23. Kita Setara

3 1 0
                                    

Aku menyeret Serge ke Aula Dewan. Berita tentang penangkapannya sampai lebih dulu ketimbang tubuhnya. Orang Bawah sudah berkumpul. Menantikan keputusan raja. Mayoritas datang untuk menyaksikan Serge dihukum mati, demi dendam kepada Berlian.

Pria licik yang terkapar di lantai aula ini sudah melihat banyak pembantaian dalam hidup. Ratusan pembunuhan orang tidak bersalah. Puluhan perlakuan yang kurang ajar kepada etnis rendahan. Tetapi aku bisa melihat ke matanya dan menemukan duka, luka, dan trauma. Kejadian malam tadi cukup menakutkan.

Leher-leher Bangsawan disayat dengan cekatan. Hatinya terluka meski sudah melihat hal serupa menimpa kaum Bawah. Begitulah Para Berlian, mereka tumbuh diajarkan rasa benci terhadap kaumku. Menganggap kami seperti binatang yang bisa dibunuh dengan mudah tanpa belas kasihan, hingga hatinya dapat bergembira saat nyawa-nyawa ayah, ibu, dan Rahul direnggut.

Kali ini roda kehidupan berputar. Dia hanya sebongkah daging yang tidak berarti di tanah Kemarau.

"Tuan, dia membunuh pasukanku, padahal mereka sudah menyerah." Serge tertatih menyeret tubuhnya sendiri ke kaki raja. Mengadu seperti anak kecil.

Raja Josuan hanya tersenyum. Membenarkan perbuatanku. Tidak ada belas kasihan karena itulah yang akan dilakukan Bangsawan kepada kami. Serge memohon ampun. Tetapi sayang, tidak ada sedikit pun rasa kasihan dan maaf yang bisa diberikan Kaum Bawah saat ini.

"Ampuni aku dan urusan kita selesai!" Serge menawarkan pendapatnya.

"Berikan aku penawaran yang bagus, Nak!" kata Raja Josuan.

Serge bangun. Dia pikir masih memiliki kesempatan untuk lolos dari Kemarau dan pulang ke Berlian.

"Aku memiliki banyak perak, bisa kuberikan dengan cuma-cuma," tawarnya.

"Wah, kami sudah mengambil semua perak di kapalmu. Hanya 50 keping, lumayanlah," komentar Erwin.

Serge tidak menyerah. "Aku akan mengirim lebih banyak perak ke sini kalau diizinkan pulang ke Julister."

"Tidak akan," seru Goldey.

Penawaran-penawaran terus dibuat. Kaum Bawah tetawa mendengar Serge berbicara seperti anak perempuan yang manja. Dia terpuruk. Matanya lelah dan mukanya penuh dengan darah.

Dia akhirnya sadar kalau penawaran ini sia-sia saja. "Apa yang kalian inginkan?"

"Kesetaraan!" seru Raja Josuan sambil berdiri dari duduknya.

"Apa?" Serge tidak yakin dengan apa yang didengarnya.

"Kami ingin kesetaraan. Berlian jadi milik bersama. Dibagi rata, setengah kaum Bangsawan dan setengah kaum Bawah. Apa Kau bisa mewujudkan itu?" Ada kemarahan dalam ucapan raja.

Serge berpikir. Itu hal yang mustahil, semua orang tahu. "Aku akan berbicara dengan Raja Julister."

Aku salut dengan usahanya. Meskipun sedang terbebani rasa takut dan putus asa, dia pandai berbicara dan mampu berbohong. Seperti Serge biasanya. Licik dan angkuh.

"Aku bisa membawamu ke hadapan Raja Julister, Tuan," seru Serge ke Raja Josuan. "Aku adalah keturunan sah kerajaan. Suaraku akan didengar."

"Kurasa pamanmu cukup membencimu," ucapku.

"Wah, dia menginginkan kekuasaan yang harusnya jadi milikku. Mentang-mentang jadi raja, dia tidak bisa seenaknya mengacuhkan permintaanku. Setidaknya para dewan akan mendengar suaraku karena sekali lagi, aku adalah pewaris sah Berlian!"

Aku terkekeh, "Semua dewan setuju kalau kau keturunan raja yang bodoh. Dan semua orang di Julister tahu kalau kau adalah orang yang licik!"

Raja Josuan menyuruh dua pengawalnya memegang Serge. Sebuah batang kayu yang tengahnya melengkung dibawa ke Aula Dewan. Kapak tajam dikeluarkan. Serge tahu kalau ini adalah ajalnya. Dia akan dieksekusi seperti Bangsawan membantai para Bawah. Dia pun terus membela diri. Mulutnya tidak berhenti berbicara. Mencari cara untuk bertahan hidup meskipun kesempatannya sudah hilang.

Raja Josuan memberi isyarat. Serge dihidangkan di tengah aula. Dia berlutut dengan mulut komat-kamit. Kepalanya ditekan oleh pengawal raja di atas kayu. Lehernya seperti kentang yang siap dibelah. Raja mengambil kapak. Mengasahnya di depan Serge untuk menimbulkan ketakutan yang maha dahsyat. Kaum Bawah bersorak-sorai.

"Satu pertanyaan lagi," kata Serge, "jika Kau memang ingin membunuhku, Tuan, kenapa aku dibawa ke sini dan tidak dihabisi bersama pasukanku tadi?"

Raja Josuan tersenyum, "karena aku ingin menunjukkan ke kaumku bahwa hari yang berbeda telah tiba. Roda sudah diputar. Dan sebentar lagi, kami akan merebut Berlian."

Serge diam seribu bahasa. Tidak ada yang perlu dikatakannya lagi. Harapan sudah hilang. Dendam merasuki jiwa kaum Bawah dan dia tidak akan pernah dibiarkan hidup lagi.

Raja Josuan mengangkat kapaknya. Dianyunkan dengan cepat dan menancap di kayu, tepat di sebelah leher Serge. Dia berteriak histeris seolah kematian sudah mengambil ruhnya. Tetapi Raja Josuan tidak memenggal kepalanya. Dia masih hidup, diberdirikan lagi di depan aula. Kaum Bawah protes ingin melihat Serge mati sekarang juga.

"Aku akan membunuhnya, Tuan." Seseorang muncul dari kerumunan. Wajahnya bengis. Berusia tua. Tangan kanannya aneh. Itu adalah Ferdi, dia sudah sembuh. Tangan kanan yang biasa dipakai menggenggam pedang kini dipasangkan besi, menyatu dengan lengan. Ujung besi itu runcing seperti jarum raksasa, kedua sisi besi melebar seperti pedang kecil yang tajam sekali. Itu tangan baru Ferdi. Senjata yang bisa dilepas dan dipasang sesuka hati.

Aku menahan tubuhnya agar tidak mendekat. Dia patuh dan tidak ingin melenceng lagi.

Serge sendiri masih bingung kenapa dia belum mati.

"Nak, apakah Kau pernah mendengar kalimat bijak tentang kejujuran?" tanya Raja Josuan kepada Serge. Pertanyaan yang aneh itu membuat seisi aula lengang.

Serge mengangguk.

Raja pun menambahkan, "Aku pernah mendengar kalau kejujuran bisa menyelamatkan manusia dan kebohongan tidak merugikan siapa pun kecuali dirimu sendiri."

Aku bisa melihat mata raja yang tulus. Dia memegang bahu Serge dan bertanya, "Nak, kejujuran akan menyelamatkanmu sekarang dan kebohongan tidak akan menyakitiku. Apakah Kaum Bawah bisa dianggap setara dan sederajat dengan Bangsawan sepertimu?"

Serge menelan ludah. Jawabannya akan menentukan nasib. Jika saja di situasi yang lebih bagus, dia bisa berbohong dan memberi jawaban yang menyenangkan raja. Namun kali ini tidak.

"Tidak, Tuan, begitulah manusia diciptakan. Dunia ini masih berjalan karena kita melakukan peran masing-masing. Kami jadi penguasa dan kaum Bawah menjadi budak." Itu kejujuran yang disampaikan Serge. Dia tidak bermaksud menghina. Hanya menyampaikan pelajaran yang dulu ia pelajari dari guru dan leluhurnya.

Jawaban Serge membuat kami marah. Dia harus dibunuh. Raja tidak boleh mengampuninya. Kaum Bawah akan meberontak jika Serge dibiarkan lepas dan masih bertahan setelah membawa kekacauan yang banyak di Pulau Kemarau.

"Kau dijatuhi hukuman mati, Serge," kata raja. "Beristirahatlah dan besok kau akan digantung di sini."

Aku mengepalkan tangan. Merasa senang seperti kebanyakan kaumku. Serge pantas mendapatkan kematian yang kejam seperti tiang gantung. Malam ini, dia akan dibunuh pelan-pelan oleh mentalnya sendiri. Besok akan jadi hari yang teramat berat saat tali merenggut nyawanya dengan lamban dan menyakitkan.

Para pengawal membawa Serge ke ruangan bawah. Mengurungnya menderita di kerangkeng besi sambil menunggu kematian.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang