P.S. aku double up. 39 & 40 ya, kujeda setengah jam biar gak ketukar
*
Salsa membelalak ketika melihat dua sepeda di depan toko yang merangkap sebagai rumahnya. Setelah berberes dan menutup toko, Eno bilang ia pergi sebentar sementara Salsa memutuskan untuk bersiap dengan Nolan.
"Sepeda siapa?" tanya Salsa mengerutkan dahi melihat sepeda tersebut. Kedua sepeda itu sudah tua. Beberapa besinya sudah berkarat.
"Sepedaku. Satu lagi, sepedanya Eni, masih dipakai sampai awal tahun kemarin." Eno mengucapkan nama adiknya. "Tapi, Eni udah nikah, jadi, udah nggak di sini, sepedanya nganggur."
"Oh..."
Senyum merekah dari bibir Eno sementara ia mendorong sepeda itu ke arah Salsa. "Anak kota masih bisa main sepeda, kan?" ejeknya.
Salsa mencibir. Ia menengok ke bawah, melihat Nolan yang beraut kesenangan. "Kita mau main sepeda? Asik!" Anak kecil itu berlari-larian kembali ke dalam rumah. Dari teriakannya, Salsa bisa mendengar Nolan berbicara dengan Ayu untuk mengambil sepedanya.
Tak lama, Nolan sudah keluar bersama sepeda biru kecil miliknya. Bersepeda sore memang menyenangkan untuk siapapun.
"Ayo, Sa. Kita jalan yang deket-deket aja. Taman tempat main, misalnya." Eno duduk di atas sepedanya. "Nolan pelan-pelan juga, ya?"
Anak kecil itu mengangguk. Ia juga menaiki sepedanya.
Sejenak Salsa tertegun. Naik sepeda bertiga. Ada rasa berat yang menggelayut di dada. Sebuah momen yang sejak lama Salsa rindukan untuk dijalani. Dirinya, Nolan dan... tunggu! Ia menggeleng perlahan. Kenapa di otaknya malah ada Darma?
"Mama nggak naik?" Suara Nolan membuat Salsa terkesiap. Perempuan itu buru-buru menaiki sepedanya. Mengayuh pelan dengan Nolan yang berada di depan dan Eno yang berada di sisinya.
Angin sejuk sore menghantam pipi. Segala yang ia lewati terasa bergerak perlahan. Tak ada yang memburu, tak ada yang mengejar, semua benar-benar begitu... santai.
Kalau dipikir-pikir, kapan terakhir kali Salsa menikmati waktu bersantai seperti ini? Kapan Salsa menikmati hidupnya sendiri?
Sepeda terus dikayuh hingga mereka berhenti di sebuah taman umum. Ketiganya menepikan sepeda. Nolan berlarian ke anak-anak lain dan dengan cepat berbaur. Dari obrolan mereka, seperti, mereka sering bermain bersama.
Salsa duduk di salah satu kursi dan Eno di sebelahnya. Mereka memandangi taman bermain kecil itu. Taman yang sama dengan yang mereka datangi ketika masih kecil.
Saat ini, mainan-mainannya sudah diganti dengan yang lebih modern. Masih ada beberapa yang masih tersisa, tetapi rata-rata sudah berkarat atau sudah dikumpulkan ke tepi taman sebagai sampah.
"Kamu ingat nggak, Sa? Dulu, kamu jago banget main itu... palang senam itu."
Salsa menengok, ia menatap ke arah dua palang back hip circle yang kini terlihat begitu kecil dan pendek. Apa memang dari dulu sependek itu? Yang satu setinggi dada dan sudah rusak. Sementara, yang sering dimainkan Salsa tingginya lebih pendek dari pinggang. Dulu, rasanya, menyeramkan sekali untuk berputar-putar di sana.
Ia juga ingat, betapa Eno menahan napas saat memperhatikannya berputar-putar di palang itu. Hingga mulut Eno tak bisa terkatup karena cepatnya putaran yang Salsa lakukan.
Tetapi, Eno sama sekali tidak bisa berputar di sana. Berkali-kali ia mencoba, yang ada, ia hanya jatuh dan jatuh lagi di tanah berpasir lalu berakhir dengan wajahnya yang kotor. Ia ingat bau besi berkarat dan tangannya yang lecet saat mencoba berputar. Semua itu seperti terasa baru kemarin.
"Sayang kita nggak ada palang senam yang tinggi karena yang itu udah rusak—keropos." Eno berucap pelan.
"Kalau ada, Mas Eno mau sombong karena udah bisa muter, gitu?"
Eno tertawa. Ia menggeleng. "Aku belum tentu bisa muter lagi sih, Sa." Ia menarik napas. "Badanku nggak sekecil dulu."
Salsa terkekeh. Ia kembali melirik ke arah palang yang tak diminati orang-orang lain itu. Dulu juga begitu. Selain Eno, tak ada yang berputar di sana.
"Kamu masih SD waktu itu, ya? Terakhir kamu di sini pas kelas enam, kan? Surya dan aku udah SMA waktu itu. Kita beda lima tahun." Eno seperti menghitung. "Kamu nggak pernah balik ke sini setelahnya."
Salsa mengangguk kecil. Ia kembali memerhatikan anak-anak yang bermain.
"Aku kaget pas denger kamu nikah." Eno berucap lagi. Matahari mulai menjingga. Senja mulai datang menyapa.
Salsa menengok. Ia menatap wajah serius Eno. Lelaki itu masih berfokus pada palang senam di sana.
"Waktu aku lihat-lihat Facebook kamu, aku sadar, aku sama kamu, berada di dunia yang berbeda." Eno menerawang. "Kamu cantik, pintar, terus kerjanya di gedung tinggi."
Salsa menepuk pundak Eno. "Ngomong apa sih, Mas? Ngaco!" Ia tertawa kering. "Mas Eno juga pintar! Dulu selalu juara kelas, toh?"
"Yah, percuma pintar kalau misalnya nggak bisa sekolah." Eno mengambil napas. Ia menatap ke arah lapangan tempat Nolan dan teman-temannya bermain. "Aku setiap lihat Nolan, inget kamu, tahu? Anak itu tengilnya mirip kamu!"
Salsa lagi-lagi tertawa. "Kok tengilnya, Mas?"
"Ya, emang tengil! Kamu lupa, dulu, kamu tuh iseng banget!" Eno mengejek. "Eh, tapi nangis pas dijahatin Doni."
Salsa mendecih. Ia ingat Doni dan gengnya. Para perisak nomor satu di sekolah dengan badan besar dan kelakuannya yang kasar. "Kalau nggak karena mereka takut sama Mas Eno dan Mas Surya, aku rasa, Doni bakalan terus ngerjain aku, deh!"
"Yah..." jawab Eno dengan anggukan. "Dia masih kecil, mana berani sih?"
Salsa tertawa. Anak SD mana yang berani melawan anak SMA?
Eno lagi-lagi melihat Nolan yang sekarang tengah tertawa-tawa karena berhasil mencetak skor di gawang. "Duh, Nolan lucu, ya? Pengen kuadopsi aja jadi anak. Sayang, kalo mau adopsi anak, harus nikah dulu!" Eno berucap sebal. "Padahal, aku sayang banget sama Nolan."
"Loh, emang iya? Harus nikah dulu?"
Dagu Eno terangguk. "Harus nikah dan umur sudah 35 tahun. Umurku akan 35 tahun sih tapi aku belum nikah."
"Belum nikah?" Salsa tak percaya. Nadanya bahkan meninggi.
Eno mengangguk pasti. "Belum," ucapnya yakin.
"Pacar, belum punya juga?"
"Belum, urusanku banyak, Sa." Eno tertawa. "Kalau aku punya istri pas umurku masih dua puluhan, istriku itu mau makan apa!" Ia menggeleng tak habis pikir. "Sekarang sih, semenjak aku mulai diangkat Ayahmu jadi penanggung jawab toko, gajiku lebih baik, tabunganku udah cukup. Jadi, aku lagi nyari sih, tapi nggak tahu, deh. Aku udah tua!"
"Ih, Mas! 35 tahun belum tua-tua banget, ah!" Salsa terkekeh sambil mengibaskan tangan.
"Di Jakarta, mungkin, ya? Di sini, lihat Joni? Anaknya sudah tiga!" Eno menunjukan angka tiga dengan jarinya. "Tapi, ya, sih. Aku mau ngumpulin uang. Mau sekolah lagi."
"Hm?"
"Mau kuliah, Sa. Telat nggak, ya?" tanya Eno menerawang. "Biar bisa kerja kantoran, terus bisa punya hidup yang layak. Biar nanti kalau nikah, anak istriku bisa makan yang enak. Bisa punya mobil ber-AC." Ia diam sejenak. Senyum jahil mengembang di bibirnya. "Habis itu... adopsi Nolan. Kasihan kalau Nolan tinggalnya di rumah gubuk."
"ENAK AJA!" sergah Salsa buru-buru. "Nolan anakku, ya!"
Tawa Eno pecah. Wajah sebal Salsa terasa menyenangkan untuk dinikmati berlama-lama.
"Iya, kamu ibunya. Dia belum punya ayah, kan?" Eno menyambar asal. "Maksudnya, dia punya ayah, tapi, ayahnya bajingan. Aku bisa jadi ayahnya Nolan."
Salsa terkesiap. Ia mengerjapkan mata tak percaya.
"Kalau aku jadi ayahnya Nolan, cocok, nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...