13. Raja Kaum Bawah

10 2 0
                                    

Di bawah langit sepi Pulau Kemarau, kami sampai di sebuah pnitu gerbang yang cukup besar. Hampir mirip seperti benteng pertahanan kerajaan di Berlian. Tidak banyak yang kutahu soal Kemarau, makanya mataku sibuk memperhatikan untuk belajar.

Dua penjaga gerbang berdiri di atas benteng. Saat itulah aku tahu kalau Pulau Kemarau tidak membuat kaum Bawah hidup akur. Jika ada satu kerajaan di tempatku berdiri, pastilah di bagian lain Kemarau ada raja lain. Guna sebuah benteng adalah untuk mempertahankan kerajaan dari musuh. Di Kemarau, musuh bukanlah Bangsawan, melainkan kaum sendiri.

Setelah Goldey memberi isyarat dengan tangannya, gerbang dibuka. Di dalam benteng, ada banyak sekali orang Bawah. Berbeda dengan keadaan di luar yang cukup sepi. Kami diseret di tengan jalan, diikuti sorak sorai kerumunan. Darrel berjalan sempoyongan. Wajah dan bibirnya memutih. Dia tidak tahan lagi. Racun belati Goldey sedang membunuhnya pelan-pelan.

Berkali-kali aku meminta Goldey memberikan obat penawarnya, tapi pria botak itu selalu menolak. Dia akan memutuskan apakah Darrel hidup atau tidak jika raja mengizinkan.

Tidak ada istana di dalam benteng. Hanya aula besar yang dibangun dengan kayu terbaik. Tidak cocok menyebutnya istana jika dibandingkan dengan milik kaum Bangsawan. Kami dilemparkan ke hadapan seorang pria yang gagah dan angkuh. Aku berasumsi kalau dialah yang memimpin di sini. Matanya seperti elang, menatapku tajam seperti sedang melihat musuh. Rambutnya yang panjang diikat. Di bawah mata kirinya ada tato tiga titik hitam. Tubuhnya dibalut dengan baju bulu tebal. Ia tidak memakai mahkota di kepala, tetapi orang-orang merasa takut tiap kali berada di depannya. Itulah yang kurasakan sekarang.

Ruangan ini disebut Aula Dewa. Orang-orang memenuhi aula ini sementara aku dan Darrel terkapar di lantai. Aku bangun dan membungkukkan badan kepada raja yang duduk di atas kursi besar. Darrel masih terkapar dan tampaknya ia sudah tidak sadarkan diri.

Aku ingin memohon kepada raja. Namun tidak baik jika aku yang memulai percakapan ini. Wah, ini adalah sidang. Kulihat beberapa pembesar kerajaan berdiri samping raja. Mereka beribawa dan terlihat seperti prajurit yang Tangguh.

"Selamat datang di Darxon, katakan kepada bocah itu untuk bangun dan menghormati Raja Josuan!"

Bukan raja yang berbicara, melainkan seorang pemuda yang agaknya hanya lebih tua beberapa tahun dariku. Dia berdiri tegak di sana seperti seorang artis. Berbicara mewakili raja. Rambutnya yang ikal menutupi sebagian mata. Tangannya yang perkasa selalu memegang pedang yang masih di dalam sarungan.

"Goldey meracuninya dan ia akan mati, tolong selamatkan dia, Raja...." Aku memohon seperti orang yang sangat membutuhkan. Mataku melihat sang raja dengan penuh harap. Pemuda yang tadi berbicara kepadaku terlihat kesal karena aku tidak menatap matanya.

"Kau harus berbicara kepada raja melaluiku," kata pemuda tadi lagi.

"Raja ada di sini dan aku tidak perlu berbicara melalui bawahannya." Kata-kataku ini membuat aula penuh dengan siul dan desis-desis.

"Kau tidak terlihat bijak sedikit pun, Anak muda. Jangan membuat Erwin membunuhmu karena ia cukup baik untuk pekerjaan itu" Goldey yang berdiri di sana tersenyum remeh ke arahku. Dia benar, aku harusnya tidak mencari masalah.

Erwin memang terlihat kesal. Aku meminta maaf kepadanya karena aku bukan orang yang gengsian. Darrel masih bernapas, ia mengaduh di atas lantai menahan rasa sakit.

"Kau harus membantunya, Erwin. Oh astaga, Goldey, katakan sesuatu kepada raja." Aku membalikkan wajah Darrel dan melihat ia cukup menderita. Di aula itu, tidak ada yang peduli. Malah bagi mereka, ini cukup menarik. Seorang anak menderita diracuni, dan seorang lagi sedang mencari masalah dengan Erwin yang dikenal cukup tangguh untuk bertempur.

Aku bangkit. Sekarang bukan waktunya bijak atau memohon. Jika Raja Josuan tidak memperhatikanku karena bersikap lembut, aku akan bersikap kasar.

"Erwin atau siapapun, katakan kepada raja kalian yang tuli ini kalau seorang anak kaum Bawah hampir mati keracunan."

Aku maju ke arah raja. Orang-orang di sana terlihat terkejut dan marah karena raja mereka kucaci. Erwin menarik pedang dan meletakkannya di leherku. Aku tidak takut sedikit pun. Mataku tidak melirik Erwin karena aku sibuk melihat ke dalam mata sang raja. Mencari kasih sayang dengan kontak mata.

Akhirnya raja Daxon itu berdiri. Erwin menarik pedangnya.

"Apa Kau kaum bawah yang sedang kabur karena salah satu keluargamu mati bertarung?" Raja Josuan melihatku keji.

Kaum Bawah menghormati keberanian dan semangat, tidak mentoleransi pengecut dan orang yang kabur dari takdir. Jika takdir berkata kalau kaum Bawah harus bertarung satu lawan satu dengan kaumnya sendiri untuk kesempatan hidup, maka lakukanlah dengan hati yang ringan. Jangan kabur atau menyerah.

Bagi semua orang yang ada di sini, aku adalah pengecut. Aku tidak dianggap pemenang karena sampai di sini dengan caraku sendiri. Bukan diantar dengan manja melewati Laut Sentosa.

"Siapa yang Kau bunuh?"

Pertanyaan raja menyulitkanku. Tidak mungkin aku mengakui telah membunuh Rahul di depan Darrel.

"Aku bertarung di sana melawan kaumku sendiri dan aku menang!" kataku dengan tegas.

"Kau tidak punya bukti," jawab Josuan.

"Lihat ke mataku, katakan kalau aku ini orang Bawah yang lemah dan kabur mencari perlindungan di bawah ketiakmu!" Aku marah sambil menantang raja, namun dia santai saja.

"Kau memang lemah," Erwin yang kali ini menjawab, diikuti tawaan seluruh ruangan. Aku tidak punya banyak waktu sementara Darrel akan mati. Kain merah Rahul pun tidak bisa menjadi bukti. Aku bingung harus membuat raja percaya dengan cara apa.

"Aku membunuh kaum bawah di Julister dengan tangan kosong. Orang yang menang dipindahkan ke sini, aku terlambat menuju dermaga Laut Sentosa karena mencari adikku," kataku sambil menunjuk Darrel.

Raja hanya diam tidak menjawab apa-apa.

"Sialan, aku bukan orang manja seperti kalian yang diantar melalui laut elok Sentosa. Aku memutuskan pergi sendiri. Kami mencuri perak Bangsawan dan membeli salah satu perahu terbaik, lalu berlayar meraungi Laut Hijau berdua. Kami melewati banyak badai, ombak besar dan rasa lapar. Tapi di sinilah kami, selamat dan ingin bergabung dengan kaum Bawah."

Semua orang di aula ini tidak percaya. Menertawaiku dan mengatakan kalau aku bohong besar dan layak dibunuh. Tidak ada yang berhasil melewati Laut Hijau, itu tidak akan pernah berubah. Setidaknya itulah yang ada di kepala orang-orang bodoh ini.

Raja juga tersenyum remeh. Ia mempertimbangkan. Aku tahu jauh di lubuk hatinya, dia sedikit percaya kepadaku.

"Berikan aku satu pertarung terbaikmu dan aku akan menyajikan jantungnya sebagai hadiah pesta kaum Bawah malam ini. Itulah yang akan kulakukan jika Kau menginginkan sebuah bukti," raungku kepada raja.

Orang-orang tertawa lagi dan menganggap aku bergurau. Namun Raja dan Goldey tidak tersenyum, mereka tahu aku serius sekali. Raja masih mempertimbangkan. Namun Erwin maju ke depan, meremehkanku.

"Aku akan membununya untukmu, Tuan," kata Erwin kepada raja.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang