15.

1.5K 167 29
                                    

Alca menghela napas sembari menatap bangunan yang mengelilingi tempatnya sekarang duduk. Pondoknya tampak sepi karena para santri sedang berlibur.

Alca tak sendirian di sana, ada beberapa pengurus dan ustadzah juga abdi ndalem yang tak pulang, tetapi karena tak ada Ustadzah Nayla jadi Alca kesepian. Padahal ponselnya ada bersamanya, tetapi Alca masih merasa kesepian. Mungkin karena dalam dua tahun ini bisa dihitung jari dia tak bertemu Ustadzah Nayla.

Oiya, masalah handphone kenapa ada padanya, karena sekarang liburan. Bunyai memberi keringanan bagi santri yang tak pulang asal tetap melaksanakan ibadah sebagaimana biasanya.

Alca menatap halaman chat dirinya dan Imron. Dia sedang menimbang sesuatu. Alca ingin mengirim pesan kepada nomor itu, tetapi Alca menahan diri dan mengingatkan bahwa dia dan Imron sedang berkomitmen untuk memperbaiki diri dan akan bertemu diversi terbaik masing-masing. Alca harus sabaarrrr.

Selain itu juga, tujuan pesan itu dikirim pada seorang lelaki untuk apa? Alca sudah tahu hukumnya, celah-celah seperti ini yang akan dimasuki oleh setan. Jadi, Alca mengurungkan itu. Dia lebih memilih mengetik nama abangnya, lalu meneleponnya.

Baru saja tersambung dia sudah dibombardir banyak pertanyaan dari abangnya yang sok perhatian itu sejak Alca masuk pesantren.

"Nggak papa, Alca suka di sini. Pulang pun Abang bakal sibuk sama ujian-ujiannya."

"Jangan terlalu betah di sana, Dek. Udah dua tahun kamu di sana, pulangpah. Nggak kangen Abang? Padahal Abang kangen banget jahilin kamu."

"Males banget dih."

"Pulang makanya, atau Abang culik kamu dari sana."

Alca berdecak. "Alay bener. Kalo emang sekangen itu sama aku harusnya pas waktu acara pembagian rapot kemarin dateng dong."

Saiful terkekeh. "Kata pengurus kamu nggak wajib kok."

"Bagi keluarga aku wajib!"

"Iya, iya, maaf ya, Maung. Beneran se-hectic itu. Besok deh Abang ke sana."

"Ngapain? Udah telat. Aku mau nganter bunyai kontrol besok."

"Deket banget rumah sakitnya. Entar Abang sempetin ke sana."

"Nggak berharap, entar kayak yang udah-udah," sindir Alca yang membuat Saiful mengakak.

"Dendam banget kayaknya. Biasanya juga nggak mau dijenguk."

"Yang kemarin tuh beda! Itu hari bersejarah buat aku! Abang juga udah janji mau dateng, aku udah ingetin jauh-jauh hari!"

"Yaudah, selamat ya atas juara paralelnya. Maafin Abang karena nggak nepatin janji. Besok kan ketemu, kamu mau apa? Seafood saus padang?"

"Selalu curang nyogoknya pake makanan. Lobster aja. Yang banyak. Perayaan buat aku."

Saiful mengiyakan dengan tawa di ujung bibir.

Tiba-tiba Alca maupun Saiful diam. Kalo Alca sih memang tak ada yang dibicarakan. Entah kalo Saiful.

"Yaudah, Bang."

"Bentar, baru juga nelpon setelah sekian lama."

"Orang udah nggak ada yang mau diobrolin."

"Banyak."

"Apa? Aku sih nggak ada."

"Kamu gimana di sana? Beneran baik?"

"Heem, baik."

"Kamu tahu Abang tuh nggak tahu cara komunikasi sama sejenis kamu, bisa tolong lebih jelas dan detail nggak?"

"Ya kan aku baik, mau jawab apa lagi emang?"

"Yang jelas, yang detail. Abang nggak tahu apa-apa tentang kamu di sana. Siapa temen kamu yang kayak Sofia di sana, kamu susah nggak adaptasi di sana, ada yang jahatin kamu atau nggak di sana. Sebaik-baiknya tempat, selalu ada orang-orang yang nggak baik di dalamnya karena manusia tuh nggak ada yang sempurna."

Alca terdiam. Banyak yang ingin dia ceritakan, tetapi tertahan di tenggorokannya dan berujung hanya air mata yang keluar saat mengingat semua masalahnya.

"Aku baik-baik aja, di sini, Bang," ujar Alca dengan intonasi berbeda dari sebelumnya.

Tentu saja Saiful tahu yang diucapkan itu bertolak belakang dengan realitanya.

"Kamu cuma punya Abang, kalau masih ditutup-tutupin siapa yang mau dengerin kamu?"

Mendengar itu tangisan Alca langsung meledak.

"Aku suka di sini karena aku jadi punya ayah ibu. Pakyai dan bunyai baik banget mau bimbing aku. Mereka perhatian ke aku, tapi aku nggak punya temen, Bang. Mereka semua tiba-tiba hindarin aku. Aku nggak punya salah apa pun, aku fokus tujuanku jadi orang yang lebih baik, tapi mereka nggak mau temenan sama aku. Aku nggak diikutin dalam segala hal tentang mereka. Aku sendirian di sini. Beberapa kali aku coba deketin mereka, tapi mereka pasang tembok buat aku. Bukan cuma temen kamar, tapi satu angkatan musuhin aku. Beberapa mbak-mbak pengurus juga kelihatan sewot. Di sini aku cuma temenan sama ustadzah dan anak smp."

Alca tahu abangnya pasti syok mendengar ungkapan hatinya yang mendadak itu.

"Ca, mau berhenti? Abang yang bilang ke Bude, jangan takut nggak diizinin. Abang bakal bujuk sampe bude ngebolehin. Kalo tetep nggak diizinin Abang bakal culik kamu beneran dari sana. Ayo Abang bantu keluar dari sana."

Alca cemberut.

"Abang ngga kasih solusi yang baik itu namanya. Aku nggak mau pindah ke mana pun. Aku suka di sini. Aku sayang banget sama Bunyai dan Pakyai. Aku cuma mau cerita masalahku di sini, tadi Abang kan tanya. Hidup di sini indah, tapi kayaknya memang ujian aku tuh selalu pertemanan."

Saiful sempat terdiam untuk beberapa saat, antara syok dan tak tahu akan bereaksi seperti apa.

"Abang nggak tahu kamu butuh solusi yang gimana. Mungkin coba kamu introspeksi diri aja. Kadang, terlalu fokus tujuan sendiri sama apatis beda tipis, Ca. Coba kamu lebih peduli sama sekitar, lebih sering berbaur, lebih banyak sharing sama temen-temen kamu. Bantu temen-temen kamu dalam hal kecil, ambil hatinya lagi, buktiin kalau kamu tuh nggak seburuk pikiran mereka sampe harus dijauhi satu angkatan. Kayaknya kamu menutup diri dari temen-temen kamu sampe mereka takut bertanya dan malah menerka-nerka sikap kamu sampe salah paham."

Lalu Alca mulai sadar, iya sepertinya ucapan Saiful ada benarnya. Alca tak ada waktu untuk bersosial dengan teman-temannya karena dia fokus mengejar hafalan. Alca menghabiskan sehari-harinya di ndalem bersama bunyai dan Ustadzah Nayla, tak ada waktu untuk bercanda tawa dengan teman-temannya.

Saat teman-temannya ingin menyontek tugas, bukannya menjelaskan hal-hal yang tak dipahami mereka, Alca malah langsung menolaknya.

Benar, pentingnya introspeksi diri.

Seseorang tiba-tiba datang menghampirinya dan mengatakan bahwa Alca ditimbali (dicari) bunyai.

"Bang makasih ya sarannya. Aku bakal coba itu. Abang jangan khawatirin aku. Aku baik-baik aja di sini," ujar Alca lalu mengusap jejak air matanya.

Setelah sambungan terputus, Alca segera pergi ke ndalem. Dia menghela napas sejenak untuk menetralkan dadanya yang sempat sesak karena mencurahkan bebannya selama ini pada abangnya.

Sesampainya di sana, tiba-tiba Alca melihat bunyai menangis dalam pelukan seorang pria.

Tak hanya bunyai, pria bergamis hitam dengan motif emas itu juga ikut menangis.

Alca kebingungan, tetapi dia diam dan menunggu di ambang pintu ruang tengah.

Tak berapa lama, Pakyai datang dengan wajah panik kala melihat bunyai menangis.

"Loh loh nyapo, Umah?" tanyanya sembari berlari mendekati bunyai.

Setelah jarak mereka dekat, Pakyai langsung mendorong tubuh pria yang memeluk umah untuk melihat wajahnya.

Tiba-tiba ....

"Loh, Le?"

***

Tebak siapa?

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang