28.

1.6K 135 29
                                    

Momen terkejut tadi sempat dijeda oleh kedatangan pakyai. Alca kira pembahasan tentangnya sudah usai. Namun bunyai kembali menceritakannya karena begitu senang membahas pernikahannya dengan Gus Kafa.

"Yo, Bah, kan Alca ki anak cerdas, yo? Dua tahun lalu masuk dengan ilmu agama yang kosong, 3 bulan setelannya sudah fasih membaca Alquran, saiki wes hafal."

Pakyai mengangguk setuju.

Alca harus mengulas senyum saat bunyai menceritakan tentangnya, padahal hatinya sedang ngilu melihat Imron yang masih tak percaya akan fakta bahwa Alca adalah istri dari Kafa yang notabene adalah kakaknya.

Alca tak berani bertabrak pandang dengan Imron setelah tadi dia melihat tatapan Imron yang terlihat begitu sedih.

Alca mencari-cari alasan agar bisa lari dari ruangan yang terasa begitu sesak itu. Hingga akhirnya bunyai meminta diambilkan obat karena beliau belum memakan obat siangnya. Disitulah kesempatan Alca lari. Dia akan meminta Ustadzah Nayla yang mengantarnya ke bunyai.

"Ustadzah," panggil Alca yang membuat Ustadzah Nayla menoleh.

Tiba-tiba saja Ustadzah Nayla canggung berbicara dengannya, bahkan ustadzahnya itu memanggilnya dengan panggilan ning.

"Ustadzah jangan begitu, saya Alca sama seperti biasanya."

Ustadzah Nayla menatap Alca dengan tatapan merajuk. "Kenapa nggak bilang ke saya? Apa surat-surat yang kemarin itu dari Gus Kafa? Karena pengirimnya dari Mesir juga."

Alca langsung menggeleng. Dia akan menjelaskannya tetapi tiba-tiba Imron menghampiri mereka.

"Alca, bisa bicara sebentar?" ujarnya yang membuat Ustadzah Nayla lalu undur diri meninggalkan Alca berdua dengan Imron di dapur ndalem itu.

Alca tahu berdua-duaan di ruangan tertutup bersama lelaki yang bukan mahrom itu dilarang, tapi apa berlaku pada dia dan Imron yang sudah berubah status menjadi ipar.

Alca tetap pamit karena belum ingin menjelaskan apa pun pada lelaki itu.

"Ca, ini atas persetujuan kamu 'kan? Bukan atas paksaan Umah atau Abah?" tanya Imron kala Alca sudah melangkah ingin meninggalkan ruangan itu.

Alca mengangguk sekilas.

"Ca," panggil Imron lagi yang kali ini tak digubris oleh Alca.

Di depan pintu dapur Alca berpapasan dengan pakyai. Pengasuhnya itu tampak menatap Imron dan Alca bergantian sebelum akhirnya menyuruh Alca dan Imron untuk ikut ke ruang tamu depan.

Pakyai seperti sedang menyidang Alca dan Imron karena tatapannya tampak mengintimidasi.

"Le, Alca sudah menikah siri dengan Kafa setengah bulan lalu. Abah dan Pakde Nursalamah yang menjadi saksinya. Tak ada paksaan karena ini atas keputusan Alca sendiri, yo kan, Nduk," ujar Pakyai yang diangguki Alca.

Sampai detik itu Alca belum paham mengapa pakyai menjelaskan hal itu pada Imron.

Apakah pakyai ....

"Abah dudukkan kalian di sini untuk menyelesaikan di antara kalian. Mau bagaimanapun kisah kalian sebelumnya, Alca sekarang sudah sah menjadi istri Kafa. Silakan jika ada yang mau disampaikan, setelah keluar dari sini Abah harap sesuatu di antara kalian sudah selesai."

Alca mendongak menatap pakyai dengan tatapan bertanya. Dia langsung tersadarkan dengan apa yang selama ini Alca kira kebetulan.

"Abah ... tahu?" tanya Alca hati-hati.

Pakyai tersenyum tipis dan tampak menggeleng. "Tidak jauh. Abah hanya tahu kalian saling tertarik. Sebelum berangkat ke Mesir Hais meminta bantuan Abah untuk membimbing kamu. Ingat surat yang ada di dalam Alquran pink itu? Dia menulisnya di samping Abah. Jadi sedikitnya Abah tahu. Namun jika memang tak ada yang terjadi di antara kalian, yo alhamdulillah, tapi kalau ada, ya selesaikan sekarang agar tidak bermasalah ke yang lain-lain."

Alca menunduk dalam sembari menatap kuku-kukunya. Meski telah diberi kesempatan untuk saling menyelesaikan di antara mereka, tetapi Alca dan Imron sama-sama tak menggunakannya. Mereka memilih saling menunduk menikmati perasaan sedih mereka sampai akhirnya bunyai datang bersama Ustadzah Nayla mencari keberadaan pakyai dan Imron.

Alca segera mengubah raut wajahnya agar bunyai tak menanyakannya.

Ustadzah Nayla meninggalkan ruang tamu itu setelah mengantar bunyai karena dia tak ingin mengganggu waktu bersantai keluarga pengasuhnya.

"Senenge ati rumah rame. Tiap sudut rumah onok anak-anak," ujar bunyai dengan wajah sumringahnya.

"Setelah empat tahun akhir e kumpul lagi. Biasane ada aja seng bikin nggak lengkap."

Bunyai lalu menatap Imron. "Berapa hari di sini Le?"

"Liburnya hanya sebulan, Umah," jawab Imron.

"Lama itu," ujar bunyai. Lalu beliau menanyakan seputar perkuliahan Imron di sana, juga tentang program-program di kampus sana.

"Kenapa Umah?" tanya Imron karena umahnya tampak seperti menyelidiki sesuatu.

"Nayla niat tak kuliahno neng Mesir. Arek e cerdas, eman-eman lek cuma kuliah neng kene. Kairo juga impiannya sejak lama. Di sana kan ada kamu, jadi ada yang menjaganya."

Lalu tiba-tiba pembahasan bunyai berubah.

"Bah, acara nikah massal santri kapan?"

"Bulan depan, Umah," jawab pakyai.

"Berapa santri?" tanya bunyai lagi.

Pakyai tampak mengangkat kedua alisnya karena merasa percakapan itu tak hanya obrolan biasa. Karena memang istrinya itu selalu mengejutkannya.

"Sini tiga pasang, asrama Nursalamah lima pasang."

Bunyai mengangguk-angguk. "Acarane besarkan, Bah. Biar anakmu sekalian nikah."

Alca dan Imron kontan menatap bunyai.

Alca memandang bunyainya itu karena mengira dia dan Gus Kafa yang dimaksud, sedangkan Imron tahu bahwa dialah yang dimaksud umahnya barusan.

Satu-satunya anak orang tuanya yang belum menikah hanya dia seorang karena masnya sudah menikahi Alca, jadi kemungkinan besar Imronlah yang akan dinikahkan.

"Sopo?" tanya Abah.

"Imron karo Nayla," jawab Umah tepat seperti dugaan Imron.

Abah langsung menentang. "Ojo, Mah. Anak e baru sekolah. Dorong siap dia."

"Wes pasti siap. Belajar sambil berjalan yo, Le. Wes 21 tahun toh? Masmu semuanya nikah diumur segitu, kecuali si Kafa 24 tahun dia. Tua. Kan enak kuliah bareng istri."

Bunyai dan pakyai sempat adu argumen.

"Mah, ngejar opo anakmu disuruh nikah semua? Wes talah. Kalau mereka mau nikah pasti akan datang ke kita."

Bunyai menatap ke arah Imron. "Piye, Le? Ghellem? Nunggu apalagi calonnya saja sudah ada?" ujar Umah tanpa menjawab Abah karena pasti perdebatannya tak akan usai.

Imron menatap Alca yang masih nyaman menunduk.

Dia pun menghela napas dan menjawab tawaran umahnya bahwa dia ....

***

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang