25.

1.4K 143 14
                                    

Pesantren kembali ramai dengan para santri sebab libur akhir semester telah usai.

Banyak wajah baru yang Alca lihat sebab santri baru sudah mulai masuk pesantren.

Hari ini santri lama tak ada kegiatan karena semua sarana digunakan oleh santri baru, hanya saja beberapa santri lawas yang menjadi pengurus mos hari ini memakai seragam dan pergi ke sekolah.

Alca berdiri di pembatas mushola putri yang berada di lantai dua sembari melihat ke bawah di mana beberapa santri baru berlarian keluar asrama putri karena telat.

Alca jadi flashback hari pertamanya di sini. Alca pernah di posisi berlarian seperti itu, bukan karena dia kesiangan, tetapi karena beberapa sarana terbatas sehingga harus mengantre. Dua tahun lalu Alca sangat culture shock dengan semuanya yang serba antre. Namun sekarang Alca sudah terbiasa dan menyusun strategi agar menghindari antre mengantre itu. Dengan apa? Dengan melakukannya di jam-jam sepi. Dia menyetrika saat tengah malam dan mandi di pagi buta.

Ya konsekuensinya jam tidurnya berkurang. Saat pelajaran berlangsung tak jarang dia terangguk-angguk karena mengantuk. Bahkan dia sering ketiduran di atas meja kelasnya. Guru-guru membiarkannya sebab pakyai sudah memberitahu mereka untuk memberi Alca keringanan karena mengikuti program kebut hafalan dari asrama Nursalamah.

Bukan hanya Alca yang diperlakukan seperti itu kok, murid lain yang sedang sekolah dan mengikuti program itu juga diberi keringanan. Di kelas Alca memang dia satu-satunya, tetapi di kelas sebelah ada tiga orang dari asrama Nursalamah yang mengikuti program tersebut.

Seseorang tiba-tiba mengucap salam, membuat Alca menoleh dan menjawabnya. Ternyata itu Ustadzah Nayla.

Wanita berparas cantik itu tersenyum tipis lalu mengulurkan setumpuk amplop di tangannya ke arah Alca.

"Saya kembalikan kepada pemilik aslinya," katanya yang membuat Alca menatap amplop-amplop itu.

"Kalo ikut peraturan pondok, setelah surat ini sampai di tangan pengurus, kamu akan ditakzir (dihukum) dan surat ini harus dibakar karena suratnya bukan surat dari keluarga, tapi saya simpankan sebagai reward untuk kamu karena dua tahun ini sudah menjadi santri yang baik. Maaf saya nggak bisa ngasih di hari-hari sebelumnya karena takut mengganggu hafalan kamu."

"Kenapa Ustadzah sampai ngelanggar peraturan pesantren? Harusnya langsung dibakar saja itu."

"Kamu kenalan orang ndalem sejak awal masuk, pakyai dan bunyai juga kelihatan sangat mempercayai kamu. Saya nggak berani kalo berkaitan sama ndalem."

Ustadzah Nayla lalu mengambil tangan Alca dan meletakkan surat-surat itu di tangannya. "Saya sudah sampaikan amanah, kalau nanti disita pengurus lain itu berarti surat ini memang harus dibakar," katanya.

Dia lalu pergi meninggalkan Alca dengan perasaan campur aduk.

Matanya mulai panas kembali, padahal seminggu ini dia sudah berusaha untuk melupakan patah hatinya.

Alca menaiki tangga menuju kamarnya berada. Niatnya ingin menangis di sana, sayangnya dia lupa teman-temannya sudah kembali, jadi Alca manahan tangisannya sembari pura-pura mengambil sesuatu di lemarinya.

Tiba-tiba seseorang berteriak,"Weyyy sopo seng ndue sikat klambi, tekku ilang gessss (woy siapa yang punya sikat baju, punyaku hilang gessss)."

Dia adalah Lebi.

Alca yang paling dekat dengan temannya itu langsung mengulurkan miliknya yang baru dari dalam lemari.

"Ambil aja, Leb. Aku ada satu lagi," ujar Alca yang membuat Lebi menoleh dengan terkejut. Dia tampak melongo sebentar.

Tak hanya Lebi, pun dengan teman-teman lainnya. Mungkin mereka terkejut karena Alca tiba-tiba bersikap biasa saja padahal jelas-jelas sebelum liburan tembok dingin di antara mereka masih kokoh.

Alca mengambil tangan Lebi lalu memberikan sikat bajunya yang masih dalam bungkusan plastik.

Mata keduanya tak sengaja bertabrakan, Alca langsung mengalihkannya sebab dia tahu matanya memerah dan berkaca-kaca.

Setelahnya Alca kembali berkutat di lemarinya, sebelum akhirnya berniat pergi dari kamar itu karena teman-temannya tiba-tiba hening tak bersuara.

Tiba-tiba seseorang masuk dan berteriak, "Wey, minta pewangi baju, punyaku tumpah sebotol-botolnya.

Alca mengambil miliknya lalu memberikannya kepada Nendy--orang yang barusan berteriak meminta pewangi pakaian.

"Entar kalo udah, taruh aja di lemari, Ndy," ujar Alca lalu keluar dari kamarnya menuju jemuran--tempat paling tepat untuk menangis.

Alca tak mau lagi menambah masalah hidup. Dia mau berjalan lurus saja. Dijahatin yaudah, dicuekin yaudah, yang penting dia berbuat baik pada sesama. Tak ada waktu dan tenaga untuk Alca terus meladeni perang dingin yang tiada usainya itu.

Alca duduk di tempat biasa dia merenung. Matanya menatap beberapa surat di tangannya yang terbungkus amplop di setiap lembarnya.

Ternyata memang benar, Imron mengirim surat beberapa kali. Memberikan Alca kepastian bahwa dia tidak dighosting.

Alca mencengkeram erat surat itu sampai tangannya bergetar.

Alca merasakan perasaan benci. Entah pada siapa.

Ustadzah Nayla? Dia hanya mematuhi peraturan pondok.

Imron? Kenyatannya dia selalu mengabari Alca.

Gus Kafa? Alasannya apa? Kenapa Gus Kafa?

Bunyai?

Pakyai?

Kenapa harus mereka? Yang memberi keputusan adalah dirinya sendiri. Kenapa Alca seperti membenci salah satu dari mereka. Padahal semuanya terjadi atas kemauannya sendiri.

Alca menangis tersedu-sedu karena tak bisa menemukan jawabannya.

Dia menepuk dadanya yang terasa sesak. "Kenapa Alca, ya Allah? Kenapa nggak lainnya? Kenapa serumit ini? Apa salah Alca?" cicit Alca dengan begitu pilu.

Tiba-tiba beberapa orang memeluknya dan ikut menangis bersamanya.

Alca tak tahu mereka siapa karena dia sibuk menangis dan mengeluarkan beban dadanya. Yang jelas beberapa orang itu terus menangis sembari mengucapkan kata maaf pada Alca.

Barulah setelah sepuluh menit berlalu saat Alca mulai tenang, Alca sadar bahwa mereka adalah teman-teman kamarnya.

Dan di antaranya ada Nendy dan ... Lebi.

Mereka ternyata mengikuti Alca ke jemuran dan berpikir alasan dari pecahnya tangisan Alca itu karena mereka.

***

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang