43

1.1K 138 20
                                    

Dua hari setelah hari ke-tujuh, keluarga Alca datang lagi setelah kemarin datang saat hari pertama kedukaan. Mereka sengaja datang sedikit akhir agar bisa mendoakan langsung ke pesarean. Tak hanya keluarga Alca, ada Ilyas dan Yohanes juga yang ikut melayat dan mendoakan kedua orang tua sahabatnya.

Bude Nur mengusap-usap nisan sahabatnya, tak percaya bahwa telah tiada. Terakhir bertemu kondisinya membaik setelah dilakukan pengobatan hemodialisa, tetapi takdir berkata lain, maut tetap menjemput meski dengan cara lain.

Bude Nur menoleh ke arah Imron dan Kafa yang tadi inisiatif mendampingi keluarga Alca untuk pergi ke makam keluarganya.

"Ceritanya bagaimana sebenarnya, Gus?" tanya Bude Nur pada Imron yang membuat Alca segera menyenggol lengan budenya, sebab keluarga ndalem sangat menjaga Imron agar tak teringat pada insiden tragis itu, tetapi budenya malah terang-terangan minta diceritakan.

"Nggak papa, Ca," ujar Imron sembari tersenyum tipis dan segera menceritakan kejadian itu dari sisinya.

"Pagi itu waktunya almarhumah Umah cuci darah, Bude. Biasanya memang jam setengah delapan sudah harus sampai di Surabaya, tetapi pagi itu pukul 7 kami masih di sini dan baru saja berangkat. Almarhum Ustadz Kirom tahu jadwal Umah biasanya dan sadar bahwa hari itu kami telat, jadi beliau izin untuk sedikit mengebut. Qodarullah ternyata jalanan tol pagi itu berkabut, mungkin karena dingin dan masih pagi, menyebabkan pemisah jalan di tengah tidak terlihat. Mobil yang berkecepatan tinggi tidak keburu untuk berhenti meski sudah direm. Dan tabrakan terjadi. Menurut info, Almarhum Abah dan Ustadz Kirom terjepit di depan sedang Almarhumah Umah dan istri saya terlempar ke luar. Saya yang berada di belakang juga terjepit, tapi atas izin Allah saya selamat dan bisa pulih seperti sekarang," jelas Imron dengan tegar."

Bude Nur tampak merinding.

"Terus gimana keadaan kamu sekarang, Gus? Sehat 'kan?"

"Alhamdulillah, Bude. Seperti yang Bude lihat sekarang. Tapi ya begitu ada saat-saat saya ingat suara teriakan Abah dan Umah, juga suara tabrakan hari itu," aku Imron yang membuat Ilyas dan Yohanes segera menguatkan sahabatnya lewat sebuah tepukan di bahunya.

"Pas di rumah sakit Mas juga lihat beberapa kali kamu tidur sambil ngerutin kening. Mungkin pas kamu tidur memori kejadian itu terputar lagi di bawah alam sadar kamu," ujar Kafa yang membuat Imron mengangguk.

"Terhitung udah tiga kali aku mimpi tentang hari itu, Mas," ucap Imron.

Saiful yang sejak tadi hanya diam mendengarkan di belakang Ilyas terlihat menunduk dalam, membuat Alca sadar bahwa abangnya itu sedang menyembunyikan sesuatu.

Dia mengintip, ternyata diam-diam Saiful menitikkan air mata yang langsung dihapus karena takut ketahuan teman-temannya.

Mungkin abangnya itu sedang flashback dengan momen kepergian kedua orang tuanya. Alca juga sempat begitu, tetapi sekarang dia sudah mulai terbiasa dengan kesedihannya.

Alca tersenyum geli, jika saja tak sedang suasana berduka dia pasti akan menertawakan abangnya itu.

Setelah lama mengobrol di pesarean, Gus Kafa akhirnya mengajak keluarga Alca untuk istirahat di ndalem sehingga akhirnya mereka semua meninggalkan tempat itu.

Alca berjalan paling belakang, menemani Saiful yang tampak tak bersemangat.

Alca menyenggol lengan abangnya, menggodanya dengan tatapan jahil agar Saiful tak lagi bersedih. Namun sayangnya abangnya itu tak menanggapi Alca.

"Udah gede, malu, masa masih nangisan," bisik Alca yang membuat Saiful menghentikan langkahnya, yang membuat Alca ikut berhenti melangkah dan tertinggal dari rombongan di depan.

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang