10. Menjadi Bening

8 3 0
                                    


Aku akan melompat ke neraka sekali pun untuk menyelamatkan Darrel, apalagi ke dalam Laut Hijau. Kakiku kedinginan saat berlari ke tempat Darrel jatuh. Di antara gemuruh langit dan air, aku mendengar suara jeritan seseorang yang mulutnya seperti sedang dibungkam. Semakin aku mendekat, suara itu makin jelas terdengar. Saat aku sudah berada di posisi siap melompat ke gelombang mematikan, mataku menangkap tangan kanan Darrel menggenggam badan kapal. Ia bertahan cukup kuat sehingga terlihat seperti menancapkan kukunya di badan perahu.

Untung itu tangan dominannya, kalau tidak ia akan mati. Aku menarik tangan bocah itu sekuat mungkin lalu berusaha keras mengangkat tubuhnya ke dalam perahu. Dalam kondisi normal, aku bisa mengangkat Darrel dengan mudah. Tapi sekarang, kakiku berjuang menancap di perahu sementara tanganku meraih Darrel.

Aku masih berusaha menarik Darrel ke atas saat air laut yang berwarna hijau itu perlahan berubah menjadi bening. Kukira laut akan menjadi cantik seperti air putih suci yang menampakkan seluruh isi di dalamnya, tapi aku malah menemukan sisi gelapnya. Darrel merasa aneh saat mataku berubah panik, dia menoleh ke bawah, melihat air laut yang semakin bening.

"Jagat, bantu aku dulu!"

Aku menarik darrel sekuat tenaga. Dia masih menoleh melihat perubahan warna laut.

"Jangan lihat ke bawah, Darrel!"

Perahu tidak lagi goyah. Petir dan agin badai pun telah hilang. Laut menjadi damai selagi airnya berubah pelan-pelan. Aku pun berhasil mengembalikan Darrel ke perahu. Dia terkapar lemas. Setengah arwahnya masih hilang.

Tidak ada waktu istirahat. Aku berteriak memanggil Darrel seperti meraung ke arah musuh. Bocah itu bangun secepat yang ia bisa. Tenaganya masih belum kembali. Ketakutan menggelapkan matanya. Aku perlu Darrel untuk melanjutkan perjalanan ini.

"Darrel, dayung! Lebih cepat atau kita tidak akan selamat."

Darrel bangun pelan, dia melihatku dengan penasaran, "Apa maksudmu? Badai dan ombak besar sudah berlalu, santai aja dulu, kita perlu istirahat."

Aku menggeleng keras. Firasatku sangat menakutkan, "Kalau laut jadi tenang tiba-tiba, itu tanda baha-"

Kalimatku terpotong saat suara aneh menggema di langit, semakin aneh saat aku merasa suara itu berasal dari dalam laut. Kami berdua melangkah ke sisi perahu. Melihat ke bawah.

Sungguh.

Aku tidak pernah mendengar dongeng ini. Bahkan kabar burung pun tidak terbisik di telinga seluruh Berlian.

Aku melihat ke bawah sejauh mata bisa menjangkau. Airnya yang bening menampakkan seluruh isi perut laut. Aku bisa melihat beberapa bangkai kapal. Ada tulang belulang manusia, sebagian tertancap di tanah, sebagian terapung di dalam air. Aku tidak melihat seekor ikan pun. Tidak ada tanda kehidupan. Darrel terlontar ke belakang saat melihat tengkorak manusia yang bertumpuk-tumpuk.

Aku merasa ngeri. Darrel mengambil kayuh. Memberikan salah satunya kepadaku. "Kita harus berangkat sekarang, Jagat!"

Kami mendayung dengan sangat kuat. Aku terus berteriak menyemangati Darrel meskipun ia sudah melakukan yang terbaik. Cuaca semakin kacau. Gelombang kasar menampar bagian perahu berkali-kali. Kami oleng. Terhuyung-huyung karena ombak yang datang terlalu besar. Pandanganku terhalang kabut. Hujan lebat terjadi. Aku tidak tahu apakah ini hujan dari langit atau air laut yang terpecah dipukul ombak.

