38. Unfair

13.9K 1.5K 27
                                    

"Sa, minta tolong catatin pesanan Pak Ali!" Teriakan Eno memecah siang yang sibuk ini.

Salsa tengah berada di meja kerja pojok ruangan agak tersentak dari lamunan ketika Eno berteriak. Perempuan itu mengambil bon nota lalu mencatat pesanan yang dibacakan Eno. 

Satu minggu sudah Salsa berada di Purwodadi. Darma benar-benar hilang. Berita tidak serta merta reda, walaupun memang perlahan begitu saja menguap.

Seharusnya, semua sudah kembali seperti sedia kala. Orang-orang mulai menjalani kehidupannya masing-masing. Seolah, lupa semuanya pernag terjadi.

Sayangnya, itu tidak berlaku untuk orang-orang yang terkena dampaknya. Seperti, Salsa.

Sampai hari ini, terhitung sudah sepuluh hari secara total ia dipulangkan. Restu belum meneleponnya untuk kembali. Tidak ada tanda-tanda juga bahwa ia akan kembali bekerja. Mungkin, akhir bulan nanti, ia akan dapat pemecatan atau mungkin, ia yang akan mengundurkan diri. Entahlah! Salsa belum memutuskan.

Salsa kini tengah berfokus dengan apa yang berada di depan matanya. Daripada menangisi Darma dan keadaannya seharian, ia memutuskan untuk bangkit dan menyibukan diri dengan membantu di toko. Bukan pekerjaan keren, memang. Tetapi, setidaknya, ia bisa punya kesibukan melupakan Darma.

Tak hanya di situ, kesibukan mengurus Nolan juga lumayan menyita perhatian. Salsa baru sadar, ia sudah terlalu lama mengabaikan anak lelakinya karena Ben. Jadi, Salsa bersumpah, ia tidak akan lagi meninggalkan Nolan sendirian.

Tangan Salsa menghitung segepok uang sementara Eno membantu mengemasi barang-barang pesanan. Setelahnya, seorang karyawan membantu untuk memasukan berkaleng-kaleng cat dan sak-sak semen ke dalam mobil Isuzu Panther milik pelanggan bernama Ali itu.

"Pak Ali itu kontraktor," ucap Eno tiba-tiba saat Ali sudah hilang dari pandangan. "Kayak Ayahmu dulu. Beda skala aja. Dia suka ke sini, beli bahan, katanya lebih murah."

Salsa menengok. Menatap Eno yang berucap dengan raut menerawang. Ia tersenyum kecil kemudian kembali pada pekerjaannya.

Selama seminggu, Salsa baru sadar, pembukuan toko ini begitu berantakan. Masih memegang sistem konvensional, mereka hanya menerima lalu menjual. Begitu saja. Tidak ada pemasukan dan pengeluaran atau hal lainnya yang terdata.

"Kalau yang kuliah, beda ya, kerjanya," puji Eno. Ia menunjuk ke arah buku kas dengan dagunya. "Aku nggak ngerti kamu nulis apa. Ribet, kayaknya. Tapi, sepertinya, gara-gara kamu, kita jadi tahu berapa pemasukan harian dan pengeluaran."

Salsa tersenyum kikuk. "Aku juga nggak berada di jurusan ini, tapi, aku belajar akuntansi dasar, seenggaknya, pembukuan seperti ini bisa kita terapin. Mas Eno mau aku ajarin?"

Senyum Eno tampak mengembang. Ia mengangguk penuh semangat. "Mau, mau! Nanti habis kelar kerjaan, aku mau minta les privat ya, Sa." Ia tertawa. "Kayak dulu, kamu suka les privat sama aku."

Salsa menggeleng dengan tawa kecil. Dulu, ketika masih SD, Salsa sering kali minta diajari Eno dalam belajar. Teman kakaknya itu memang langganan juara satu di sekolah dan sangat pintar. Apapun yang ia jelaskan juga mudah dimengerti.

"Aku nggak bisa ngejelasin sebagus kamu, Mas." Salsa tertawa. "Tapi, nanti bisa kucoba. Kamu bisa tanya-tanya kalau nggak ngerti."

Eno mengangguk-anggukan kepala antusias. Binar di matanya masih tampak sama seperti  belasan tahun lalu.

Toko mulai sepi menjelang makan siang. Biasanya, siklusnya memang begitu. Orang-orang baru akan datang lagi nanti, sekitar jam dua atau tiga sore hingga tutup toko jam empat lewat. Keduanya sama-sama duduk bersebelahan di meja. Sementara Salsa sibuk mencatat pemasukan hari ini, ia meminta tolong Eno untuk menghitung stok-stok yang ada.

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang