42

1K 130 23
                                    

Siang itu awan menjadi kelabu saat sebuah mobil membelah jalan tol Surabaya menuju kota tujuan.

Rintik hujan perlahan turun, membuat suasana mobil yang sepi itu tampak sendu.

Seorang pria yang duduk di samping jok kemudi memalingkan wajah, menatap jalur samping yang nampak lenggang.

Tatapannya terpaku pada satu titik dan terlihat kosong.

Tak ada semangat yang dia perlihatkan sejak tadi, padahal kondisinya membaik dan dokter memperbolehkannya pulang setelah menginap hampir seminggu di rumah sakit.

Dia yang sehari-hari dikenal sebagai sosok yang tak banyak bicara terlihat semakin diam.

Semua orang tahu apa penyebabnya.

Iya, bisa dibilang semua orang, sebab berita terpanas minggu itu di pulau Jawa adalah ... kecelakaan tunggal dari mobil ketua majelis pimpinan pesantren Darul Amin yang menewaskan empat orang termasuk sang pemilik mobil sendiri, istrinya, menantunya, dan supirnya. Sedang seorang lagi yang diketahui sebagai putra pimpinan majelis sempat kritis dan menginap di ICU selama dua hari.

Dialah Imron Hais Basalamah.

Pria yang sejak tadi diam sembari membuang tatapannya pada kaca di sampingnya adalah putra yang dimaksud.

Pikirannya sedang memutar momen terakhir kali dia melewati jalan itu.

Suasananya begitu ceria pagi itu. Di jok depan Abah bercerita dengan Ustadz Kirom di sebelahnya, sedang Umah di tengah memejamkan mata sembari menikmati pijatan Nayla di tangannya.

Imron yang duduk di jok paling belakang hanya mendengarkan obrolan sesekali menanggapi.

Semua tampak menyenangkan sampai insiden mengerikan itu terjadi dengan secepat kilat menyambar.

Saat Imron sedang meluruskan kakinya ke jok samping, tiba-tiba saja Abah berteriak memperingati bersamaan dengan Ustadz Kirom yang mengucap asma Allah, disusul benturan hebat dan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh merenggut kesadaran Imron.

Setelahnya dia tak ingat apapun.

Tiba-tiba saat membuka mata, dia kehilangan semuanya.

Dia kehilangan abah, umah, dan istrinya. Juga seorang ustadz yang sudah lama mengabdi kepada keluarganya.

Tanpa aba-aba, tanpa pelukan terakhir, dan tanpa sebuah kalimat perpisahan.

Semuanya kembali kepada Sang Pencipta.

Imron kehilangan.

Dia ingin mengadu tentang rasa sedihnya.

Dia ingin menyuarakan kepada dunia bahwa dia benar-benar bersedih.

Namun yang dia lakukan hanya menyimpannya sendiri. Dia bingung cara mengekspresikan kehilangannya yang paling tepat, sebab, tak ada yang bisa menggambarkannya meski dengan sebuah kata dan tangisan sekalipun.

Pada Tuhan Aku mengadu,

Kau pandang sekuat apa hamba-Mu ini sampai ujian yang tak terukur besarnya Kau limpahkan?

Diri ini bukan pohon dengan akar kuat dan daun yang lebat, hanya tumbuhan lemah yang bernaung di bawah pohon-pohon besar yang baru Kau ambil, yang bisa terbang kapan pun hanya karena tersapu angin.

Apa yang Kau pandang kuat dari Hamba lemah ini?

Pada Tuhan aku mengadu.

Imron memejam mata kala matanya menangkap karangan bunga yang berjejer dari sepanjang jalan menuju gerbang pesantren.

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang