4. Your Own Happiness

28.4K 2.5K 81
                                    

"So, Adhyaksa? Darmantara? Yang paling sulung?"

Seorang perempuan berbaju kuning tampak duduk di sebelah Salsa. Di antara mereka, terhampar dua cangkir kopi yang menemani sore. Pisa Kafe sore menjelang malam itu terlihat mulai ramai dengan para budak korporat di sekitar Thamrin dan Menteng yang tengah mencari penghiburan di antara waktu-waktu sibuknya. Termasuk Salsa yang malam ini memutuskan untuk bertemu Tia, sahabatnya sejak SMA.

"He is so hawt, right?" lanjut Tia pura-pura mengibaskan tangannya.

Lagi, Salsa hanya bisa mendesis kecil. He is so hot indeed. Tubuhnya yang kekar terbungkus kemeja warna gading dengan celana abu slim fit itu begitu menggoda. Caranya berbicara membuat Salsa terbius. Salsa butuh kekuatan ekstra untuk menahan dirinya sendiri dan mengingat tiga hal paling penting. Pertama, Darma lebih muda. Kedua, ini hanya pekerjaan, dan ketiga... statusnya.

"Gue pernah ketemu dia pas jemput adiknya—Adhisty—pas lagi sesi pemotretan, sumpah, dia ganteng banget! And he smells so good!"  Tia berucap dengan memajukan tangan di depan dada sambil memberikan gestur mencekam gemas.

Salsa sudah hapal segala cerita Tia soal Adhyaksa. Sahabatnya itu bekerja di sebuah majalah wanita muda sebagai editor dan Adhisty adalah salah satu orang yang pernah menjadi wajah dalam sampulnya. Hanya sekali. Itu pun tahun lalu. Tetapi, Tia masih terus menceritakannya hingga detik ini. Bahkan, ketika Salsa mendapatkan proyek—pertama dan terakhir—dari Adhyaksa, Tia segitu inginnya ikut sambil berandai-andai jika bisa bertemu Darma.

Jelas hasilnya nihil. Karena itu adalah proyek korporat dan pihak keluarga Adhyaksa tak ada satupun yang turun ke lapangan.

"Ya, ya, ya, he is!" ucap Salsa mengibaskan tangan. Semua yang dikatakan Tia tentang Darma sejak tahun lalu benar adanya. He is so gewd.

"Jadi, lo bisa ketemuin gue sama Darma?" tanya Tia dengan binar di matanya.

Salsa memutar bola mata. "Menurut lo?"

"Come on! Lo PR-nya Adhyaksa, sekarang." Tia terkekeh."Ralat! Personal PR staff-nya Darmantara Adhyaksa Putra."

Desisan keluar dari sela bibir Salsa. "Bukan artinya gue bisa sembarangan ajakin dia ketemuan! Lagian, kalo Darma ketemu sama lo, entar jadi skandal baru lagi! Soalnya, lo ribet!"

Tia tertawa mendengar Salsa yang menggerutu. Ia—dan semua orang—sudah tahu apa yang menimpa Darma.

"Jadi, itu beneran nggak, sih?" tanya Tia penasaran. Ia menurunkan volumenya. "Main sama anak SMA?"

Salsa mengangkat bahu. "Gue belum cross check ke tim hukum mereka," jawabnya sebelum menyesap teh. "Tapi, dia ngakunya nggak tahu apa-apa dan cuma bayar aja apa yang ditawarin temennya. Jadi, gue mau bikin perspektif korban di rilis nanti."

"Lo yakin?" Tia melipat tangan. "Seburu-buru itu lo bikin rilis?"

Salsa tak menjawab. Ia mengaduk-aduk minumannya.

"Lo bisa ulur beberapa hari lagi, sih. Nggak harus buru-buru. Nanti, bumerang kalau ada masalah lanjutan, loh!" ucap Tia memperingati.

Dagu Salsa terangguk. Ia sepertinya terlalu gegabah. Mungkin, Salsa bisa mengonfirmasi ke pengacara yang dipakai Darma lebih dulu untuk mengetahui progress kasus tersebut.

"Terus, Ben nggak marah?" Suara Tia terdengar begitu hati-hati.

Salsa mengambil napas lalu menghelanya keras-keras. Ia mengangkat bahu kirinya. "Does he really need to know about the details? Terakhir kali dia tahu kerjaan gue dan ada cowok yang involved di sana, dia marah gede."

"Sa, it's more than 'marah gede', ya." Tia menunjuk dengan telunjuknya. "He is a psycho!"

Salsa membuang pandangan sesaat. Ia memerhatikan orang-orang yang lewat, pengunjung yang mengobrol atau pelayan-pelayan yang berlalu lalang.

