Sudah tiga hari sejak rilis disebar dan berita mulai dinaikan sehari setelahnya. Sentimen orang-orang mulai positif. Walaupun masih banyak yang negatif. Pagi menjelang siang ini, Salsa baru saja merampungkan laporan sementaranya. Salsa melirik dokumennya sekali lagi sebelum menekan tombol cetak pada bagian kiri atas. Ia menghela napas pelan. Kakinya berdiri dari kursi untuk kemudian beranjak ke pintu. Membuka pintu, ia sudah bertemu dengan Sela yang sibuk di atas meja.
"Sela, sibuk? Ada kerjaan dari Bapakmu?"
Sela mendongak. Ia buru-buru menggeleng. "Oh, nggak, kok. Ini cuma disuruh Bapak ngebantuin hal kecil aja."
"Yakin?"
"Iya... Lagipula, kata Bapak, duluin kerjaan Ibu dulu." Sela berkata lagi.
Salsa mengambil napas. Darma memang seperti itu. "aku habis nge-print laporan. Boleh tolong dicek nggak, ya? Sekalian difotokopi empat rangkap buat ke Pak Aditya, Pak Satya, Pak Darma dan Bu Andin. Yang aslinya nanti bawa ke ruanganku aja."
Dagu Sela buru-buru terangguk. Ia berdiri dari kursinya untuk pergi ke mesin printer dan fotokopi yang sebenarnya tak jauh. Di kantor ini, semua printer terpusat di sebuah ruangan khusus. Untuk mengakses dan memulai cetaknya, mereka butuh akun sistem internal terlebih dahulu. Salsa yang bukan karyawan di Adhyaksa jelas tidak punya akun pribadi dan sebagai gantinya ia menumpang akun Darma dengan Sela sebagai satu-satunya orang—selain Darma—yang bisa mengakses.
"Ngomong-ngomong, Pak Darma nggak ada di ruangan? Sudah dua hari kayaknya nggak kelihatan." Salsa mengintip ke arah jendela kecil di ruangan tersebut.
Ruangan itu masih rapi. Kalau ada Darma, pasti sudah berantakan dengan dokumen-dokumen berceceran. Sosok lelaki itu juga tidak ada.
Dinamika dan interaksi antara Darma dan Salsa memang terlampau... sepi. Tidak ada pesan yang tertukar setiap hari. Komunikasi itu hanya berlangsung di kantor atau pekerjaan. Selebihnya, mereka hidup masing-masing. Tidak seperti anak remaja labil yang bertukar pesan setiap detik atau menelepon setiap malam.
Kalau dipikir-pikir lagi juga, Salsa dan Darma hanya mengobrol beberapa kali. Bahkan, interaksinya saja bisa dihitung dengan jari. Lalu, kenapa bisa tiba-tiba mereka terbawa suasana hingga menyatakan perasaan satu sama lain?
Hah! Perasaan itu pasti semu.
"Bapak lagi ke gudang. Katanya barang-barang baru datang. Mungkin, habis makan siang balik." Jawaban Sela membuyarkan lamunan Salsa.
Salsa hanya bisa mengangguk sementara Sela kemudian pergi dari mejanya menuju ruang cetak. Kaki Salsa kembali melangkah ke arah ruangan. Matanya melihat ke jendela yang menampakan pemandangan gedung-gedung.
Baru berdiam sejenak, suara panggilan telepon kantor membuyarkan lamunan. Salsa mengerutkan dahi melihat caller id yang menampakan resepsionis. Sejauh ini, yang pernah menelepon ruangannya hanya Andin.
"Halo?" sapa Salsa bingung.
"Halo, Bu Salsa. Ini, ada tamu. Katanya, mau ketemu Bu Salsa." Suara takut-takut terdengar.
Salsa mengerutkan dahi. "Siapa?"
"Bilang dari Ben! Suruh dia turun sekarang!" Suara bentakan terdengar.
Wajah Salsa pucat. Ia bergetar hebat. Tangannya berkeringat dingin. Ben tahu! Ben akhirnya tahu! Salsa menarik napas. Ia harus menenangkan dirinya. Di saat seperti ini, ia tidak mungkin bersembunyi di ruangannya. Ben akan mengamuk.
"Oke, saya turun. Bilang dia suruh tunggu, ya." Salsa menutup panggilannya. Ia mengambil napas sambil berjalan ke lift.
Salsa berusaha menepis perasaan takutnya. Ia terus menerus mengatur degup jantungnya yang ketakutan. Ketika turun ke lobi khusus perusahaan di lantai dua, matanya menangkap Ben yang duduk di salah satu kursi tunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...