Hidup lagi cape-capenya, tugas lagi banyak-banyaknya Alca malah lihat rumah yang tadi sebelum berangkat sekolah dia bersihkan, kini tampak berantakan.
Dia melempar tasnya ke sofa lalu berjalan dengan langkah yang dihentak-hentakkan menuju kamar tersangka utama dari semua perbuatan itu.
Dia membuka pintu kamar abangnya lalu berkacak pinggang, matanya memelototi tiga penghuni kamar yang seru sekali bermain ps dan satu lagi yang sibuk membaca buku. Keberadaannya tak mengusik mereka, membuat Alca menggedor pintu kamar dan berkacak pinggang lagi--ingin terlihat garang meski sebenarnya dia tetap terlihat lucu dengan wajah kecil seukuran telapak tangan itu.
"Abang!" katanya memanggil kakaknya dengan nada tegas.
"Opo!" jawab seseorang tanpa menoleh ke arah Alca.
"Bersihin rumah sekarang juga!" ujar Alca masih dengan nada tegas.
"Hooh. Entar, lagi seru," ujarnya acuh tak acuh.
Alca mencureng hingga alisnya menyatu. "Sekarang juga!"
Abangnya tak menjawab dan masih sibuk bermain gim bersama dua temannya.
Tak mendapati tanggapan membuat Alca meletup-letup. Kakinya yang kecil itu menghentak beberapa kali. "Saipul Ali Akbar! Sekarang juga!" peringat Alca yang membuat dua teman abangnya itu menyenggol Saipul.
"Pul, adik lu dah mo meladak noh," ujar Ilyas, salah satu teman Saiful.
"Biarin aja, meledak juga paling kek petasan maratus," kata Saiful sembari menjulurkan lidahnya ke arah Alca.
Alca mencebikkan bibir lalu berlalu dari sana. Dia tak ada tenaga untuk marah-marah meski sebenarnya banyak yang ingin dia ledakkan. Namun hanya melihat ekspresi Saiful, itu sudah melelahkan.
Jadi, Alca hanya bisa membereskan kekacauan di rumahnya sambil menangis.
Untuk sekejap, Alca merasa menjadi orang paling menyedihkan di dunia.
Ayah ibunya hidup berdampingan dengan singkong saat dia baru saja lulus sekolah dasar dan sayangnya mereka meninggalkan Saiful sebagai beban bagi Alca.
Iya, Saiful beban.
Saiful dan Alca bagai air dan minyak yang tak pernah bisa menyatu. Jika disatukan ada saja yang diributkan.
Alca merasa Saiful adalah bocah nakal yang perlu didisiplinkan, sedangkan Saiful menganggap Alca seperti macan kecil yang tak berhenti mengaum.
Alca menghentikan gerakannya, dia melempar bantal sofa lalu berjongkok untuk menangisi hidupnya yang terasa melelahkan. Alca menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangannya.
Dia baru 15 tahun, seharusnya dia masih dimanja, bukan dipaksa dewasa begini.
Alca menangis sampai sesenggukan.
Tentunya Saiful tak akan peduli. Dia pasti masih heboh dengan PS-nya.
Membayangkan itu membuat Alca semakin cemberut.
Tak ada yang sayang padanya.
Tak ada yang peduli padanya.
Apa dia menyusul orang tuanya saja?
Tapi dia berjanji pada Sofia bahwa besok akan makan mie gacoan bersama.
Juga, sebentar lagi ujian kelulusan, gimana dong?
Tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Hey, Bocil," katanya yang membuat Alca mengangkat wajahnya dan mendongak menatap seorang lelaki dengan seragam SMA yang berdiri menjulang di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]
RomansaSeason I Alca menyukai Imron Hais Basalamah, sahabat kakaknya sekaligus gusnya di pesantren. Namun ... kisah percintaannya tak mulus kala bunyai menjodohkannya dengan seseorang yang tak dia duga.