21.

1.4K 151 31
                                    

Tiba-tiba seseorang menyahut, "Tawaran apa yang buat kamu sampe nangis-nangis begini?"

Alca dan Bude kontan menoleh, ternyata ada Saiful di belakang mereka yang sepertinya baru saja menguping, dilihat dari kedua alisnya yang hampir menyatu dan ekspresi wajahnya yang sangar.

Alca lupa, membujuk Saiful lebih susah daripada membujuk Bude Nur.

"Le, adikmu hafidzoh," ujar Bude tanpa menjawab pertanyaan Saiful karena masih terkejut dengan fakta bahwa Alca memilih menjadi menghafal, bahkan saat ini sudah menghafal 30 juz!

Kini gantian Saiful yang tak menggubris Bude. Dia masih fokus pada Alca yang sepertinya sedang merencanakan suatu hal tanpa persetujuannya.

"Jangan mau nerima tawaran yang nyeleneh, sekalipun itu tawaran dari Bunyai," katanya dengan nada dingin.

Sepertinya Saiful menguping banyak.

Alca berdiri dari duduknya.

"Abang, bunyai udah kayak mama aku sendiri. Aku ga mau nyesel dua kali karena nggak menuhin permintaannya."

"Ya tapi nggak nikah juga!" ujar Saiful dengan mata melotot.

See, Saiful menguping banyak.

"Abang, cuma ini yang bisa Alca lakuin buat bunyai. Bunyai udah berjasa banget udah bimbing Alca selama di pondok. Permintaan ini pun menguntungkan Alca karena pria baik, sholeh, dengan bibit bebet bobot yang jelas akan menjaga Alca seumur hidup. Kenapa harus ditolak kalau yang baik sudah di depan mata?"

Saiful menggeleng tegas. "Abang nggak setuju."

"Kenapa?" tanya Alca dengan alis mengerut sebab dia memiliki alasan sedangkan abangnya itu menolak tanpa alasan yang jelas.

"Kamu masih kecil, masih bocil, kenak-kanakan, belum pantas buat nikah, Ca!"

Sejak dulu, Alca paling tak suka dipanggil bocil, tapi karena Saiful terus memanggilnya dengan sebutan itu, Alca jadi terbiasa. Namun dua tahun belakangan ini panggilan itu tak pernah lagi terucap dari bibir abangnya, bahkan tak pernah lagi seorang pun memanggilnya begitu, jadi Alca tersinggung.

"Aku udah dewasa, udah bisa mutusin mana yang baik buat aku dan mana yang enggak. Abang tahu apa tentang aku bisa ngatain aku kekanak-kanakan? Aku pas SD aja tahu prioritas jagain mama ketimbang main ama temen. Abang gimana? Lebih mentingin futsalnya itu. Pas mama sakit aku sabar dengan semua sikap mama yang sering ngamuk. Abang gimana? Malah tengkar sama mama. Bahkan pas mama drop di malem terakhir, aku rela tahan tangisanku biar suasana nggak tambah ricuh karena abang nangis tersedu-sedu. Dan yang paling utama, mama nggak bisa makan semangka di akhir hayatnya karena Abang. Abang males cariin mama semangka malem itu!"

Tahu bagaimana tanggapan Saiful?

Dia hanya diam dengan mata memerah, bahkan matanya sudah berkaca-kaca menahan tangisan yang siap lolos dari kelopak itu.

"Maaf," ujar Saiful pelan. "Abang nyesel dengan semua itu. Abang tahu Abang anak durhaka ke mama. Abang yang kekanak-kanakan, makanya Abang mau membalas itu semua lewat kamu. Abang belum siap ngelepas kamu, Dek. Abang mau jadi satu-satunya yang manjain kamu, yang perhatiin kamu. Abang mau jadi satu-satunya tempat kamu pulang, tempat kamu berlindung, tempat kamu mengadu. Please, tolong mengerti Abang."

Alca menghapus setetes air mata di pipinya. "Abang tetep jadi abang aku apapun keadaannya. Jadi, tolong mengerti aku, Bang. Aku nggak mau kejadian semangka terulang kembali. Butuh bertahun-tahun aku lepas dari bayang-bayang nekat lari di bawah langit kelam cari semangka cuma buat mama makan itu. Aku janji, Abang tetep jadi yang utama di hidup aku."

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang