34

1K 113 20
                                    

Setelah selesai kegiatan, Ustadzah Nikmah yang menjadi pembina di semua kamar lantai 2 gedung 1 pengganti dari Ustadzah Nayla, mengumpulkan semua penghuni 4 kamar untuk pengakuan dari barang-barang yang mereka telah sita saat razia tadi.

Bagian pakaian yang tak layak pakai di pesantren langsung dimasukkan ke dalam karung untuk disumbangkan kepada korban bencana atau orang-orang yang membutuhkan. Pun dengan makeup yang langsung dibakar tanpa dicari pemiliknya karena dua kesalahan itu tak termasuk kesalahan yang harus dihukum.

Setelah semua penghuni lantai itu berkumpul, yang paling pertama dicari adalah pemilik dari buku-buku yang dilarang ada di area pesantren. Contoh salah duanya adalah novel dan majalah.

Di depan ada puluhan buku novel dan beberapa buku yang berisi gambar lelaki dari Negeri Ginseng, beberapa lagi buku majalah produk kecantikan dan busana. Ustadzah Nikmah menyuruh para pemiliknya maju. Ada empat teman kamar Alca yang ikut maju; Nendy, Jannah, Wiwid, dan Dina. Nama mereka dan kesalahannya langsung dicatat di buku hijau oleh para pengurus untuk diberikan hukuman yang akan diumumkan besok setelah dirapatkan dengan ketua asrama.

Setelah buku-buku, kali ini pemilik dari barang elektronik seperti kipas portabel, setrika, dan segala macam elektronik selain HP, Laptop, dan Ipad. Mereka juga dicatat dibuku hijau.

Buku hijau pun ditutup oleh pengurus yang mencatat, memberikan tanda bahwa barang-barang selanjutnya akan masuk pada buku catatan kesalahan berwarna kuning.

Beberapa orang lalu menahan teriakannya karena tahu mereka akan dihukum lebih berat akibat dari barang bawaan mereka.

Alca tidak ikut berteriak sebab reaksi dari kagetnya adalah mematung dengan jantung yang berdebar kencang. Tangan dan tubuhnya meriang, pelipisnya dialiri keringat dingin. Jelas namanya akan tergores di buku kuning itu sebab setelah dia cek tadi, berlembar-lembar surat dari Imron hilang alias disita.

Nendy yang telah kembali duduk setelah dicatat namanya tadi mendesah lemah. Matanya berkaca ingin menangis. Dia memegang tangan Alca.

"Hukumannya apa, ya? Takut banget sumpah, Ca," katanya sembari memeluk Alca karena tak kuasa akan sesuatu.

"Yang merasa memiliki elektronik di depan ini silakan maju," ujar Ustadzah Nikmah yang membuat beberapa orang maju, termasuk Leby dan Nendy yang menjawab mengapa sobat Alca itu tampak gusar setelah duduk di sebelahnya lagi. Ternyata karena dia terkena hukuman berlapis karena membawa novel sekaligus ponsel.

Nama mereka pun dicatat beserta barang-barangnya.

"Ingat ya, nama kalian bisa masuk buku merah jika setelah diperiksa ada indikasi kepada hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh syariat. Bukan hanya pelanggar yang membawa hp, buku-buku juga jika isinya tak senonoh maka akan masuk pada pelanggaran merah," ujar Ustadzah Nikmah kala menunggu pengurus selesai mencatat nama-nama para pelanggar aturan pesantren.

Para santri yang namanya tercatat di buku hijau dan merasa aman karena hukumannya ringan langsung melotot kaget.

Salah seorang tiba-tiba bertanya,"Ustadzah boleh tahu laptop dan hp-nya mau dikemain?" tanyanya. Dari kepolosannya, mereka tahu bahwa anak itu santri baru karena bukan rahasia lagi bahwa barang-barang elektronik akan dihancurkan.

"Akan dihancurkan oleh pemiliknya langsung. Baik itu setrika, ponsel, atau ipad sekalipun. Untuk laptop akan kami tahan sampai lulus."

Tenang saja, meskipun elektronik dilarang di pesantren, tetapi mereka masih bisa mengenal dunia luar lewat mading atau koran-koran yang diperbarui setiap harinya. Sekolah juga menyediakan lab yang dipakai sebutuhnya seperti mencari informasi tentang kampus yang akan dituju setelah lulus atau ujian yang berbasis komputer.

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang