Spill Off- Wounds Are Still Wounds

283 64 24
                                    


"Luka tetaplah luka bagaimanapun wujudnya."
.
.
.

"Dame, kita mau ke mana?"

Dame tampak sibuk sendiri, memainkan ponsel.

"Dame?" Welang menepuk tangan Dame, menarik perhatian Dame dengan sedikit mendekat.

Dame menoleh setelah Welang menggoyangkan beberapa kali lengannya.

"Kita mau ke mana?"

Dame diam sejenak, lalu kemudian, matanya melirik ke punggung Welang.

Nyonya Bendetti menghela napas. Ditariknya bahu sang cucu agar berbalik menatap dirinya.

"Elang, kita mau ketemu seseorang. Kamu yang anteng aja, tunggu, bentar lagi sampai."

Dame menghembuskan napas lega. Setidaknya, bukan dia yang menjelaskan.

"Iya tapi kita mau ke mana?" Desak Welang.

"Kita mau ke Bogor. Ketemu tante."

"Tante siapa?"

"Lang, sekarang giliran kamu. Aku udah kalah."

Welang memutar kepala. Alisnya mengernyit. "Katanya tadi nggak boleh main game?"

"Udah boleh, tadi aku bilangnya kalau tiga kali kesempatan kalah, giliran kamu."

Welang memberengut, merasa kesal karena Dame seenakanya mengubah aturah. Tapi walaupun begitu, Welang tidak menolak mengambil ponsel yang disodorkan Dame.

Dame tersenyum begitu melihat adiknya kembali menyamankan posisi menghadap depan. Sangat mudah mengalihkan fokus Welang dengan game seperti ini. Rasa penasaran Welang pun jadi hilang, berganti dengan keseruan si tokoh idola dalam game saat berperang melawan musuh.

--_--_--_--_--

Cukup jauh perjalanan yang Welang tempuh membuat anak itu tanpa sadar tertidur. Ia baru dibangunkan begitu mereka tiba di tempat tujuan.

Entah tempat apa itu. Welang kebingungan. Sesaat setelah keluar dari mobil, Welang terpaku pada bangunan khas belanda yang mengelilinginya. Sempat merasa berada di Jerman karena bangunan tersebut hampir mirip di desa tempat tinggalnya. Welang lantas disadarkan saat beberapa orang yang berlalu lalang, berbicara menggunakan bahasa Indonesia.

"Yok. Kok malah diem."

Dame merangkul bahu Welang, membuat sang empu tersadar. Kakinya lalu melangkah, dengan mata yang masih mengedar ke penjuru tempat.

"Kita ketemu tante siapa? Ini rumahnya? Kok luas?" Tanya Welang.

"Aku juga nggak tahu, Lang. Aku juga baru pertama kali ke sini."

"Anak-anak ayo."

Panggilan nyonya Bendetti yang berjalan di depan membuat keduanya kembali melanjutkan perjalanan.

Keduanya cukup jauh berjalan, melewati lorong dan ajaibnya kembali menemukan taman setelah memasuki pekarangan bangunan. Taman yang dikelilingi bunga dengan pohon cukup besar itu terlrtak ditengah-tengah. Beberapa orang banyak yang bersantai di bawah pohon tersebut karena memang disediakan kuris kayu yang memanjang.

Ada dua jenis pakaian yang banyak Welang lihat di tempat ini, yang digunakan oleh sebagian besar penghuninya. Seperti piyama tidur tapi juga tampak seperti piyama di rumah sakit, berwarna merah muda. Lalu orang-orang yang menjaga mereka, seperti mengawasi dan membantu, berwarna putih.

Sampai pada akhirnya, mereka berhenti disebuah lorong. Dalam lorong tersebut terdapat satu ruangan yang entah apa itu. Welang tidak mengerti. Dia hanya dipersilahkan duduk pada deretan bangku bersama Dame, mereka sama-sama memperhatikan Nyonya Bendetti dan Tuan Marco yang sedang berbicara dengan satu orang asing di depan kamar.

Memoar HometownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang