Setelah makan malam selesai. Raga lebih dulu pergi ke belakang rumah. Duduk di gazebo. Tak lama, Haikal muncul. Dengan dua gelas kopi pahit ditangannya.
"Kopinya, Mas. Tadi Aca yang buatin" Raga hanya mengangguk.
"Rokok" Raga memberikan sepuntung rokok pada Haikal. Tentu saja Haikal terima.
"Makasih, Mas"
Hening. Keduanya sibuk dengan rokok dan kopi masing-masing. Haikal memilih diam. Menunggu hingga Raga mau mengajaknya berbicara lebih dulu.
"Aca tuh adek yang paling berharga buat gue setelah kedua orang tua gue" Raga mengisap Rokoknya. "Gue jagain dia sebisa gue" Ucap Raga yang lebih nyaman berbicara menggunakan gue lu dengan Haikal.
"Maaf, Mas" lirih Haikal. Masih mampu didengar Raga. Namun tak Raga tanggapi.
"Jujur, gue kecewa—"
"Gue marah saat tau Aca hamil. Pengen rasanya gue bunuh cowok yang hamilin Aca. Tapi Aca jelasin ke gue semuanya. Ternyata lu berdua sama tololnya." Raga menghisap rokoknya. Menjeda ucapannya sejenak.
"Tapi makin gue mikir, gue sadar ternyata gue bukan Kecewa dan marah ke Aca. Gue justru kecawa sama marah ke diri gue sendiri yang gak becus jagain Aca karena kita jauh. Gue mikir beribu kali kenapa Aca sampe ngelakuin hal tolol ini. Makin marah gue sama diri gue sendiri" Raga, kedua matanya masih menerawang kedepan. Memandangi langit malam yang semakin pekat.
"Apalagi, waktu denger keputusan dia buat gak ngasih tau lu soal kehamilannya—"
"Gue makin marah. Gue diemin dia seminggu. Tapi, selama seminggu, Aca tetep kabarin gue. Walaupun chat dia cuma gue read. Gue bego banget waktu itu, milih ngikutin emosi gue. Sampe akhirnya Aca sakit. Gue makin ngerasa bersalah. Gue bukan jadi abang yang baik buat dia malah bikin dia makin down" Raga kembali menjeda ucapannya. Ia menyeruput kopi hitam disampingnya.
"Dia cuma bilang sama gue. Mungkin dia bakal nyesel ngambil keputusan buat nyembunyiin kehamilannya dari lu. Mungkin kedepannya gak akan mudah buat dia sama anaknya. Tapi dia bilang seenggaknya, jalan yang lu ambil gak akan susah. Dia bisa liat lu sukses kejar mimpi lu. Cukup buat dia—" Raga menghisap lagi rokoknya. Sudah 2 batang ia habiskan.
Haikal menundukan kepalanya. Hatinya mencelos saat mendengarkan ucapan Raga. Sakit. Ia tak pernah tau Aca rela berkorban demi dirinya sampai sebegitunya. Demi sebuah mimpi yang amat sangat Haikal agungkan. Sedangkan Haikal? Ia bahkan tak tau sesulit apa Aca menjalani hidupnya. Sesulit apa Aca melahirkan tanpa dirinya. Sesulit apa Aca membesarkan Hasya seorang diri selama 5 tahun.
"Tapi hari ini, gue sadar. Cuma lu yang bisa bikin Aca dan Hasya bahagia. Karena sejak awal lu yang jadi kekuatan dia. Hasya yang jadi tameng dia buat tetep berdiri kuat sampe detik ini." Raga membenarkan posisi duduknya.
"Gue harap lu selalu jadi orang yang bisa bahagiain Aca sama Hasya" Raga menatap Haikal, dalam. Bisa Raga pastikan ada bulir air mata diujung mata Haikal.
"Maaf, Mas. Sekali lagi gue minta maaf" Haikal menundukan kepalanya penuh penyesalan.
"Aca gak salah. Walaupun kita ngelakuinnya sadar dan sama-sama mau. Gue yang salah, Mas. Gue yang dengan begonya terlalu terbawa suasana" Haikal semakin menudukan tubuhnya dihadapan Raga. Raga mengelus bahu Haikal lembut.
"Gue gak bisa janjiin Aca bakal bahagia sama gue. Tapi gue bakal berusaha buat kebahagiaan Aca sama Hasya. Gue bakal ganti waktu gue yang ilang 5 taun kemaren, Mas." Haikal menatap Raga sendu.
"Lu boleh pukulin gue. Kalo suatu saat nanti gue bikin Aca nangis. Gue serius, Mas. Lu mau bunuh gue juga gue terima, Mas. Karena itu berarti gue udah gagal buat bikin Aca bahagia" Raga yang mendengar ucapan Haikal, menatap lelaki itu, dalam. Mencari sebuah kebohongan dari matanya. Namun tak Raga temukan. Raga tau jika lelaki disampingnya bener-bener serius pada sang adik.
"Gue tau—" Raga menghela nafasnya "Gue tau lu serius sama Aca. Bahkan setelah 5 taun. Lu masih mau mengakui Hasya dan bertanggung jawab atas hidup Aca. Sorry gue terlalu berlebihan. Gue cuma takut justru Aca yang bakal paling terluka karena pilihan dia sendiri" Raga merangkul Haikal.
"Gue yang benar-benar minta maaf sama lu Mas. Gue juga berterimakasih banyak karna lu udah percaya sama gue. Lu udah percaya sama Aca. Lu bisa pegang omongan gue, Mas" Raga menganggukan kepalanya paham.
"Udah, malem. Lu nginep kan?" Raga menyeruput sisa kopinya.
"Pulang aja, Mas. Udah disuruh balik juga sama Bunda" Jawab Haikal.
"Yaudah pamit ke Aca dulu, Gih" Haikal memberikan sebuah anggukan paham.
Sesampainya di Kamar. Haikal menatap sendu Aca dan Hasya putrinya yang sudah terlelap tidur. Perlahan Haikal mencium dahi Hasya dan Aca bergantian. Tangan Haikal spontan membenarkan rambut Aca yang menutupi wajah cantiknya.
"Maafin aku ya, Ca" Lirih Haikal lagi. Menatap Gadisnya tersebut, sayang. Mengelus surai hitam Aca perlahan.
Aca pun terlihat terusik. Membuka matanya perlahan. Mendapati Haikal yang tengah duduk dipinggir kasur menatapnya dengan lembut.
"Maaf, aku bangunin kamu ya" Ucap Haikal mengelus pipi Aca. Aca hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Aku pulang ya" Haikal mengecup dahi Aca, lagi.
Haikal yakin jika gadisnya tersebut masih terlalu mengantuk. Buktinya kini gadis tersebut sudah kembali terlelap tidur. Masuk lebih dalam ke alam mimpinya. Namun jemarinya justru menarik jemari Haikal untuk ia genggam. Erat. Seolah tak membiarkan Haikal pergi malam itu.
"Ca—" Lirih Haikal. Lelaki tersebut justru menangis tersedu dalam diam. Rasa berslah tak bisa ia sembunyikan. Untung saja gadis tersebut cukup pulas. Setidaknya kali ini saja, ia ingin menangis.
"Maafin aku ya, Ca. Aku janji buat selalu bahagiain kamu sama Hasya. Bahagia terus ya, Ca" Lirih Haikal. Mencium dahi Aca.
Hello gusyyyy!!!
Jujur lumayan baper sama part ini. Huhu. Sayang banget sama Mas Raga. Kalian gimanaaa nih??? Hehe.
Makasih yaa udah mampir dan baca!
XOXO!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana ( Haechan - Chaeryeong ) ✅ [SELESAI]
Fanfictionsedikit cerita tentang pengeorbanan, cinta yang dalam dan bahagia yang diperjuangkan.