Kaki Darma mengetuk-ngetuk dengan cemas. Siang ini, ia tidak bisa berkonsentrasi karena di depannya, tampak sidang perceraian yang terasa begitu... alot. Tangan Darma tersilang sembari menatap Salsa di depan sana, berhadapan dengan mantan suaminya, Ben, yang sedari tadi mengamuk-amuk seperti orang gila. Yang membuat Darma kesal setengah mati adalah, para hakim yang masih berusaha mendamaikan mereka.
Ya, Darma tahu, itu semua prosedural. Tetapi, apakah mereka buta untuk melihat fakta bahwa Ben sangat problematik? Kenapa mereka masih harus melaksanakan prosedur itu?
Suara Indra yang menegaskan penolakan mediasi membuat senyum Darma terkembang. Ia menengok ke arah Salsa. Tahu bahwa perempuan itu sudah muak melihat tingkah Ben.
Kericuhan jelas terjadi sesudahnya. Hakim bahkan harus mengetuk palu untuk menenangkan Ben yang tantrum. Darma hanya bisa menyandarkan tubuh sambil menghela napas. Ia berharap proses ini bisa segera selesai secepatnya.
Di tengah proses persidangan itu, mata Darma sesekali melirik ke arah seorang wanita berusia lima puluhan yang duduk di kursi lain. Pakaiannya mentereng dengan merek mahal tercetak besar-besar. Tipikal orang kaya baru yang tabungannya tak seberapa tetapi ingin terlihat punya barang mahal. Sekali lihat, Darma sudah bisa menebak bahwa perempuan itu adalah ibu dari Ben. Orang yang katanya menyetir seratus persen suami dari Salsa itu.
Wanita itu mengeraskan rahang. Tampak amarah dalam wajahnya. Darma tidak tahu apa yang ada di pikiran wanita itu. Apakah ia mau anaknya bercerai atau mau anaknya rujuk?
Perhatian Darma lagi-lagi teralih ketika hakim memutuskan untuk melanjutkan sidang ke persidangan lanjutan sekaligus menutup sidang hari ini. Ia melihat Salsa yang memejamkan mata sambil menghela napas. Dua jam di dalam ruang sidang sambil menghadapi orang gila seperti Ben pasti melelahkan. Darma yang menonton saja rasanya ingin menguliti Ben hidup-hidup.
Melihat semuanya sudah bubar, Darma memutuskan untuk berdiri dari kursinya. Ia berjalan keluar lebih dulu. Membiarkan Salsa mengurusi beberapa hal yang tersisa. Ia berdiri dengan bersandar pada salah satu pilar di sana. Tangannya mengambil ponsel dari dalam kantong celana. Ditinggal baru beberapa jam, sudah puluhan chat yang masuk ke aplikasi BlackBerry Messenger-nya. Padahal, ia sudah menitipkan beberapa hal pada Adhisty.
Suara pintu yang terbuka dan sosok Salsa yang keluar membuat Darma menyungging senyum. Ia buru-buru memasukan ponselnya, menangkap sorot Salsa yang berjalan di samping Indra dengan wajah sebal.
"Sa," panggil Darma.
Salsa mengangguk pelan. Darma bisa melihat betapa lelahnya wajah Salsa. Ia melirik ke arah Indra sejenak. Hawa perselisihan masih terasa walaupun Indra berperan sebagai pengacara Salsa. Darma buru-buru menarik Salsa ke sebelahnya.
"All good?" tanya Darma lagi.
Hela napas terdengar dari mulut Salsa. Ia memiringkan kepala. "Yah, kayak yang lo lihat lah, Dar." Ia mengangkat bahu. "Capek banget!"
Darma mengulum bibir. Mengangguk-anggukan kepala pelan.
"Aku duluan ya, Sa? Nanti hal-hal lainnya aku kabarin lagi." Indra berucap cepat mengatasi canggung yang terasa.
Salsa dan Darma mengangguk. "Thanks ya, Ndra."
"Santai, Sa. Duluan!" Lelaki berjas hitam itu pergi melewati pasangan tersebut.
Sejenak, Salsa dan Darma saling pandang sebelum helaan napas terdengar keras-keras.
"One down, berapa kali lagi?" tanya Darma cepat.
Bahu Salsa terangkat sambil menggeleng. "Seharusnya, dua kali lagi. Persidangan lanjutan dan putusan, katanya."
"Urgh," gerutu Darma sambil merenggangkan tubuh. "Berapa lama lagi? Gue pikir, perceraian dulu tinggal tanda tangan aja kayak di film-film! Ternyata, seribet ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...