Salsa membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa sakit dan berat. Sekelilingnya berwarna putih. Ruangan begitu dingin. Ia mencoba mengenali tempat asing ini.
Di mana? Apa sekarang sudah di surga? Salsa yakin, rasanya, ia tak akan masuk surga mengingat dosa-dosa yang sudah ia lakukan.
"Loh, pasien atas nama Ibu Salsa sudah sadar!" Suara itu sayup-sayup terdengar.
Salsa mengambil napas pendek-pendek. Ia di mana? Rumah sakit?
"Bu Salsa, Bu Salsa bisa dengar kami?" Suara itu terdengar lagi.
Salsa mengangguk pelan sebelum kembali memejamkan matanya. Ia merasa masih pusing. Rasanya, mengantuk sekali. Lagi, sadarnya hilang.
*
Darma terlonjak dari tidur ayamnya di ruang tunggu ketika mendengar seorang perawat memanggilnya dan memberitahu bahwa Salsa sudah sadar dan sekarang tengah dalam proses dipindah ke ruang rawat inap.
Napasnya memburu sementara hatinya berharap-harap cemas. Ia mencelus tepat ketika melihat Salsa di dalam ruangan. Perempuan kesayangannya itu masih tertidur. Mungkin, efek obat atau pengaruh lainnya.
"Bu Salsa mungkin masih lemas. Kalau nanti bangun, bisa langsung panggil perawat biar dipastikan terlebih dahulu kondisinya." Begitu kata salah seorang perawat sebelum meninggalkan ruangan.
Darma mengulurkan tangannya, ia menyentuh lengan Salsa perlahan. Sentuhan lembut, namun membangunkan Salsa dari tidurnya.
"Sa..." Suara berat itu terdengar dengan wajah mendongak. Ia langsung berdiri. Matanya menatap khawatir. "Sa, kamu udah sadar? Sebentar, aku panggil suster dulu. Kamu jangan gerak, oke?"
Lelaki itu menekan tombol panggil. Wajahnya menampakan raut panik, khawatir dan senang bersamaan.
"Nurse station."
"Sus, ini pasien di kamar VIP 3 sudah sadar." Suaranya menggema.
"Baik, kami segera ke sana."
Salsa mengulum senyum. Ketika menatap wajah lelaki itu, Salsa tahu, ia masih hidup.
"Darma," panggilnya serak.
Darma menengok. Ia mengambil napas sebelum beringsut kembali di sisi Salsa. Di bibirnya, tampak ada senyum kecil. Ia terlihat ingin menyentuh Salsa namun tertahan. "Sebentar ya, Sayang. Kita tunggu suster dateng, oke?" Kalimat itu terdengar begitu menenangkan. "Habis itu, baru kita bicara."
Salsa mengangguk. Ia menarik napas panjang. Walau tak ada kaca, ia bisa merasakan perban yang menempel di kepalanya. Juga, beberapa lebam yang masih tampak di sekujur lengan dan kakinya.
Tak lama, beberapa perawat datang juga seorang dokter jaga perempuan berusia pertengahan dua puluhan dengan kacamata bulatnya yang memperkenalkan diri sebagai Julie.
"Harusnya semua vitalnya oke, sih. Tekanan darahnya masih rendah, pusing, nggak?" tanyanya.
Salsa menggeleng. "Sedikit, tapi, nggak parah."
"Oke... kita pantau beberapa waktu lagi, ya. Harusnya, sejauh inu aman, sih. Pas dicek juga kemarin, nggak ada pendarahan di otak, kan?" Kali ini, Julie menengok ke arah Darma yang langsung menggeleng. "Kalau begitu, all good, nanti kita pantau lagi. Mungkin, Dokter Tio yang nanganin Mbak Salsa akan ke sini sore."
"Thanks, Jul."
"Anytime, Mas. Kebetulan aku jaga sampai sore nanti. Kalau ada apa-apa, kabarin aja."
Darma mengangguk pelan sebelum perawat dan dokter itu pergi. Ada helaan lega keluar dari mulut Darma. Lelaki itu menutup wajahnya.
"You know her?" Salsa menyungging senyum miring. "Mantan pacarmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputation Rescue
RomanceADHYAKSA SERIES NO.1 *** Salsa merasa dirinya tertiban durian runtuh ketika tahu bahwa Dream Sky, agensi humas tempatnya bekerja memlihnya untuk menjadi koordinator tim crisis management di perusahaan Adhyaksa. Namun, siapa sangka, ternyata dirinya...