"Sa? Kok kamu di sini?"
Suara Eno yang memecah keheningan pagi membuat Salsa terlonjak. Salsa baru saja membaca-baca buku besar yang mencatat pesanan kemarin yang harus ia kerjakan hari ini ketika Eno berdiri di hadapannya dalam balutan kaos dan celana bahan yang sedikit lusuh. Di tangannya, tampak seplastik nasi bungkus dan gorengan—tak tahu untuk sarapan atau makan siang.
"Pagi banget, Mas. Kan toko baru buka jam sembilan." Salsa tak menjawab pertanyaan Eno. "Ayah, Ibu sama Nolan aja lagi ke pasar."
Eno masih mengerutkan dahi. "Kamu kenapa masih di sini?" ia mengulang pertanyaan yang tidak dijawab itu.
Salsa mendesah. Ia menatap Eno. "Memang, aku harusnya di mana, Mas?" tanya Salsa pura-pura bodoh.
Semalam, setelah pembicaraan itu, Gayatri pulang begitu saja. Salsa sejujurnya tak bisa tidur. Isi kepalanya terus berputar, memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Salsa ingin hidup tenang. Ia sudah lelah dengan semua huru hara yang terjadi selama beberapa minggu terakhir ini. Rasanya, maju dan melawan Ben tidak akan berdampak apa-apa lagi. Buat apa juga diteruskan?
"Kenapa kamu masih di sini? Kamu seharusnya siap-siap ke Jakarta." Eno menatap heran.
Salsa menggeleng pelan. "Buat apa balik ke Jakarta, deh?"
"Perempuan kota itu... bukannya mau ngajak kamu balik ke Jakarta?" tanya Eno lagi mengonfirmasi.
Salsa mengangguk. "Ya, dan aku tolak," jawab Salsa mantap. "Aku mau di sini aja, Mas."
Wajah Eno berubah kaget. Matanya membola. Ia mengangkat tangannya. "Kamu benar-benar mau ninggalin semua kerjaanmu di sana? Sa? Serius?" Eno menggelengkan kepala tak habis pikir. "Kamu jangan gila!" Nada Eno meninggi.
Untung, ini masih pagi. Karyawan belum ada yang datang sama sekali. Hanya mereka berdua di ruangan yang penuh dengan aroma cat, semen dan pasir yang bercampur dengan wangi tipis dari tembakau itu.
Salsa mengambil napas. Senyum getir terulas di bibirnya. Ia menggeleng kemudian. "Mas, udah ah! Mending, kita urusin toko aja. Kemarin, ada pesanan dari Pak Jarot, kan? Harus disiapin hari ini."
"Sa!" Eno nyaris memekik. Malah lebih baik begitu.
Salsa menengok. Matanya memicing. "Kenapa lagi, Mas?"
"Kamu jangan bercanda, Sa," ucap Eno lagi. "Kamu bener-bener gila."
Salsa menarik napas dan sedikit membanting buku dalam pegangannya ke atas meja. "Aku? Gila? Gila dari sebelah mana, Mas?" Ia mulai tak suka. Perempuan itu berkacak pinggang tak terima.
"Aku—bukan, kami—semua dengar omonganmu dengan perempuan kota yang datang kemarin, Sa." Eno menggeleng tak habis pikir. "Kamu mau aku ungkap yang sebelah mana?"
Salsa tak menjawab. Ia masih diliputi emosi.
"Mereka mau bantu kamu. Mereka mau kembaliin apa yang diambil dari kamu. Seharusnya, kamu terima, Sa!"
"Lalu apa?" Salsa histeris.
Eno diam. Ia bungkam seribu bahasa.
"Lalu apa?" ulang Salsa lagi.
"Ya, lalu, kamu bisa hidup bahagia lagi. Sama cowok yang namanya Darma Darma itu. Kudengar, dia suka banget sama kamu. Dan sepertinya, kamu juga suka sama dia. Kalau nggak, nggak mungkin, kamu sama dia terlibat skandal, kan?"
Salsa menggeleng. "Mas, kamu tahu, arti bahagia, nggak sih?" Isak Salsa pecah. Ia terlihat begitu frustasi.
Eno terhenyak. Pemandangan Salsa yang menangis membuatnya tergagu dalam diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...