"Lo seharusnya pisah sama dia, sih. Gue udah berbusa ngomongin ini sama lo, but, dengan lo terus-terusan sama dia, lo menghilangkan banyak banget kesempatan buat ketemu cowok yang lebih baik." Tia berkhotbah.

Salsa mendengung untuk meningkahi ucapan Tia yang sepenuhnya benar. Perempuan itu  menarik napas.

"Misalnya, Darma, gitu!"

"Ngawur, ya?" Salsa berdecak yang diiringi dengan tawa Tia.

"Ya, siapa aja, lah! Yang pasti yang lebih baik dari Ben!" ucap Tia kesal. "Ben tuh ganteng di awal, ujungnya boo banget!"

"Ya, bisa aja—misal, Darma—juga kayak gitu, kan?" Salsa mengangkat bahu. "Sekarang aja, si Darma Darma itu udah kena kasus yang faktanya masih abu-abu. Ganteng, kaya raya, terlihat pintar, tapi... dengan sengaja mencabuli anak SMA. Gue skip banget, sih!"

Tia memutar bola mata. "Ya, nggak harus Darma, sih. Dan mungkin, buat mental notes lo ke depan, kalau pacaran dan jatuh cinta itu melek—buka mata—bukannya buta sebuta-butanya!" 

Salsa mendengkus. Omongan ini bukan satu dua kali terjadi. Tia sudah  terlampau punya hubungan tidak baik dengan Ben. Awalnya, semua berjalan baik-baik saja. Ketika Salsa sering nongkrong dengan Tia, Ben terlihat biasa saja. Tetapi sekarang, Ben jadi tak suka dengan alasan yang tak jelas. 

Katanya, Tia membawa pengaruh buruk. Apalagi, Tia belum menikah dan tidak mau berkomitmen di usianya yang sudah kepala tiga. Perempuan itu bahkan terang-terangan memutuskan untuk melajang entah sampai kapan.

"Gue nggak ngerti, kenapa dia memenjarakan lo dalam cengkramannya dan membuat lo nggak bisa bergaul dengan siapapun? Oke, kalau cowok, gue bisa ngerti. Kalau gue? Cewek loh!" Tia menunjuk dirinya sendiri. "Kenapa dia harus ngelarang lo ketemu gue? Ketemu temen-temen lo yang lain?"

Lagi, Salsa hanya bisa diam mendengar Tia yang terbakar amarah kalau sudah menyangkut tentang Ben. Tia bahkan jadi teman terakhir Salsa yang masih mau bertemu. Sisanya sudah malas. Dengan alasan yang sama: Ben. Katanya, Ben beberapa kali menghampiri mereka lalu marah-marah tidak jelas bahkan di depan umum seperti melabrak maling ayam. 

"Terus, dia juga nggak suka lo pulang malam kalo ngantor. Hell! Lo kerja di agensi, what does he expect?" Tia menaikan nada.

Salsa mengangkat bahu. Ia tidak tahu.

Mata Tia melirik ke arah jam tangannya. "Taruhan, sekarang pasti Ben lagi neleponin lo dan lo nggak angkat-angkat." Ia melirik ke arah tas Salsa. "Bener, nggak?"

Salsa memberengut. Dari setadi, ponselnya bergetar dan hanya Ben yang meneleponnya.

"Lo mau sampai kapan sama cowok sakit jiwa begitu, sih?" Tia menggelengkan kepala untuk ke sekian kalinya. "Lo itu bisa bahagia dengan diri lo sendiri. Lo punya karir yang lumayan, lo berpenghasilan—untung lo nggak berhenti kerja dan ikut perusahaan keluarganya, lo juga cantik. You deserve someone better!"

"Tapi, apa kata orang,  Ti?" Suara Salsa bergetar.

Tia mengangkat satu alis.

"Apa kata orang kalau—"

"—Masih mentingin kata orang lo?" Tia melirik sinis. "Pentingin tuh kebahagiaan lo sendiri! Bahagia nggak lo sama Ben? Selama ini, apa dia nge-treat lo dengan baik?"

Salsa merunduk. Ada rasa berat menghantam dadanya. Ben tidak memperlakukannya dengan baik.

"Gue bukannya mau ngomporin lo, gue tahu, gagal dalam hubungan itu nggak enak. Tapi, percaya gue, mending lo akui kalau hubungan kalian gagal dan hancur sekarang. Mending, lo tinggalin cowok gila itu sekarang juga. Or else, hancur lo akan semakin menjadi-jadi dan lo nggak tahu gimana cara bangkit lagi."

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang