27.

1.5K 169 32
                                    

Baru saja mobil yang dikendarai Alca terparkir di depan ndalem, segerombolan orang dari arah dalam datang dengan terburu menyambut kedatangannya--lebih tepatnya kedatangan bunyai.

Alca sempat terpaku sebentar saat melihat seseorang yang dia rindukan berada di antara gerombolan itu, sebelum akhirnya Ustadzah Nayla menepuk bahunya dan menyuruhnya segera turun.

Alca berpura-pura menyibukkan diri dengan kursi roda milik bunyai sementara Ustadzah Nayla segera menurunkan bunyai.

Sebisa mungkin Alca tak menoleh ke mana pun selain ke arah bunyai.

Setelah bunyai nyaman dalam kursi rodanya, putra-putranya segera menyerbu bunyai dengan tangisan.

Ustadzah Nayla menarik Alca sedikit menjauh agar memberikan ruang kepada putra dan menantu bunyai untuk bertemu bunyai.

Alca memilih berdiri di belakang Ustadzah Nayla--sedikit terlihat mengumpet di belakang tubuh ustadzahnya itu sembari mengintip tiga putra bunyai yang sedang menangis dalam pangkuan bunyai.

Alca menyaksikan tiga pria itu begitu sedih. Wajahnya berurai air mata. Mereka meminta maaf karena tidak mengetahui kondisi Umah lebih cepat dan malah fokus mencari ilmu.

Di samping itu, ada dua wanita bercadar yang salah satunya menggendong seorang anak. Mereka juga ikut menangis melihat keadaan bunyai yang mungkin jauh berbeda dari yang terakhir mereka lihat.

Setelah beberapa saat, akhirnya Gus Thoriq--putra tertua bunyai mendorong kursi roda bunyai ke dalam karena mereka telah menarik atensi beberapa santri yang baru pulang sekolah.

Alca dan Ustadzah Nayla otomatis berbelok arah ke dapur untuk menyiapkan makanan serta minuman untuk gus-gus serta para ning yang baru datang dari negara timur.

"Kenapa pada pulang ya, Ustadzah?" tanya Alca yang sedang menuangkan bubuk kopi ke teko.

"Karena kondisi bunyai yang sakit kronis."

"Bukannya nggak ada yang boleh ngasih tahu?"

"Liat contoh Gus Kafa? Meskipun nggak dikasih tahu tapi tetep saja beliau tahu. Anak itu meskipun nggak sekuat insting orang tua tetep saja punya ikatan yang kuat, jadi sepandai-pandainya rahasia ditutup, pasti ketahuan."

Alca mengangguk, tapi sebenarnya memang hal seperti ini tak perlu ditutupi. Takut--amit-amit--ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi, maka terkejutnya tak berkali-kali.

Ustadzah Nayla lalu meninggalkan Alca untuk mengantar beberapa cemilan. Alca sendiri pergi ke dapur ndalem untuk mengambil beberapa cangkir kopi.

Langkahnya terhenti di ambang pintu dapur kala melihat Imron berdiri di sana sedang mengambil air mineral.

Alca sudah akan berbalik badan kala lelaki itu memanggil namanya.

"Alca?"

Mau tak mau Alca kembali menoleh ke arahnya.

"Nggeh, Gus," ujar Alca sembari langsung menunduk kala matanya bertabrakan dengan mata indah Imron.

"Apa kabar, Ca? Sudah kerasan (betah) di sini?" tanyanya dengan nada sama seperti setahun lalu.

Tak ada yang berubah dari Imron. Dia masih Mas Imron-nya.

Alca sedikit mencebikkan bibirnya.

"Baik, Gus. Alhamdulillah sudah," ujarnya singkat, lalu segera pamit pergi karena memiliki kesibukan. Imron tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi urung karena Alca berjalan cepat meninggalkan dapur ndalem.

Alca lalu kembali ke dapur kotor dengan tangan kosong.

"Kopinya sudah, Sa?" tanya Ustadzah Nayla.

Alca menggeleng lalu meminta tolong agar Ustadzah Nayla mengambilkan cangkir kopinya karena Alca sedang--berpura-pura--sibuk menuang air panas ke teko.

Untung saja Ustadzah Nayla mau, sehingga Alca tak perlu lagi ke ruangan tadi dan bertemu Imron lagi.

Alca sebisa mungkin tak mengantarkan sesuatu ke ruang tengah. Dia lebih memilih menyibukkan diri di dapur. Seperti saat kopi sudah siap, harusnya dia mengantarnya ke ndalem, tetapi Alca malah menggoreng samosa. Untung Ustadzah Nayla tak protes bahwa hanya dia yang bolak-balik ke ndalem.

Delta dan dua orang lainnya sibuk membuat makanan untuk santri, jadi tak bisa membantu Ustadzah Nayla.

"Syuut, Ca. Suratnya masih di kamar," ujar Mbak Delta dengan suara kecil takut tiba-tiba Ustadzah Nayla datang.

Alca menoleh sembari menepuk jidat, surat terakhir dari Imron masih berada di tangan Delta.

"Mas-masanmu itu dapet dari mana, Ca? Mau dong yang spek begitu, gila banget tulisannya bikin jatuh cinta. Mana bucin banget tiap bulan sekali istiqomah kirim surat," ujar Delta yang membuat dua orang di sampingnya ikut kegemesan.

Sepertinya suratnya juga dibaca oleh mereka.

"Suratnya sekarang di mana, Mba?" tanya Alca.

"Di kamar, Ca. Entar ke kamar aja kalau mau diambil. Tapi sorry banget anak-anak kamar ga sengaja pada baca, dikira suratnya punya aku."

Khan!

Alca menggaruk keningnya. Oke baiklah, nasi sudah menjadi bubur juga. Apa boleh buat. Lagi pula tak ada nama Imron di sana. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Ca, spill dungs si Namir. Ganteng nggak?" tanya Delta yang sedang mengupas bawang dengan begitu kepo.

Alca mengangguk acuh tak acuh.

"Kayak siapa kira-kira?"

Alca menimbang sejenak. "Gus Hais?" ujarnya yang membuat Delta dan dua abdi ndalem lainnya histeris karena baik tulisan maupun parasnya sama-sama tampan.

Kehisterisan mereka terhenti kala Ustadzah Nayla datang mengambil beberapa samosa yang sudah digoreng Alca.

"Sa, ditimbali bunyai," ujarnya yang mau tak mau membuat Alca meninggalkan dapur menuju ruang tengah di mana semua keluarga bunyai berkumpul.

Ustadzah Nayla berjalan lebih dulu di depan Alca untuk meletakkan cemilan samosa yang dia goreng tadi.

"Enggeh, Umah?" tanya Alca yang membuat empat atensi putra bunyai berpusat kepadanya, membuat jantung Alca berdetak dua kali lebih cepat karena begitu malu menjadi pusat perhatian.

"Sini, Nduk," ujar bunyai menyuruh Alca mendekat.

Alca menurut.

Tiba-tiba bunyai menyentuh bahunya.

"Kenalno, iki Salsabila Ayu Al-Akbari, menantu baru Umah, istrine Kafa," ujar bunyai tanpa aba-aba di depan para putra dan menantunya, membuat Alca mematung untuk sepersekian detik karena terkejut.

Ustadzah Nayla langsung menoleh ke arah Alca dengan mata sedikit membesar. Dia tampak syok sekali mendengar fakta bahwa Alca istri dari gusnya, yang artinya Alca adalah bagian dari keluarga ndalem.

Seseorang tiba-tiba terbatuk karena tersedak sesuatu, saat Alca menoleh ternyata dia adalah ... Imron.

Alca tahu bahwa Imronlah yang paling terkejut mendengar kabar itu.

***

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang