22.

1.5K 142 18
                                    

Akad nikah akan dilaksanakan hari ini juga dengan Pakde Jihadi sebagai wali dari Alca, lalu ada Pakyai Nursalamah, Gus Zaini Nursalamah, beserta Ustadz Kirom sebagai saksi pernikahan. Ada Mas Reza--putra tertua Bude-- dan beberapa keluarga pakyai bunyai yang turut datang ke rumah sakit menyaksikan akad nikah Alca dan Gus Kafa.

Ruangan itu tampak ramai. Namun Alca merasa kesepian sebab Saiful tak ada di sana. Bukan tak ada, tetapi memang tak mau ada di sana.

Alca izin keluar sebentar untuk mencari Saiful. Bude mengizinkannya sebab saksi pernikahan juga belum lengkap.

Alca mencari ke mana-mana, tapi ternyata Saiful berada di dalam mobilnya dengan kepala yang dia letakkan di pegangan setir--tampak tak semangat sama sekali.

Alca masuk ke dalam mobil abangnya, lalu duduk di samping jok kemudi.

Saiful sempat menoleh, tetapi kembali ke posisi semula saat tahu yang memasuki mobilnya adalah Alca.

"Abang, masuk, yuk. Aku mau nikah masa Abang nggak mau hadir?"

"Buat apa? Pendapat Abang aja nggak kamu dengerin."

"Yaudah aku dengerin sekarang."

Saiful berdecak.

"Ayolah, Bang, jangan gini. Cuma Abang yang aku punya, masa nggak mau dampingi aku?"

Saiful berdecak lagi. Dia lalu menegakkan kepalanya dan membuka pintu.

Alca mengerutkan keningnya. "Mau ke mana?"

"Lagi sekali tanya, Abang tutup ini pintu," ujar Saiful yang langsung membuat Alca tertawa. Dia tak berkata lagi dan ikut turun.

Alca berjalan cepat untuk menggandeng lengan abangnya itu.

"Senyumlah, Bang. Jelek banget wajah sangarnya," goda Alca.

"Ga baik bahagia, bunyai lagi sakit," ujar Saiful dengan nanda menyindir.

Alca mencubit perut abangnya itu. "Nggak usah gitu-gitu ya. Nggak sopan, entar kualat," ujar Alca yang hanya ditanggapi Saiful dengan preeet-annya.

Saat hampir sampai pada kamar inap bunyai, langkah Saiful terhenti saat melihat sosok Gus Kafa di depan ruangan itu.

"Boleh bicara sebentar?" tanya Gus Kafa pada Saiful yang membuat Alca menoleh ke arah abangnya itu.

Terlihat Saiful menganggukkan kepalanya. "Boleh, Mas," ujar Saiful.

"Dengan Mbak Salsa juga," ujar Gus Kafa saat Saiful melepaskan lengan Alca yang menggandengnya.

Alca mengangguk sopan, lalu mereka berjalan ke arah ruang USG kemarin untuk mengobrol.

"Terlalu banyak yang saya pikirkan dalam satu waktu sampai saya lupa untuk meminta pendapat serta restu dari kamu selaku kakak dari Salsa."

"Bukannya sudah terlalu lambat, Mas? Semuanya sudah setuju, begitupun dengan Alca. Bahkan Pakde dan Bude saya juga. Saya rasa pendapat saya tidak dibutuhkan di sini," ujar Saiful.

Gus Kafa tampak mengulas senyum tipisnya.

"Orang tua pasti setuju tentang ini karena mereka saling mengenal, lalu Salsa bisa jadi menerimanya karena melihat kondisi Umah. Sebagaimana kita tahu dia masih remaja muda, yang artinya masih mencari jati dirinya. Kebanyakan seumuran dia mudah sekali menerima informasi dari luar tanpa ada pemikiran lebih lanjut. Saya kira, persetujuan Mas Saiful sebagai kakak dari Alca berperan penting di sini karena kamu yang paling tahu kondisi Salsa."

Saiful melirik Alca di sampingnya yang tampak menunduk melihat jari-jari tangannya yang menggenggam tangan Saiful.

"Andaikata saya tidak merestuinya?" tanya Saiful yang membuat Alca reflek meremaa tangan abangnya itu. Namun Saiful tak acuh dan tetap fokus bertatapan dengan pria di depannya.

"Saya yang akan mengurusnya. Mas Saiful tidak perlu merasa terbebani. Umah adalah tanggung jawab saya dan keluarga. Saya tidak mau pernikahan ini dilaksanakan ada unsur keterpaksaan karena menuruti permintaan Umah."

"Mas Kafa sendiri terpaksa menuruti kemauan bunyai?" tanya Saiful yang membuat Alca kembali meremas tangan abangnya itu, isyarat pertanyaan itu tidak sopan.

Gus Kafa kembali mengulas senyuman. Dia menggeleng pelan. "Saya anggap ini bakti anak terhadap orang tuanya. Namun ini dari sisi saya, Salsa tidak ada kewajiban untuk ini."

Saiful mengangguk-angguk. "Salsa sudah menganggap bunyai sebagai ibunya selama di pesantren, kalau begitu  ... sepertinya alca juga harus berbakti kepada orang tuanya."

Alca menatap Saiful terkejut. Kalimat barusan artinya persetujuan bukan?

"Tolong gantikan tanggung jawab saya dalam menjaga Alca yang tak sempat saya laksanakan, Mas."

Gus Kafa tersenyum tipis dan mengangguk. "Insyaallah saya akan jaga amanah ini."

Alca menatap abangnya dengan berkaca-kaca. Dia baru sadar bahwa abangnya sesayang itu kepadanya. Penolakan tadi adalah salah satu bukti bahwa Saiful begitu menyayanginya. Dia belum rela melepas adik kecilnya kepada pria lain.

Gus Kafa tiba-tiba menoleh ke arahnya. "Selain maskawin seperangkat alat sholat yang saya berikan, kamu ingin apa, Salsa?"

Alca menggeleng.

"Itu sudah sangat cukup, Gus. Karena seperangkat alat sholat adalah simbolik dari wujud seorang pria yang siap mengajari dan menuntun wanitanya dalam hal agama menuju surga-Nya. Menurut saya, itu mahar yang sangat berharga dan berat tanggung jawabnya."

Gus Kafa mengangguk paham. Percakapan itu selesai bertepatan dengan telepon Gus Kafa yang berdering karena panggilan dari pakyai.

Mereka pun kembali ke ruang inap bunyai yang ternyata semua orang yang ditunggu sudah lengkap.

Alca diarahkan untuk duduk di samping brankar bunyai, sedangkan Gus Kafa diarahkan duduk di sofa bersebrangan dengan Pakde Jihadi Al-akbari yang sudah sangat siap menikahkan Alca dan Gus Kafa.

Pakyai Basalamah membuka acara itu dengan sedikit pembukaan sekaligus sepatah dua patah kata nasihat tentang pernikahan dan tanggung jawab suami terhadap istrinya, sebelum akhirnya akad nikah dimulai.

"Wahai ananda Muhammad Kafabihi Basalamah, saya nikahkan dan saya kawinkan kamu dengan keponakan saya yang bernama Salsabila Ayu Al-Akbari binta Ali Akbar dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!"

Gus Kafa lalu menyahut dengan suara tegasnya. "Saya terima nikah dan kawinnya Salsabila Ayu Al-Akbari dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"

Dengan begitu, Alca dan Gus Kafa resmi menikah. Semua di ruangan itu tersenyum bahagia. Apalagi ekspresi bunyai yang tampak begitu merekah. Beliau memeluk Alca dan menciumi wajah santri yang baru saja berubah status menjadi menantunya.

Semua atensi orang-orang berpusat pada Alca dan Gus Kafa yang diarahkan untuk sama-sama berada di samping brankar bunyai untuk mendengarkan kalimat wejangan dari bunyai. Hanya satu orang yang tampak tampak berusaha keluar ruang inap tanpa diketahui orang-orang.

Dia duduk di kursi depan ruang inap sembari menangis tersedu-sedu.

Tahu dia siapa?

Dia adalah Saiful yang sedang menangisi adik kecilnya yang kini sudah menjadi istri orang.

***

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang