2. Yang Terkuat

39 11 0
                                    

Kejadian ini menarik perhatian banyak orang di dinding Pertama. Kerumunan mulai mengelilingi kami, Darrel yang lehernya terikat tali terkapar di tanah.

Hanya beberapa saat kemudian, keramaian tadi terbuka, memberi jalan kepada seseorang. Muncul pria tua dengan mahkota bersama putrinya. Dia adalah Raja Nersia. Begitu melihatnya, Bangsawan tadi menyarungkan pedangnya dan membungkuk.

"Apa yang terjadi, Dennis?" Tanya Raja Nersi, "Jangan mengotori pedangmu dengan darah kaum rendahan, Kau itu adik seorang raja."

Dennis. Aku akan mengingat namanya. Ternyata adik kandung Raja, pantas saja bersikap semena-mena. Dia pun menjelaskan bahwa Darrel mencuri peraknya yang terjatuh saat menuruni kuda.

Darrel memang pencuri, dan dia hanya mencuri dari orang kaya. Bukan sekali ini dia kena masalah, namun selalu ada kakaknya yang menolong.

"Lepaskan mereka, kita tidak boleh membunuh peserta Pertarungan Kaum Bawah. Toh kalau beruntung, kau akan melihat orang Bawah ini dibunuh kaumnya sendiri." Raja Nersia itu melirikku alih-alih ke Darrel. Itu karena raja tahu bahwa akulah yang sekarang lebih dibenci saudaranya.

Dennis mengangguk patuh. Dia meninggalkanku dan Darrel setelah berbisik di telingaku, "Kau akan mati saat aku jadi penguasa Nersia."

Aku tidak takut ancaman semacam itu. Hanya tersenyum kecil dan membiarkan para Bangsawan berlalu.

Tepat setelah kerumunan bubar, Rahul yang merupakan kakaknya Darrel datang. Dia menepuk kepala adiknya dengan lembut, lalu memeluknya.

Darrel yang tidak suka diperlakukan seperti anak kecil langsung merah pipinya, dia malu.

"Terima kasih, Jagat... Kau selalu membantu kami," kata Rahul sambil melepaskan adiknya.

Aku hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan dua bersaudara itu.

"Apa Kau tidak bosan ngopi mulu?" Darrel tertatih-tatih menyeimbangkan jalan cepatku. Dia hafal betul kemana aku akan pergi dan selalu mengikuti.

"Di sini itu surganya kopi. Kita harus menghormati pemberiaan alam ini dengan menikmatinya. Lagi pula, bisa jadi ini hari terakhir aku ngopi. Besok kan Hari Pertarungan, apa kau lupa, Cil?"

Aku menyikut bahu Darrel. Aku tahu kalau Darrel yang akan bertarung atas nama keluarganya, dia lebih kuat daripada Rahul.

"Tentu saja aku ingat, lagian aku akan menang. Kali ini aku yang traktir!" Darrel berseru memasuki kedai kopi itu dengan bangga.

Perak yang tadi dicuri tidak dikembalikan sepenuhnya. Dia tahu kalau Bangsawan tidak peduli berapa banyak yang diambil, atau tidak mempermasalahkan peraknya tidak kembali. Satu-satunya yang mereka pedulikan adalah bisa menghukum orang Bawah.

Aku sudah mengenal keluarga Darrel dengan baik. Bahkan aku menganggapnya seperti adik sendiri. Entahlah, mungkin aku merindukan keluarga kandungku, sayang sekali mereka semua dibunuh saat aku masih kecil.

Darrel adalah petarung yang handal sehandal ia mencuri. kami berdua kerap kali berburu ke luar kerajaan dan bertarung melawan beberapa binatang buas. Sementara Rahul, hanyalah seorang pengrajin pakaian menemani ibunya.

Aku yakin Darrel akan menang dan bertahan hidup, tapi aku akan menikmati kopi sore ini bersamanya dengan cara paling berkesan. Karena besok, aku tidak ingin melawan kaumku sendiri. Aku akan menghadiahkan nyawaku untuk sebuah keluarga orang Bawah yang lebih berharga.

***

Tepat fajar pertama menyingsing, aku dan ratusan Kaum Bawah bergerak ke gerbang dinding Ketiga untuk melakukan pertarungan. Aku tidak pernah melihat orang Bawah berkumpul sebanyak ini. Sejarah telah ditulis. Kerajaan ingin menghapus populasi kami. Sangat menyesakkan ketika aku harus melihat kaumku ketakutan, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu mereka.

Untuk pertama kalinya, aku menginjakkan kaki di lantai batu yang amat lembut. Prajurit Bangsawan berseragam lengkap memandu jalan. Tepat di sebelah kanan aula istana yang mewah, berdiri sebuah bangunan tua yang bersih karena dijaga dengan rajin.

Kaum Bangsawan mengenalnya sebagai Aula Suci. Dahulu kala, terhitung sudah ratusan ribu nyawa kaum Bawah tertumpah di aula ini, Pertarungan Kaum Bawah. Bagi Para Bangsawan, darah kamilah yang menghadirkan perdamaian dan kekayaan di Berlian.

Aku melirik sekitar saat memasuki pintu besar Aula Suci, yang kucari tidak ketemu. Darrel tidak ada di sini, dan kalau dia tak kunjung datang atau melarikan diri, itu artinya hukuman mati untuk seluruh anggota keluarganya.

Mataku yang terus menyapu Aula Suci menemukan banyak pintu kecil di dalam sini. Ada banyak ruangan-ruangan kotak berjejar rapi. Dipahat halus dengan kayu terbaik. Bagian depannya dibiarkan transparan dengan kilauan kaca tembus pandang. Aku yakin di sanalah pertempuran satu lawan satu akan diselenggarakan.

Tidak ada kaum Bangsawan di sini, hanya orang Bawah. Kulihat beberapa dari kaumku gemetar, takut dibunuh, dan lebih takut lagi membunuh.

Selemah-lemahnya kami, kaumku cukup kuat menahan nafsu membunuh saudara sendiri. Setidaknya itu adalah budaya leluhur yang cukup baik untuk dijaga. Namun sayang, sebagian besar kaum Bawah yang lain malah menjadi buas setelah membunuh pertama kali di sini.

Lampu besar di Aula Suci mati mendadak. Beberapa detik kemudian, terdengar suara orang-orang berlari menuju ke arah kami. Hidungku cukup lihai mengendus kedatangan para Bangsawan.

Aku merasakan dua orang menangkap kedua tanganku, perutku dipukul dengan tangan kosong. Itu pukulan mutlak. Aku dipukul tiga kali, namun tidak jatuh. Di pukulan kesepuluh, aku cukup paham kalau mereka ingin aku terkapar di lantai.

Aku menjatuhkan diri. Bak daun yang gugur, aku dipungut dan diseret oleh seorang Bangsawan. Aku tidak bisa melihat, telingaku menggantikannya bekerja. Aku mendengar bunyi pintu yang dibuka. Setelah meninggalkanku yang terengah-engah mengaduh kesakitan di sebuah ruangan, Bangsawan itu pergi.

Aku berusaha tenang kembali, meski tubuhku belum cukup kuat untuk bangun. Dan saat itulah aku mendengar suara napas orang lain di ruangan ini, kukira aku mengenalnya.

Lampu di atasku menyala terang. Sorak sorai dari luar ruangan kotak itu meledak. Para Bangsawan sudah berdiri rapi di seberang ruangan. Di sana duduk empat raja Berlian yang cukup gagah bersama keluarga dan pasukannya. Melalui bagian depan ruangan, mereka menonton hiburan ini.

"Jagat, kaukah itu?"

Suara itu bergema. aku mengalihkan pandangan dan melihat tubuh yang amat lemah. Aku kaget karena lawanku bukan seorang Bawah yang kekar dan berotot. Di pikiranku, dia adalah gambaran terendah seorang pria untuk turun ke medan perang, apalagi satu lawan satu.

Dengan tubuh gemetar, dahi berdarah bekas pukulan Bangsawan, lelaki itu berdiri pelan dibantu dengan tumpuan tangannya. Dia tersenyum. Aku mematung untuk sesaat.

Dia adalah Rahul, seseorang yang seharusnya tidak berada di sini!

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang