuhnya menyembul dari balik papan kayu itu dengan tumpukan koran dan majalah di tangan juga gunting dan lem.

"Bu Salsa, ini majalah sama korannya mau saya taruh di mana?" tanyanya.

Salsa buru-buru berdiri karena tak enak. Ia langsung menghampiri Sela dan membantu bawaan asisten pribadi Darma tersebut. "Di sini aja, Sel," ucapnya menunjuk ke meja pendek sofa. "Ini udah semua korannya yang ada di daftar dan yang dibeli sama tim corcomm di sini?"

"Iya, Bu."

Salsa mengangguk. "Besok dan selanjutnya setiap hari saya minta dipesenin satu set lagi, ya. Buat media monitoring, soalnya. Kira-kira, saya harus mintanya bagaimana atau persetujuan siapa? Apa Bu Andin?"

Sela menggeleng buru-buru. "Nggak perlu, Bu. Nanti, saya saja yang bantu pesankan saja."

Salsa mengerutkan dahi. Ia ingin menyuarakan kebingungannya untuk kemudian tersadar bahwa dirinya dipekerjakan secara pribadi oleh keluarga Adhyaksa, bukan tim korporatnya.

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang