40. Hujan Api

4 0 0
                                    

Di tegah tanah kosong Himala, para Bangsawan maju menyerbu, kami pun tidak akan menahan diri, para raksasa maju di depan. Jumlah pasukan kami seimbang. Namun aku yakin bisa memenangkan perang ini karena kami memiliki satu senjata, raksasa.

Miller mengayunkan kakinya. Empat Bangsawan yang telah siap menggunakan pedang terhempas ke belakang. Tersungkur di tanah. Dua pedang menancap di betis Miller, namun dia tidak  kesakitan. Mencopot senjata, lalu mencari mangsa lain.

Erwin turun dari gerbang. Berlari ke tengah medan perang. Pedangnya dikeluarkan. Dia masih berlari saat seorang Bangsawan melaju ke arahnya dengan kuda berotot. Erwin tidak gentar sedikit pun, dia meloncat ke tanah, memotong kaki kuda dengan pedang tajamnya. Satu pasukan terjatuh. Erwin memotong tubuhnya jadi dua.

Lima tahun lalu, Erwin seperti seorang Bawah yang lemah saat bertarung denganku. Namun waktu telah berlalu, dia berlatih seperti seekor singa. Dia tidak akan menahan diri saat berhadapan dengan Bangsawan.

Raja Josuan dan Goldey berdiri di tengah peperangan. Para Bangsawan mengepungnya. Empat lawan dua. Meskipun luka robek tergaris di kulit mereka, lawan akhirnya tumbang.

Aku masih berdiri tegak memegang pedang saat Dennis berjalan ke arahku dengan tangan kosong. Pedangnya masih tersarungkan di sisi pinggang kanan. Sekali lagi, aku melihat mulutnya mengeluarkan air ludah. Pasti kemarahan mendidih di dalam tubuhnya.

Akhirnya, pedang kami menyapa satu sama lain. Gesekan besi tajam terdengar cukup memuaskan. Percikan api kecilnya membuat amarah kami membara. Dennis lebih kuat daripada Maura. Dia bisa membunuhku meski harus menghabiskan waktu seharian. Aku bertarung sambil melakukan perhitungan.

Tidak ada yang terluka. Kami berpedang dengan kelihaian. Dennis merasa marah, murkanya dipindahkan ke tubuh pedang. Dia mengangkat pedangnya dengan dua tangan. Tubuhnya terbuka lebar tanpa pertahanan. Saat aku ingin menebasnya, dia mengayunkan pedang emas dengan kekuatan dan kecepatan seorang juara. Alih-alih menyerang, aku menangkis tebasannya. Mataku hampir menyembul karena besarnya tenaga yang kukerahkan. Bahu kananku melemah, rasa sakitnya telah kembali. Aku menggenggam kuat pedangku, jika lepas, maka tubuhku bisa terbelah dua.

Aku menjerit lalu meloncat ke belakang menghindari tebasan. Dennis mengambil kesempatan, menggunakan kakinya, dia menendang perutku hingga terhempas ke belakang. Aku tidak membiarkannya melakukan serangan lain, tubuhku langsung siap berdiri dan bertahan lagi.

Kuda-kuda perang melewati kami. Aku menghilang dari pandangan Dennis. Berusaha memutarinya. Kami bertarung di dalam kekacauan. Ribuan petarungan terjadi dalam satu waktu. Saat aku berjalan memegangi perut, dua kuda berlari kuat menyerangku. Dua Bangsawan di atasnya memegang tombak, bersiap menusukku.

Aku mengambil perisai di tanah. Meloncat ke arah kiri agar dua kuda tidak menghimpitku. Sekarang lawanku hanya satu, tombak dilempar, aku menghindar dan menebas perut kuda sampai terjatuh berdebum ke tanah. Dengan perisai baja, aku menghantam kepala penunggangnya sampai pecah.

Satu Bangsawan lagi memacu kudanya ke arahku. Aku mengambil tombak di tanah, lalu melemparinya menancap di leher kuda. Membuat penunggangnya terlontar ke depan, ke arahku, tombaknya jatuh, dia masih berada di udara saat aku membelah perutnya.

Darah mengalir di mana-mana. Aku melihat sekeliling dengan mata yang sedikit pudar. Ratusan pasukan telah tumbang. Raja Josuan, Miller, Goldey, dan Erwin masih bertarung. Tubuh mereka basah oleh darah. Entah darah siapa.

Seseorang berlari ke arahku dari belakang. Dennis lebih cepat selangkah, lemparan belatinya menggores kulit wajahku. Menggaris di antara alis. Aku beruntung karena mataku masih utuh.

Mataku melihat Dennis berlari mencapaiku sekuat tenaganya. Aku memantapkan hati. Tidak ada jalan lari. Salah satu dari kami akan berakhir di sini. Aku telah melewati berbagai luka, duka, dan meneteskan jutaan air mata dalam diamku. Aku akan melupakan segala kebaikan yang diajarkan kepadaku saat kecil. Aku akan mengabaikan rasa memaafkan yang telah dibisikkan oleh Ratu Elsa. Sekarang, di tengah perang, aku akan menjadi seseorang yang bahkan diriku sendiri tidak mengenalnya. Aku tidak akan menjadi orang Bawah atau Bangsawan, aku akan menjadi sesuatu yang berbeda.

Saat Dennis berusaha menebasku, aku meloncat kuat ke kiri, lalu berlari ke arah lain. Aku tidak akan melawan Dennis, lawanku adalah ratusan Bangsawan lain. Aku berlari menentang seekor kuda yang berhamburan ke arahku. Meloncat menendang Bangsawan di atasnya. Lalu memegang tali kendali dan tubuhku mendarat tepat di atas kuda. Aku menghentakkan kaki. Pedang putih tergenggam dengan sempurna.

Kudaku berlari memutari medan perang. Aku menebas siapa saja Bangsawan yang kutemui. Membantai mereka satu persatu dari belakang. Menusukkan pedangku ke leher-leher. Membelah belasan Bangsawan. Mataku sempat melirik Dennis yang menggigit bibirnya sendiri karena marah. Dia terlalu egois karena berpikir akan membunuhku dengan tangannya sendiri.

Sementara Dennis masih mencoba mengejarku, aku membunuh kaumnya satu persatu. Perang tidak dimenangkan dengan satu cara. Jika aku harus tumbang, maka aku akan membawa sebanyak mungkin Bangsawan ke neraka. Daripada menghabiskan satu malam mencoba membunuh Raja Nersia gila itu, lebih baik memanfaatkan satu jam menebas kaumnya.

Wajahku hampir tenggelam dalam darah kaum Bangsawan. Aku menyapu darah dengan tanganku. Mataku hampir tidak bisa melihat karena penuh oleh cairan merah itu.

Aku hanya lalai sedetik, Dennis menabrakku dengan kudanya. Kami jatuh, lalu langsung berdiri di tengah perang. Kaki kami tercelup ke lumpuran darah di tanah. Aku bersiap melayaninya kali ini.

Saat kami ingin berdansa dengan pedang, tiba-tiba langit menyala terang. Ratusan hujan api turun dari langit. Semua orang yang sedang berperang berhenti, menatap ke atas. Mungkin ada ribuan cahaya. Itu adalah anak panah api milik kaum Bangsawan. Namun wajah Dennis terlihat mengerut, lalu sedetik kemudian tersenyum.

"Selesai sudah," kata Dennis, "Itu Raja Himala, membawa seluruh raja di Nersia, semua pasukan Janky, Xarvi, dan Vluto menyertai mereka!" Dennis menertawakan.

"Tidak mungkin," kataku, "Mereka akan membunuh semua orang yang ada di tengah perang, termasuk kau dan para Bangsawan."

"Otak kau kecil sekali," katanya. "Di antara kaum Bawah, pastilah Kau yang paling mengerti sifat kami orang Bangsawan," ucap Dennis. "Beberapa nyawa boleh dikorbankan untuk keuntuungan yang lebih besar."

Mataku dipenuhi cahaya merah, anak panah api turun membelah langit, menuju ke ribuan pasukan perang.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang