Sudah lebih dari 3 hari. Kondisi tubuhnya semakin melemah. Mual di pagi hari bahkan tak bisa ia lewatkan. Tubuhnya yang semakin lemas serta nafsu makan yang hilang. Belum lagi kepalanya yang pening. Kemarin saja rasanya seperti ia hampir pingsan jika Raya tak memberinya segelas teh manis hangat. Padahal hari itu ia sengaja sarapan di pagi hari. Namun, nyatanya badannya tetap lemas.
Beruntung hari ini tak ada jadwal kuliah. Aca merebahkan tubuhnya dikasur. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang jauh. Jika dipikir lagi, rasanya ini bukan sekedar masuk angin. Tanpa sadar tangannya mengelus perutnya. Aca mengerut. Tersentak, mengatur tubuhnya pada kondisi duduk. Jantungnya berdegup kencang. Mungkinkah? Jika Aca ingat lagi, gadis tersebut bahkan tak mendapatkan jatah bulanannya 2 bulan ini.
Ragu, namun Aca mengambil handphonenya dinakas samping tempat tidur. Mengetik sesuatu dilayar handphonenya. Tangannya gemetar hebat. Gadis tersebut bingung. Ia kalut, berkali-kali gadis tersebut mencoba mengatur nafasnya. Dengan yakin ia membeli apa yang harus ia beli lewat gojek. Tak cukup tenaganya untuk pergi kedepan. 20menit berlalu. Sebuah notifikasi membuyarkan lamunannya. Dengan segera Aca meraih jaket dan maskernya. Mengambil Belanjaan yang sudah ia pesan lewat aplikasi gojek.
Aca termenung. Benarkah harus ia coba? Degup jantungnya semakin memburu. Berdegup kencang. Perlahan namun pasti Aca mulai memeriksanya. Bisa Aca pastikan 2 garis merah muncul pada test peck yang ia beli. Lagi, Aca mencobanya lagi. Hingga 3 test peck tersebut menunjukan hasil yang sama.
Aca menjatuhkan tubuhnya dikarpet berbulu. Sebuah isak tangis mulai terdengar. Bodoh, Aca. Bodoh sekali. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal bodoh itu. Jika sudah begini, ia harus bagaimana. Ia takut jika Haikal tak mau menerimanya. Ia takut jika Haikal memintanya menggugurkan kandungannya.
"Bunda, Aca harus gimana" lirih Aca di tengah tangisnya.
"Bunda maaf Aca ngecewain Bunda" tambah Aca menepuk-nepuk dadanya yang sesak.
Ia merindukan Almarhum Sinta. Diwaktu yang sama ia merasa gagal memegang keinginan Sinta sebelum meninggal.
"Maaf, bund——" Lirih Aca. Menundukan kepalanya.
Sudah satu jam berlalu. Aca tak bergeming. Tangisnya sudah tak terdengar sejak 30menit yang lalu. Matanya sembab. Hidungnya memerah. Aca memilih berdiam ditepi kasurnya. Memeluk kedua kakinya. Matanya kosong. Gadis tersebut nampak berantakan.
"Ca.... Astaga Aca! Lu kenapa Ca?" Raya yang kini sudah berada dihadapannya bahkan tak ia dengar suaranya. "Aca! Caaa!" Panggil Raya lagi.
"Oh, Ray" Aca memaksakan senyumnya.
"Ca, lu kenapa? Ca—— ini apa?" Tanya Raya lirih. Menatapa test peck yang berserakan. "Aca! Jawab gue Ca!" Raya menuntut sebuah jawaban.
"Maafin gue, ya Ray. Lu pasti jijik sama gue" Mata Aca mulai berkaca-kaca.
"Ca, pls jelasin dulu sama gue!" Raya pun tak bisa menahannya. Kecewa, sedih, marah. Semuanya ia rasakan. "Siapa, Ca? Siapa yang bikin lu begini?" Lagi, Raya menuntut Aca sebuah jawaban.
"Kak Haikal, Ray. Gue emang bego ya Ray. Lu pasti kecewa sama gue. Lu pasti jijik sama gue. Maafin gue ya Ray" lirih Aca menundukan kepalanya. Tangis yang sejak tadi ia tahan lolos melewati matanya. Raya memeluk sahabtnya erat.
"Ssuutt. Enggak, Ca. Pls jangan ngomong gitu. Nangis aja ya Ca. Ada gue. Lu gak sendiri" Raya mengelus punggung Aca lembut. Membiarkan sahabatnya tersebut menangis lebih kencang.
"Lu harus kasih tau kak Haikal, Ca" Raya menatap sahabatnya meyakinkan. Aca menggelengkan kepalanya. "Ca——"
"Enggak, Ray. Kak Haikal gak boleh tau. Gue gak mau ngancurin impian kak Haikal, Ray. Enggak!" Lirih Aca membuat Raya mendelikkan matanya tak habis pikir.
"Terus gimana sama mimpi lu? Kuliah lu? Ca! Jangan bilang lu mau gugurin kandungan lu?" Aca mendongak kaget.
"Enggak, Ray. Gue udah dosa banget. Gue gak mau nambah dosa gue. Gue masih waras buat gak gugurin dia. Dia gak salah , Ray!" Raya menatap Aca bingung.
"Terus? Lu mau apa Ca? Lu mau gimana? Lu pikir mudah ngidupin lu sama anak lu? Haikal berhak tau, Ca. Haikal bapaknya" Raya mencoba meyakinkan Aca.
"Gue takut. Gue takut kalo Kak Haikal gak mau nerima dia, Ca" Lirih Aca, Jujur.
"Makanya, lu harus kasih tau kak Haikal. Ca. Kita gak pernah tau. Mungkin dia mau tanggung jawab" Raya meyakinkan Aca.
"Enggak, Ray. Gue gak bisa." Aca menatap Raya sendu.
"Gue sanggup, Ray. Gue bisa besarin dia sendiri tanpa kak Haikal. Gue masih punya tabungan dari Alm. Bunda. Gue juga mau pindah ke Bekasi, Ray. Disana ada rumah Bunda yang kosong" Lirih Aca. Seolah semuanya sudah ia siapkan.
"Terserah, lu. Gue gak ngerti sama isi kepala lu" Raya memilih pergi. Ia tak benar-benar pergi. Raya hanya ingin mendinginkan kepalanya. Ia tak mau semakin emosi terhadap sahabatnya Aca.
Aca menatap nanar punggung Raya yang semakin menjauh. Aca bahkan tak kaget jika Raya hendak menjauhinya. Toh jika ia jadi Raya pun ia akan marah dan tak mau lagi bertemu dirinya.
Malam ini akan panjang. Begitu pikir Aca. Sesekali ia menangis. Sesekali ia menguatkan dirinya. Bahkan telpon dari Haikal tak ia pedulikan sejak tadi.
Kak Haikal
Ca, sibuk ya?
Jangan lupa makan ya, Cantik.
Kakak latihan band dulu.
Besok kita bakal manggung di acara opening konser Burgerkill
Iya tau. Kamu pasti bangga kan sama kakak?
Telpon ya kalo kamu udah bangun
Good Night cantik
Aca semakin memangis saat membaca pesan dari Haikal. Bagaimana mungkin Aca dengan tega menghancurkan mimpi lelaki tersebut. Saat Haikal bahkan tak bisa hidup tanpa menyanyi dan Gitarnya. Aca mungkin Naif. Tapi ia hanya benar-benar ingin Haikal sukses meraih impiannya.
Sebuah nada dering mengintrupsi, Aca. Jantung gadis tersebut kembali berdegup. Nama Mas Raga di layar handphone mampu membuatnya menciut.
"Hallo, Mas"
"Hallo, Ca. Loh abis nangis?"
"Mas, maafin Aca ya"
"Maaf kenapa, Ca? Aca kenapa? Coba cerita sama Mas yang bener"
"Aca hamil, Mas"
".........."
"Mas, maafin Aca. Maafin Aca udah kecewain Mas, Mamih sama Papih"
"Siapa?"
"Mas"
"Siapa, Arcalia Putri"
"Kak Haikal. Pacar Aca, Mas"
"Kirim, Mas nomer lelaki itu"
"Enggak, Mas. Jangan! Dia gak salah. Aca juga salah. Kita ngelakuinnya sadar, Mas. Maafin Aca"
"Terserah kamu. Mas gak tau harus gimana"
Panggilan telpon tersebut mati. Aca kembali menangis, kencang. Ia tak heran jika Raga akan marah padanya. Tapi tetap saja ia sakit saat mendengar Raga menjadi amat dingin padanya.
"Bego, Aca. Sekarang lu cuma punga diri lu sendiri. Raya udah jauhin lu. Lu cuma punya Emih sama Abah" Aca merutuki dirinya sendiri. Kepalanya terlalu penuh malam ini.
Hello guys!!
terimakasih sudah mampir.
maaf banget kalo masih banyak typonya atau ceritanya bosenin dan aneh.
hope you guys like it!
feel free to vote and commnet!
XOXO!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana ( Haechan - Chaeryeong ) ✅ [SELESAI]
Fanfictionsedikit cerita tentang pengeorbanan, cinta yang dalam dan bahagia yang diperjuangkan.