36. Back Home

15.3K 1.8K 93
                                    

[Just a 100k views mark here!!]

*

Purwodadi masih sama seperti ingatan Salsa walau sudah belasan tahun tak pulang. Ketika mobil travel yang ia tumpangi sampai di depan sebuah toko material dan bangunan, ia merasa rindu. Bau semen bercampur cat itu membuatnya teringat kenangan masa kecilnya dulu sekali.

Jauh sebelum ayahnya menjadi seorang pengusaha konstruksi, mereka merupakan keluarga penjual material-material bangunan dan mebel. Candra, ayahnya, kemudian mencoba peruntungan mengambil proyek-proyek. Dari skala kecil, kemudian berkembang menjadi besar. Candra pergi meninggalkan usaha itu dan mengalihkan semua pada adik-adiknya untuk dikelola.

Ketika krisis moneter menyerang, usaha konstruksi bangkrut total lantaran banyak pengembang yang mangkrak. Aset-aset mereka disita lantaran harus membayar hutang. Mencoba berusaha kembali, rasanya, semua jadi percuma. Hal yang patut disyukuri adalah, penjualan material meningkat pasca krisis moneter.

Mereka kembali merintis usaha material tersebut. Walaupun mungkin, hidup mereka tak sebergelimang sebelumnya, kini buat Candra, itu lebih dari cukup. Ia lebih mendambakan hidup sederhana daripada kemewahan yang bisa diambil kapan saja seperti dulu.

Dan mungkin, itu juga yang Salsa harusnya lakukan.

Salsa gelap mata saat kuliah. Ia yang masih tak terbiasa dengan hidup susah mengambil jalan pintas; memacari Ben yang saat itu cukup berada. Buatnya, Ben paket komplit: kaya dan terkesan tergila-gila. 

Ya, tergila-gila yang berujung posesif pada akhirnya.

Salsa memberikan semuanya untuk Ben. Termasuk, dirinya. Menjualnya dengan hubungan yang terasa manis di awal dengan segala kenyamanan yang ditawarkan. Walau setengah keputusannya didasari rasa cinta, Salsa tahu bahwa di dalam hati kecilnya, ia tidak bisa putus dengan Ben karena takut akan hidup miskin lagi.

Seharusnya, ia sadar, lebih baik ia hidup miskin daripada bersama Ben. Toh, pada akhirnya, semua malah jadi semakin berantakan.

"Salsa?" Suara berat menyadarkan Salsa dari lamunannya. Ia berbalik, menemukan Candra dalam kemeja kotak-kotak dan celana bahan berdiri di belakangnya. "Kok nggak ngabarin udah sampai?"

Salsa tertawa kecil mengatasi kecanggungan. "Ibu sama Nolan, mana?"

"Di belakang," jawab Candra menunjuk pada satu pintu kecil di tembok, tempatnya tadi keluar. Toko mebel itu menempel langsung dengan rumah keluarga mereka. Rumah lama yang sudah tidak didatangi Salsa bertahun-tahun.

"Masuk dulu, Sa. Ini ada pegawai yang ngawasin kok, ada Mas Eno juga di sana yang bantu jaga." 

Salsa menengok, menemukan seorang laki-laki yang berada di kasir. Ia memicingkan mata. Tak mengenali sosok bertubuh tinggi yang kini melambai-lambai saat melihat Salsa dengan senyum yang merekah. Laki-laki itu berdiri dan kemudian berjalan mendekat.

"Loh, aku nggak sadar itu kamu, Sa! Kupikir pelanggan dari mana?" Eno tertawa renyah sambil berjalan.

Salsa mengenal Eno sebagai teman main Surya, kakaknya, ketika masih sekolah. Rumahnya hanya berjarak dua rumah dari Salsa. 

Salsa kembali mengerjapkan mata karena tidak mengenali lagi laki-laki di hadapannya. Pasalnya, Eno yang dulu terkenal tinggi dan kurus mirip tiang listrik sekarang tetap tinggi dengan badan yang tegap dan kulit yang kecokelatan. Seketika mengingatkan Salsa pada... Darma. Oh, shit!

"Mas Eno kelihatan... beda." Salsa berkomentar dengan raut kaget.

"Kenapa? Aku gedean, ya?" Eno tertawa-tawa sambil menepuk perutnya yang Salsa yakin tak punya lapisan lemak. "Atau hitaman?"

Reputation RescueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang