6. Unforgiven

23.5K 2.3K 130
                                    

⚠️triggered warning: domestic abuse.

Sejujurnya, aku juga agak ke triggered dan berniat meng unpublish bab 5 dan 6 ini lalu kuceritakan nanti jadi narasi singkat kayak wira kemarin.

Aku masih kontemplasi. Jadi, kupublish dulu. Mungkin hari Senin, aku unpub sekalian revisi isinya.

*

Alarm pagi membuat Salsa mau tak mau membuang semua rasa kantuknya. Ia mengucek matanya yang bahkan belum tertidur sama sekali. Semalaman, suara gedoran pintu terus terdengar hingga akhirnya reda dengan sendirinya. Semalaman juga, Salsa menangis tanpa henti. Tak ada yang bisa ia lakukan, semuanya terasa buntu.

Dengan enggan, ia bangkit berdiri. Kakinya melangkah ke kamar mandi. 

Membuka pakaian dan menatap dirinya sendiri, mata Salsa menemukan dirinya sendiri di cermin. Sepanjang tangannya, tampak memar kebiruan. Di lehernya juga tampak bekas cekikan Ben yang belum pudar. Another day to use turtle neck. Rasanya, ia ingin mengutuki semua kegilaan ini.

Salsa dan Ben bertemu di tahun ketiga perkuliahan. Tak perlu bertanya, Salsa tahu, Ben jauh dari kata berkecukupan. Ia hidup berkelimpahan. Di saat yang lain naik angkutan umum, Ben sudah naik sedan BMW keluaran terbaru. Ia sudah bisa petantang-petenteng dengan ponsel Nokia Communicator dengan tombol qwerty ketika yang lain bahkan masih menggunakan kibor sembilan angka.

Saat itu, tak ada yang janggal dengan Ben. Ketika Ben mendekatinya, semua tampak baik-baik saja. Ben begitu baik, begitu manis, begitu ramah. Ia diperlakukan bagaikan tuan putri, dengan segala fasilitas yang bisa diberikan. Ben juga tak sungkan menunjukan kemesraan di depan banyak orang. Ia juga punya tutur kata yang lembut.

Dan semua itu yang membuat Salsa begitu terpikat hingga memberikan mahkotanya pada lelaki tersebut.

Hubungan mereka masih baik-baik saja setelahnya. Hingga, kelulusan datang.

Salsa mulai perlahan meniti karirnya. Ia diterima di Dream Sky, agensi yang jadi incaran banyak lulusan perhumasan. Sementara, Ben yang ditolak di berbagai perusahaan memutuskan untuk melanjutkan bisnis keluarga.

Kesenjangan komunikasi mulai terjadi. Salsa menjadi begitu sibuk sementara Ben begitu lowong. Mereka mengupayakan segala cara termasuk menikah—yang mereka anggap sebagai salah satu jalan keluar. Nyatanya, pernikahan malah membawa Salsa ke dalam kehancuran yang lebih fatal.

Fatal karena nyatanya, Salsa masih tetap ngotot untuk bekerja ketika Ben pikir, pernikahan bisa membuat Salsa mengundurkan diri dari pekerjaannya dan menghabiskan waktu bersama lelaki tersebut.

Salsa menghela napas seraya memutar knop air. Ia membiarkan pancuran menyiram air dingin pada bekas luka dan memar yang ditimbulkan. Kepalanya menunduk seraya mencari-cari cara penyelesain dan akar masalahnya.

Sayangnya, akar permasalahan itu berkembang semakin pelik. Salsa sudah tidak bisa mengurutkan lagi setelahnya. Ben jadi paranoid. Ben meracau tak jelas. Mulai dari menuduh Salsa selingkuh atau menyatakan bahwa Salsa bekerja untuk mencemooh Ben yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan selama ini. Semua paranoia berkumpul jadi satu.

Ben melarang Salsa pulang lewat dari jam tujuh dengan alasan harus memasak dan melayani suami. Ben melarang Salsa berpakaian terbuka barang sedikit saja—harus pakaian berlengan yang kebesaran dan tangan panjang. Ben bahkan melarang Salsa punya teman. Katanya, teman membawa pengaruh buruk.

Dan kalau tidak dituruti, ia bisa jadi gila tanpa sebab, berteriak-teriak seperti orang kesetanan, memukul dan melakukan kekerasan. Seperti kemarin malam.

Sudah tak terhitung berapa banyak pukulan yang Ben layangkan. Sudah tak terhitung juga berapa memar yang hilang berganti. Rasanya, Salsa sudah tidak sanggup dengan semua ini.

Dengan sisa waktu yang ada, Salsa mengambil tas besar dan memasukan pakaiannya. Tidak banyak, tetapi setidaknya beberapa pakaian dan barang penting sudah masuk ke dalam sana. Tangannya dengan cepat mengemasi segala yang harus ia bawa.

Salsa belum tahu ke mana ia akan tinggal. Pulang tak akan mungkin. Rumah orangtuanya berada jauh di Purwodadi.

Mungkin, mencari hotel murah atau menginap di apartemen Tia—kalau diijinkan—sembari mencari kos atau apartemen studio yang bisa disewa. Yang jelas, Salsa ingin pergi. Salsa ingin pergi secepat yang ia bisa. Ia ingin berhenti.

Tetapi, setiap kali ia ingin berhenti, Ben akan menangis-nangis, meraung dan memukuli dirinya sendiri. Seperti, pagi ini ketika Salsa membuka pintu dan menemukan Ben berlutut di lantai.

"Sa, maafin aku," ucap Ben dengan isak.

Salsa menggeleng pelan. Ia berjalan melewati Ben. "Ben, aku mau cerai. Ini cukup, aku udah nggak sanggup."

"Sa... Please," pinta Ben lagi.

Salsa bergeming. Ia bahkan tak berbalik badan.

"Sa... please, Sa.." Suara Ben tampak kembali memburu. Ia berjalan ke arah Salsa. Sebelum menampar-nampari dirinya sendiri. "Sa, maafin aku. Maaf... Maaf... Maaf... Ma—"

"—Enough, Ben!" pekik Salsa dengan kencang. "Cukup! Aku mau cerai! Titik!"

"Salsa!"

Salsa masih berjalan terus ke arah pintu.

"Sa! Kenapa sih kamu egois banget?" Suara teriakan Ben menggema. "Kamu cuma mikirin diri kamu sendiri, tahu?"

Salsa menahan napas. Ia tidak ingin merespon pancingan Ben.

"Kamu nggak lupa kan kalau masih ada Nolan di antara kita!?"

Teriakan itu membuat Salsa terdiam. Ia mengeratkan pegangan tasnya. Satu lagi alasan kuat mengapa Salsa tidak bisa memutuskan perceraian seenaknya; Nolan, buah cintanya dengan Ben yang berusia lima tahun dan kini diasuh di Purwodadi oleh ayah dan ibu Salsa.

"Kamu tahu kenapa aku marah? Kenapa aku nggak suka sama pekerjaanmu?" Ben berucap. Kali ini, nadanya mulai meninggi akibat merasa di atas angin. "Karena pekerjaanmu bikin kamu bahkan nggak bisa ngurusin Nolan sama sekali."

Salsa membalik badan. Kini, raut marah tampak dari wajahnya. Ia mengepalkan tangan erat-erat. "Ben, aku mau ngurus Nolan. Tapi, kamu yang mutusin untuk nitipin Nolan ke Ayah dan Ibu."

"Iya, karena kamu nggak mau ngalah dan berhenti dari pekerjaanmu." Ben menunjuk Salsa dengan pandangan menuduh. "Kamu egois! Kamu nggak mikirin anak kita."

Salsa mengambil napas. Ini seperti lagu lama untuknya. Perdebatan pertama selalu tentang Salsa yang tidak bisa mengurus Ben, lalu kartu kedua adalah Nolan. "Banyak ibu bekerja dan itu sah-sah aja!" bela Salsa untuk dirinya sendiri. "Aku bisa titip Nolan ke daycare dulu terus jemput sore-sore. Tapi apa yang kamu lakuin, hah?"

"Daycare? Kamu lebih percaya daycare?" Ben kembali menaikan nada. "Lihat, kan? Kamu bahkan benar-benar nggak mau bertanggung jawab untuk Nolan sama sekali! Kamu lebih pentingin karir kamu atau jadi pelacur di kantormu itu!"

Salsa mengerang. "Kamu tahu alasan aku kirim Nolan ke tempat Ayah dan Ibu?" tanya Salsa berang. "Karena kamu tiba-tiba tantrum dan ngehajar Nolan sampai dia nggak mau ketemu kamu atau masuk ke rumah ini lagi. Kamu lupa?"

Ben menegang. "Itu semua cuma akal-akalan kamu, Sa!" balas Ben. "Kamu mau ngarang cerita apa lagi, sih?"

"Aku? Ngarang cerita? Ayo kita ke rumah Ayah dan Ibu sekarang terus lihat apakah Nolan mau ketemu kamu atau nggak!"

Tangan Ben terkibas. Ia menampakan wajah tak suka. "Intinya, Sa, kalau kamu nggak sok-sokan kerja kayak gitu, semua nggak terjadi. Ini semua salah kamu! Kamu!"

Salsa menahan napas. Bentakan keras dari Ben lagi-lagi membuatnya terkaget hingga hampir menangis.

Salsa terus menjaga sikap. Ia tidak boleh terlihat lemah.

"Terserah!" teriaknya. "Aku mau cerai dan aku nggak mau tahu tentang kamu lagi!"

Salsa tidak peduli. Ia berlari secepat kilat ke arah mobilnya, melompat masuk lalu mengendarai mobil itu untuk pergi ke kantornya. Meninggalkan Ben yang masih berteriak-teriak di depan rumah.

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang