Momen itu terasa lambat bagiku meskipun perahu meluncur seperti kilat. Jantungku berdetak kuat-kuat. Inikah Laut Hijau yang dikenal karena keganasannya? Jika memang aku dan Darrel selamat, itu bukan karena kami orang hebat, tetapi murni dari keajaiban.
Dan rupanya, kami memang selamat. Itulah yang kupikirkan. Setelah melewati gelombang besar dan meluncur di sisi yang berbeda, aku membuka mata. Suasana sungguh berbeda. Beberapa menit yang lalu kami seperti di neraka. Sekarang langit menjadi teduh. Rembulan dan bintang muncul memberi cahaya. Gelombang laut pun sudah hilang. Hanya air tenang yang mengalir di bawah perahu kayu kami.
"Kita sudah melewati bahaya atau ini cuma permulaan, Jagat?" Darrel bertanya sambil melihat sekitar.
Aku menggeleng, "Aku tidak tahu."
Gerimis turun pelan sekali. Menerobos ke bawah. Membaur dengan Laut Hijau. Mataku memperhatikan ke bawah. Mengecek keadaan laut bening tadi. Darrel pun ikut melihat. Kami terkejut. Ada sesuatu di bawah karang kasar di dasar laut. Sesuatu yang kecil, tapi terlihat cukup jelas karena memancarkan cahaya hijau. Kami saling menatap.
"Itu anjing laut, kan?" Darrel menanyaiku.
Aku memegang dahiku, lalu menggeleng, "Entahlah, Darrel."
Mataku menatapnya sekali lagi. "Tidak mungkin, sepertinya itu-"
"Jangan, Jagat" Darrel memotong kalimatku, "Ayo berangkat, darat pasti sudah sekat."
Kami sama-sama gemetaran. Darrel jelas tahu apa yang sedang kupikirkan, namun dia takut. Itu wajar. Aku pun begitu. Namun aku tidak akan melanjutkan perjalanan karena hatiku ingin memastikan sesuatu.
"Aku akan menyelam," kataku kepada Darrel sambil membuka baju.
"Kau sudah gila, Jagat," Darrel kesal. "Kau akan mati, sialan!"
"Aku penyelam yang handal, napasku lebih tahan di dalam laut daripada Kau, Darrel."
Darrel sudah tahu itu. "Kau takkan keluar dari sana hidup-hidup, ia akan membunuhmu."
Itu resiko yang sudah aku pikirkan. Lebih baik mati daripada hatiku penasaran sampai dibawa mati.
"Aku akan baik-baik saja, tunggulah di sini," kataku.
"Aku takkan kemana-mana, kita lagi di tengah laut."
Saat Darrel menyelesaikan kalimatnya, aku meloncat ke laut. Membelah tumpukan air bening. Meneroboh ke dasar laut. Aku bisa melihat banyak sekali rangka tubuh manusia, tulang, tengkorak. Aku tidak sanggup melihatnya. Mataku fokus melihat cahaya hijau tadi. Aku meluncur lebih cepat dan sampai di sana.
Astaga.
Tidak ada yang pernah membicarakan hal ini di Berlian. Dongeng pun tidak pernah dibicarakan. Semua orang bisa mengenal makhluk ini saat melihatnya. Legenda yang hanya pernah muncul di peradaban lama. Di daerah istimewan dan kejam. Bayangkan ia mengamuk sendirian, bisa-bisa peradaban manusia terhapuskan.
Ya. Itu seekor naga. Tubuhnya kecil, tetapi ia tetaplah naga.
Aku melihat matanya yang lelah. Tubuhnya terjepit batu karang. Mengeluarkan darah hijau, itulah cahaya yang kulihat tadi. Aku sempat memikirkan untuk membiarkan naga bertubuh hijau ini terperangkap di sini. Ketakutan melahap separuh jiwaku. Naga itu membuka mulut dengan lemah. Berusaha menjerit, matanya meminta tolong. Makhluk kecil seperti ini tidak mungkin mengeluarkan suara aneh yang beberapa kali kudengar saat badai.
Aku harus mengambil keputusan yang cepat sebelum kehabisan napas.
Aku akan menolongnya.
Membutuhkan banyak tenaga untuk memindahkan batu karang. Saat batu itu jatuh, aku memegang naga kecil dan membawanya ke atas secepat mungkin. Darrel sudah menunggu. Dia membantuku naik ke atas perahu. Matanya menatap ngeri naga yang masih kugenggam.
"Ambil bajuku, Darrel," perintahku segera mungkin, "Juga air bersih."
Darrel nurut. Kemudian aku menyuruhnya untuk merobek sebagian baju itu. Membersihkan luka di tubuh kecil naga hijau dengan air bersih. Lalu membalutnya dengan kain. Semoga pendarahannya berkurang.
"Itu beneran..." Darrel mengucek matanya karena tidak percaya.
"Ya, ini naga, bukan anjing laut," kataku tersenyum sambil memangku naga.
"Gimana kalau dia pulih, lalu mengeluarkan api dari mulutnya seperti di buku-buku?" Darrel bertanya sambil melangkah mundur pelan-pelan.
Aku tertawa kecil. "Apa makhluk kecil ini terlihat seperti pembunuh?" tanyaku.
"Tidak sih," kata Darrel. "Jika memang naga ini jinak, kita bisa menjualnya dengan harga berapa pun."
"Kau masih sempat memikirkan perak, Darrel?"
"Segala sesuatu membutuhkan perak," katanya tanpa rasa bersalah.
Selagi kami berbicara. Mata naga terbuka lebih lebar dari biasanya. Makhluk itu bangkit. Berdiri dengan kaki kecilnya di atas pangkuanku. Barulah aku bisa melihatnya dengan sempurna. Naga ini berkulit hijau. Kepala, sayap, dan ekornya bercampur warna merah. Ia tidak terlihat seperti sebuah ancaman. Naga itu cantik sekali.
"Kita harus melepaskannya lagi ke laut, Darrel."
Aku berdiri di ujung perahu, menatap ke bawah. Laut bening yang mengerikan.
"Kita harus membunuhnya, lihat apa yang dia lakukan dengan orang-orang Berlian di bawah sana," kata Darrel.
"Itu bukan ulahnya, terlalu kecil untuk menghancurkan kapal-kapal besar."
"Sial, Jagat, entah ini harta karun atau bencana, tapi Tuhan tidak membuat kita menemukannya agar melepaskannya kembali, kan?"
Aku mendekatkan naga yang kupegang ke tubuh Darrel. "Beberapa hal ditakdirkan berada di tempat seharusnya, walaupun kita berpikir sebaliknya."
Darrel menjauh ketakutan.
"Pegang dan lepaskan dia ke laut lepas, Darrel," kataku.
"Tidak, jangan dekat-dekat!"
Aku tersenyum, "Darrel, ini hanya sekali seumur hidupmu."
Butuh beberapa detik agar Darrel mengambil keputusan. Dia membuka lengannya dan menggendong naga kecil itu. Darrel membungkuk dan melepaskannya ke laut dengan lembut. Tepat saat tubuh naga berada sepenuhnya di dalam air, laut itu berubah menjadi hijau.
Darrel melambai, "Sampai jumpa, Eldragar!"
"Hah?" Aku kebingungan.
"Kita harus memberinya nama," sahut Darrel santai. Padahal tadi dia menyuruhku menjualnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perang Berlian [END]
ActionBerlian adalah bagian bumi yang terasingkan, di sana berdiri beberapa kerajaan, mereka percaya bahwa umat manusia ini dibedakan dengan ras dan golongan. Jagat seorang kaum Bawah, ras yang mengabdikan diri menjadi petani, kuli, tukang, suruhan dan pe...