Langit menjadi sangat gelap. Aku hampir tidak melihat apa-apa. Cahaya muncul di langit. Aku melihat kilat yang menggaris cakrawala, seperti luka yang menganga. Cahaya itu seperti lampu besar, sedetik kemudian suara petir terdengar sangat keras. Lalu diikuti suara aneh lagi dari dalam laut. Aku melihat ke depan, oh Tuhan, di depan sana ada ombak yang sangat besar. Yang terbesar yang pernah kulihat selama melaut. Darrel menatap ketakutan ke arahku. Kali ini aku tidak benar-benar yakin akan selamat.

Aku sendiri merasa takut tapi itu hanya akan menambah beban pikiranku. Gelombang besar itu ibarat benteng kerajaan dan menara pemantau. Cukup tinggi untuk dipanjat. Bahkan aku tidak bisa melihat ujungnya. Air besar itu ibarat tangga menuju ke langit.

Aku tau apa yang harus kulakukan saat ini. Aku akan menyakini diri sendiri kalau kami harus selamat sampai ke Pulau Kemarau. Tidak ada artinya jika ini saja gagal. Aku akan sangat malu bertemu Rahul di alam lain. Mengorbankan dua penjaga di Julister juga tidak ada maknanya lagi.

"Dayung ke arah gelombang, Darrel!" Itu suara paling keras yang  kukeluarkan. Namun dalam situasi ini, Darrel hampir tidak mendengarnya.

Ombak-ombak yang menabrak kapal membuat pecahan airnya menghambur ke wajahku. Seperti orang yang tenggelam, aku ingin mengelap mukaku dan fokus, tapi tanganku tidak boleh pindah fungsi kecuali mendayung perahu ini menuju gelombang agung.

"Dayung!"

Itu suara Darrel. Dia sudah pulih dan staminanya kembali. Dia tidak sedang meneriakiku, tapi lagi menyemangati diri sendiri. Aku puas melihat semangat bocah itu dan ikut berteriak. Dayung.

Kami terus melaju ke arah gelombang agung. Bagian depan perahu sudah berada di atas, miring, dan tidak seimbang. Ibarat kuda yang sedang menaiki tanjakan, bedanya adalah laut lebih ganas daripada batu dan kerikil. Darrel goyah, dia terjatuh ke belakang. Aku panik. Tapi dia sudah berdiri lagi dan mengambil posisinya sebelum aku bicara apa-apa.

Di bawah cahaya petir, sesekali aku bisa melihat gelombang besar yang sedang kami naiki ini bening sekali. Hanya beberapa kayu gelap yang bisa kulihat di dalam laut, sisanya buram karena hujan terus menyerbu masuk ke gelombang. Air menghatam wajahku berkali-kali hingga terasa kebas. Entah berapa banyak yang sudah mengenai mata dan masuk ke hidung. Aku akan bertahan dan terus berjuang.

Akhirnya kami sampai di ujung gelombang. Tinggi sekali. Seolah aku berada di menara istana dan melihat ke bawah, cukup tinggi hingga membuat Darrel muntah. Dia masih tetap bertahan. Sementara dadaku berdebar, napasku tersengal, dan mataku jadi kabur. Kami berada di pucuk gelombang, lalu menuruninya dengan sangat cepat.

"Tarik kayuhnya ke dalam perahu!"

Aku menyeru Darrel. Kami tidak perlu mendayung. Perahu ini akan meluncur dari atas ke bawah dengan kecepatan yang tidak terbayangkan. Seperti hujan yang turun cepat dari langit. Perahu kami melaju seperti anjing gila. Darrel menutup kedua matanya, tidak berani melihat ke bawah karena dia fobia ketinggian.

Aku berjalan goyah ke arah Darrel. Menarik tubuhnya untuk duduk berpegangan di dekat tiang kayu. Kami hanya menutup mata. Berharap keberuntungan memang di pihak kami.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang