4. Menjadi Lemah

24 7 0
                                    

Kekosongan mengisi jiwaku saat melihat Rahul yang hidungnya berdarah.

Aku masih menangis, lalu coba berdiri dengan kuat dan mengelap air mata. Setelah mengucek mata berkali-kali, aku menatap anak itu lagi. Dia tetap tidak bangun. Sudah lama aku tidak merasakan emosi marah dan sedih bersamaan. Aku tidak menangis saat ayah dieksekusi. Kematian Rahul jauh lebih menyakitkan karena sekarang Darrel tidak akan pernah berjumpa dengan kakaknya.

Ini tidak benar.

Darah segar di wajahnya membuatku hampa. Bahkan Darrel pun tidak akan mengenal kakaknya saat ini. Ini tidak mungkin nyata. Aku melihat kedua telapak tanganku dan menyadari ada darah di sana. Darah Rahul.

Dulu aku sering bilang ke Darrel kalau ia dan keluarganya sudah kuanggap keluarga, kami sedarah. Tapi kali ini, secara fisik dan materi, darah Rahul ada di tanganku. Aku memukulnya terlalu kuat. Tapi sungguh, aku tidak pernah berniat membunuhnya.

Lututku menyentuh lantai lagi, lalu dahiku menyusulnya. Aku memejamkan mata dan berharap ini hanya mimpi. Saat kuangkat wajahku dan melihat tubuh Rahul, dia tetap tidak bernyawa.

Aku orang kuat. Air mataku sudah kering, namun sedu sedanku masih terasa hingga keletihan menguasai dadaku. Aku tidak membunuh demi hidupku. Para Bangsawan percaya yang kuat tidak perlu mengasihi yang lemah, mereka salah. Aku tidak mau percaya itu.

Tidak ada yang datang untuk melihat kekacauan yang aku ciptakan. Seorang Bangsawan pun tidak kemari. Aku terlalu sedih dan baru menyadari kalau Aula Suci sudah sunyi. Agaknya semua orang Bawah yang masih hidup, berlari menemui keluarganya dengan perasaan bahagia.

Sudah dua puluh tahun aku hidup di Julister. Selama itu pula kudengar banyak hal tentang Pertarungan Kaum Bawah. Aku masih ngeri dan merasa keji setiap kali mendengar hiburan yang kaum Bangsawan ciptakan. Apalagi membayangkan ikut serta menjadi bagian dari pertunjukan badut mereka. Seperti anak normal lainnya, meskipun takut, aku masih ragu kalau peristiwa hina yang diselenggarakan dua puluh tahun sekali ini benar-benar terjadi. Hanya dongeng dan omong kosong. Sekadar menakutiku yang masih kecil.

Tapi hari ini, aku menemukan kebenaran. Kukira aku akan lega dengan mengetahui tentang benar atau tidaknya dogeng ini, dan sekarang, kebenaran itu sungguh menyakitkan. Hatiku bagai dikeruk hingga berlubang.

Aku melakukan kejahatan yang sangat besar. Satu-satunya hal yang ingin sekali kulakukan adalah menguburi jasad Rahul. Tapi orang Bangsawan tidak akan membiarkanku meninggalkan Aula Suci dengan memapah tubuh Rahul.

Aku mengambil kain merah Rahul dan menyimpannya di saku celanaku. Yang harus kulakukan sekarang adalah keluar dari aula ini, kemudian melewati gerbang dinding Ketiga. Melesat keluar dari dinding Kedua. Kembali ke dinding Pertama di tempatku tinggal.

Aku bergerak perlahan meninggalkan Aula Suci. Orang Bangsawan tidak bergeming sedikit pun, mereka menyaksikan kematian seperti sedang menonton drama.

Beberapa orang Bawah yang masih hidup berpas-pasan denganku. Tidak ada satu orang pun yang berbicara. Beberapa hanya berpelukan. Menyesal. Menangis. Dan ada yang tersenyum. Merasa puas. Bangga.

Apakah itu salah?

Mereka baru saja menyelamatkan keluarganya sendiri. Hanya dengan mengambil satu nyawa kaumnya.

Aku terus bergerak. Hatiku remuk. Aku tidak pernah ingin sampai ke dinding Pertama. Tidak ada keluarga yang menungguku di sana. Hanya ada Darrel dan ibunya. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang barus saja kulakukan kepada mereka.

Oh astaga, aku baru saja membunuh salah satu orang Bawah paling baik. Dia temanku, sahabatku, bahkan keluargaku.

Selama dua puluh tahun, kejadian apa pun tidak mengubahku dengan mudah. Puluhan pertarungan dengan hewan buas, kehilangan orang tua saat masih kecil, mendengar perkataan buruk orang tentang ayah, semua itu tidak mempan, bahkan tidak akan melukai batinku separah ini.

Perjalanan menuju dinding Pertama adalah jalan yang sangat panjang. Bukan karena jaraknya. Tapi karena kehampaan yang terus mencabik hatiku. Aku berjalan sendiri dengan dosaku. Sunyi. Ini bukanlah diriku. Bukan begini anak yang diinginkan keluargaku. Aku tidak mencita-citakan diriku yang ini. Aku takut. Rasa salah ini membunuh separuh nyaliku dan merenggut kehidupanku.

Sebenci apa pun aku kepada para Bangsawan, sesering apa pun hatiku berbisik untuk membunuh mereka, aku tidak pernah bisa melakukan tindakan keji itu.

Tapi hari ini berbeda. Aku justru membunuh, dan yang kubunuh justru kaum Bawah.

Melewati gerbang Dinding Kedua. Aku jatuh di atas tanah liat. Sesaat aku tertunduk, melihat tumpukan air yang menggenang di sana. Aku melihat diriku. Jagat yang sangat berbeda. Aku masuk ke Aula Suci sebagai orang kuat, dan keluar menjadi anak tidak berdaya.

Sekarang aku menyadari, orang Bangsawan ingin mengubah jati diriku. Ingin menempatkan kaum Bawah merasa bersalah. Mereka berbicara omong kosong tentang kemurahan hati membiarkan kaumku tinggal di Berlian. Aku telah membaca puluhan buku terlarang yang memberitahu kalau kaum Bawah juga bagian kerajaan yang sama pentingnya.

Para Bangsawan tidak murah hati, mereka ingin menyiksa batinku.

Sejak kapan kehidupan manusia diputuskan oleh kehendak manusia lain?

Sekarang barulah aku paham. Aku akan jadi orang Bawah kesekian yang menuruti apa yang Bangsawan ingin takdirkan untuk kami. Mereka mengiginkan jiwaku jadi lemah. Bersalah. Putus asa. Jatuh. Patuh dan tunduk.

Dan aku tidak dibesarkan dengan manja. Aku terlahir berbeda.

Aku telah membunuh Rahul. Darrel dan ibunya pun akan segera dieksekusi. Kuambil konsekuensi untuk merasa bersalah.

Tapi aku akan mengenang kematian mereka dengan diriku yang baru. Aku akan memperjuangkan kebebasan.

Kaum Bangsawan tidak bergeming melihat banyak manusia mati. Tidak ragu membunuh. Mereka mengatur pertarungan sesama kaum Bawah untuk menanam rasa lemah, benci, dan trauma di dalam hati kami. Dan jika itu yang sangat mereka inginkan, aku akan menjadi orang yang sebaliknya.

Aku tidak akan duduk di pojokan kamar dan mengenang Rahul. Aku akan bangkit. Jika membunuh adalah jalan menuju kebebasan yang Rahul maksud, jika besok memang akan jadi hari yang berbeda, maka mulai saat ini, aku akan menghitung setiap kematian, kesedihan dan pengorbanan sebagai harga dari kebebasan dan kekuasaan.

Aku harus menjadi makhluk sedingin orang Bangsawan. Dan di saat yang sama aku harus menjadi orang Bawah yang penuh kesabaran.

Aku akan menunggu dengan sabar. Saat waktunya tepat, tidak seorang pun dari mereka yang akan tersiksa.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang