44

1.2K 147 39
                                    

Kafa baru saja selesai mengajar kelas diniyah malam kala seorang santri datang ke arahnya dan menyampaikan pesan bahwa kedua kakaknya berada di gazebo samping gedung yang dipijaknya sedang menunggu kedatangannya. Jadi setelah membubarkan santri, langkahnya langsung menuju gazebo di mana Mas Thoriq dan Mas Rizky berada.

"Sudah selesai mengajar, Dek?" tanya Mas Thoriq kala melihat kedatangannya.

"Baru selesai, Mas," ujar Kafa sembari mengalami kedua kakaknya.

Mereka lalu memberikan space untuk Kafa duduk, terlihat siap sekali membahas sesuatu yang serius.

"Ada apa, Mas?" tanyanya kepada kedua kakaknya.

Mas Thoriq yang jarak umurnya terpaut empat tahun dengannya berkata, "Enggak, tadi kita habis main ke rumah Pakde Nur dan bahas-bahas tentang Hais. Pakde tanya keadaan Hais sekarang gimana setelah kejadian hari itu. Kita jawab yang kita tahu aja. Nah karena Hais biasanya terbuka dengan kamu, menurut kamu Hais keadaannya gimana sekarang?"

"Kalo dibandingkan dengan sebelum tragedi kecelakaan, ya sekarang kayaknya lebih pendiem aja sih, Mas. Aku nggak berani tanya tentang hal-hal yang berhubungan dengan hari kecelakaan takutnya buat dia sedih lagi karena aku pernah mergokin Dek Hais nangis di kamar Umah Abah sambil peluk barang mereka."

"Berarti dia nggak pernah cerita tentang perasaannya setelah ditinggal Umah dan Abah?"

"Pernah, tapi setelah acara tahlil hari ke-tujuh dia udah nggak pernah bahas lagi."

"Tadi Pakde bahas masalah ini. Katanya Dek Hais butuh pendamping baru biar bisa leluasa membagi kesedihannya. Dia mungkin nggak bisa berbagi dengan kita karena dia takut kita sedih lagi."

Kafa mencerna kalimat kakak tertuanya itu.

Lalu Mas Rizky menambahi. "Mas setuju dengan pendapat Pakde karena Mas sendiri ngerasain leganya cerita ke Dek Ria tentang kesedihan Mas. Perasaan Mas lebih legowo setelah bercerita banyak hal kepada istri."

Mas Thoriq mengangguk. "Mas juga, support terbesar Mas setelah kepergian Umah dan Abah ya pasangan. Kayak kamu dan Rizky, terlihat lebih tegar sekarang, sedang Imron masih menyimpan semuanya sendiri. Sorot matanya masih sayu."

Kafa menggaruk pelipisnya. "Kayaknya nggak etis Mas, soalnya baru 100 hari istrinya meninggal, menurut aku biarkan saja Dek Hais. Mungkin dia memang mau menikmati waktunya. Hais bukan anak kecil, kalau butuh cerita, dia pasti akan datang ke kita."

Mas Rizky menyentuh bahu Kafa. "Coba kamu ajak Hais bicara masalah ini dulu. Saran dari Pakde, mumpung lagi cuti suruh berkelana sowan ke pesantren-pesantren sesepuh. Kalau memang nggak mau ya nggak papa, ini hanya saran dari kita."

Kafa hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Dia segera pamit pergi dari sana dengan alasan ingin beristirahat. Langkahnya pun menuju rumah.

"Ngopi, Mas?" tanya seseorang kala Kafa melintasi ruang tengah.

Dia menoleh dan ternyata Hais sedang duduk sendirian di sana. Waktu yang tepat untuk membahas tawaran Pakde Nur tadi, tetapi Kafa malah berkata, "Abis ngajar Dek, mau istirahat," katanya dan meninggalkan ruangan itu menuju kamarnya.

Alasannya ingin istirahat padahal kenyatannya Kafa hanya duduk di kursi belajarnya berjam-jam sembari memandangi dua kertas yang bukan miliknya.

***

Hari berganti hari begitu saja. Terasa cepat sekaligus membosankan. Tak ada yang spesial bagi Imron karena setiap hari yang dia lakukan monoton.

Hari-hari yang ditunggu sudah berlalu. Tiba-tiba saja 100 hari kepergian telah selesai dilaksanakan kemarin malam, sehingga malam ini Imron tak memiliki tujuan untuk melakukan satu hal yang berarti. Dia hanya duduk lesehan di ruang tengah dengan sebuah buku di pangkuannya.

Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang