42. What If

15.7K 1.7K 124
                                    

Biar nggak sedih karena kena prank. This quiet long. Kayaknya hampir 2000 kata. Aku males misahin jadi dua bab. Sebentar lagi cerita ini selesai. Rasanya berat banget. Kalian berasa gitu nggak sih tiap nyelesain baca?

*

Darma melempar piring-piring yang berada di atas overtable. Bunyi dentuman piring yang terjatuh membuat beberapa perawat kaget dan langsung masuk ke dalam ruangan. Lelaki itu mengerang dengan keras. Emosinya meluap ke mana-mana.

Sementara beberapa perawat perempuan membersihkan makanan yang berserakan, beberapa perawat laki-laki tampak memegangi tubuh Darma. Wajah Darma mengeras. Meminta untuk dilepaskan.

"Sudah saya bilang, saya nggak sakit. Cepat keluarin saya dari sini!" teriak Darma lagi.

Sayangnya, perawat-perawat itu seperti tuli. Mereka memegangi Darma dengan erat. Salah satu dari mereka meneriaki nama obat yang tidak Darma mengerti.

Kepala Darma menggeleng. Tidak! Tidak lagi! Ia bisa melihat seorang perawat perempuan berlarian ke luar. Napasnya menderu. Ia tahu apa yang terjadi dengannya. 

Darma semakin memberontak. Tetapi, tiga lawan satu terasa percuma. Ia tidak bisa melawan. Matanya semakin membelalak ketika seorang perawat perempuan membawa sebuah jarum suntik. Ia ingin mengamuk, namun pergerakannya dibatasi. Dari sudut matanya, Darma bisa melihat mereka yang siap menyuntikan obat ke tubuhnya.

"Saya bilang, saya nggak sakit, saya mau kelu—"

"—Kalau lo teriak-teriak gitu, lo memang akan dikira pasien poli jiwa beneran sih, Mas." Sebuah suara menghentikan semua aksi yang terjadi. Seperti tombol jeda dalam remote televisi.

Seorang perempuan masuk. Rambut ikalnya tampak dikuncir ke atas. Tubuh mungilnya melangkah ringan tanpa beban. Di belakangnya, tampak seorang lelaki tinggi dengan kemeja flanel biru tua. Mata Darma memicing melihat dua tamunya itu.

"Dhisty?" bisik Darma pelan.

Adhisty tersenyum semringah. Ia menatap perawat-perawat itu. "Maaf merepotkan. Setelah ini, saya rasa, saya bisa menangani kakak saya. Apakah Anda bisa keluar kalau sudah selesai?"

Para perawat saling tatap sebelum melihat ke arah tamu-tamu Darma. Bukan. Mereka tidak melihat ke arah Adhisty, tetapi ke arah lelaki di belakang sang puan, Romeo Wiguna.

Setelah selesai membersihkan kekacauan, satu persatu perawat itu pergi. Meninggalkan Darma, Adhisty dan Romi dalam ruangan tersebut. 

Adhisty melirik ke arah Romi sekilas. "Kamu juga, Rom."

"Hah?"

"Kamu juga keluar."

Romi memutar bola mata. Ia menatap kekasihnya yang menyilangkan tangan di dada dengan gaya bossy-nya.

Walaupun Romi berjanji membantu Adhisty dalam upaya pembangkangan pacarnya ini, ia tetap pura-pura bodoh ketika Adhisty mengungkapkan kemungkinan bahwa Darma ditahan di bangsal naratama rumah sakit milik keluarganya. Ia terus bersikap enggan dan pura-pura merasa bahwa semua itu tidak mungkin terjadi walau diam-diam memeriksa data rumah sakitnya sendiri.

Romi memang tidak butuh upaya berlebih untuk memeriksa data sistem rumah sakitnya sendiri. Dengan cepat, ia mendapati nama Darma di bangsal naratama poli jiwa. Typical. Semua orang kaya yang bermasalah pasti masuk ke poli jiwa.

"Kata kamu, kamu ada apalah itu di rumah sakit tempat kamu jadi residen sampai nggak bisa bantuin aku tadi," sindir Adhisty. "Terus, kenapa sekarang masih di sini?"

Romi mendesis, menatap Darma yang tersenyum mengejek. Lelaki itu menghela napas pelan. Ia memang berkali-kali membuat alasan agar bisa menolak permintaan Adhisty yang meminta akses ke bangsal naratama. Adu kuat-kuatan itu tak bertahan lama ketika pertahanan Romi jebol, pada akhirnya.

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang