16. Darrel yang Baru

8 1 0
                                    

"Kau membuat kesalahan, Nak," kata Ferdi dengan sombong.

"Apa Kau akan mengasihaniku, Tua bangka?" tanya Darrel. Ferdi menggeleng dan menghembuskan napas berat, "Aku akan membunuhmu, Bocah!"

Darrel tidak takut sama sekali. Dia mengeluarkan pedangnya dari sarungan. Itu pedang impian yang ditempa oleh tukang paling hebat di Darxon. Di badan pedang terukir nama ibu dan Rahul. Katanya kalau nanti Bangsawan mati tertusuk pedang ini, mereka akan mengingat kematian keluarganya. Darrel memang berubah jadi pria yang pemarah sekaligus pesabar dalam waktu yang sama.

Dia tidak menyerang duluan. Membiarkan Ferdi menghambur ke arahnya dengan pedang menghunus tajam. Sayatan yang dilayangkan Ferdi meleset. Darrel bergeser beberapa langkah ke samping. Matanya melihat tajam ke arah Ferdi, menunjukkan kalau dia tidak merasa takut.

Darrel melakukan serangan kecil beberapa kali. Pukulan itu bukan untuk membunuh, tidak juga untuk melukai. Hanya untuk membuang-buang waktu dan tetap bersabar demi mendapat momentum.

Ferdi murka. Kedua tangannya memegang pedang dengan kuat. Mengangkat kedua lengannya ke atas dan berniat membunuh Darrel di kesempatan ini. Ayunan lengannya sangat kuat dan cepat. Andai pun Darrel menangkisnya dengan pedang sendiri di atas kepala, pedang itu akan terbelah dan pedang Ferdi akan membelah kepalanya jadi dua.

Sayang sekali pikiran Ferdi lambat. Dia menduga Darrel akan fokus dengan serangan kuatnya dan bertahan saja. Darrel bisa melihat niat membunuh di mata Ferdi. Dia tahu tidak akan selamat dengan serangan atas kepala itu. Maka Darrel mengambil kesempatan yang lebih bagus. Tubuh bagian bawah Ferdi terbuka. Secepat cahaya, kaki Darrel menendang perut dan dada Ferdi dengan kuat. Dua tendangan itu dilakukan begitu cepat hingga tangan Ferdi goyah dan membuat ayunan pedangnya melambat. Tangan kanan masih memegang pedang, sementara tangan kirinya memegang dada menahan rasa sesak. Darrel tidak mau berhenti. Dia berniat menyelesaikan pertarungan ini.

Langkah cepat membuat tubuh Darrel berpindah ke samping Ferdi. Dia menghayunkan pedangnya. Darah terpancar ke lantai dan membuat seisi aula berteriak terkejut. Dalam hitungan detik, Darrel memotong pergelangan tangan kanan Ferdi. Itu tangan dominannya. Tangan kanan Ferdi jatuh ke lantai, masih menggenggam pedang.

Pria tua itu terkapar di lantai. Miris melihat bagian tubuhnya terpotong. Darrel bergerak maju, berdiri di atas pria itu. Aku gemetar. Darrel akan membunuh seseorang dan aku takut jika rasa bersalah mengendap di hatinya sampai tua. Seperti yang kulakukan sekarang. Tidak peduli kita membunuh orang jahat atau orang baik. Rasa bersalah itu akan tetap ada.

"Jujurlah dan aku akan mengampunimu!"

Itulah yang Darrel katakan. Matanya memang seperti harimau yang lapar. Namun hatinya penuh ampunan. Tidak ada satu orang pun di sejarah Darxon yang memberi kesempatan dan ampunan saat sudah unggul. Hanya butuh satu tusukan di dada, Darrel menang dan seluruh hartanya menjadi milik anak kecil yang malang tadi.

Orang-orang heran, saling pandang satu sama lain. Apa yang akan dilakukan Darrel. Raja tidak mungkin membiarkan pengampunan setelah tantangan dilaksanakan.

"Jujurlah, kejujuran membuatmu menjadi orang Bawah sejati. Itulah arti pertarungan ini. Jika Kau mengaku dan mengembalikan apa yang Kau curi, aku yakin raja akan memberimu kesempatan kedua demi menghargai keberanianmu saat berusaha jujur." Darrel mencelup pedangnya ke api unggun. Dipanaskan dengan baik. Ferdi meraung kesakitan di lantai.

"Ini kesempatan terakhirmu." Darrel memamerkan besi yang sudah dipanaskan itu di wajah Ferdi. "Pedang panas ini bisa membunuhmu atau menolongmu, pilih!"

Ferdi tidak tahan. Darahnya terlalu banyak dan dia akan mati jika terus egois dan gengsi. Matanya hampir tertutup rapat. Dia pun memilih.

Darrel tersenyum lega. Ia menempelkan pedang panas itu ke lengan kanan Ferdi yang terluka. Banyak pelajaran yang diberikan Darrel kepada orang-orang Bawah di Aula. Tidak selamanya membunuh itu menjadikan kita kuat. Ampunanlah kekuatan sejati. Jika sesama kaum Bawah aja saling bunuh, apa bedanya kita dengan Bangsawan.

Sementara orang sibuk mengagumi Darrel. Bocah kecil yang masih menangis tadi berlari memeluk Darrel dan mengucapkan terima kasih. Aku bangga, akhirnya Darrel merasakan perasaan lega dan puas ketika menolong seseorang yang tidak mampu.

Sidang usai. Sekarang tibalah masalah paling serius. Tentang masa depan Darxon, Pulau Kemarau, dan orang Bawah.

Erwin yang bermulut besar tidak memimpin rapat ini. Raja mengambil alih sendiri. Dia duduk beribawa di kursi kerajaan dan mempertanyakan hasil jarahan kami akhir-akhir ini. Sebagai catatan, penjarahan ini tidak dilakukan sehari semalam. Kami berangkat mengelilingi samudera selama lebih kurang empat bulan, baru pulang dan menemui keluarga. Mempersebahkan harta rampasan kepada raja dan rakyat.

"Kita hanya mendapat sedikit, Tuan," Goldey mewakili kami semua. "Mungkin hanya cukup untuk dua minggu."

Muka Raja Josuan memerah, antara marah dan malu di depan rakyatnya. Itu benar-benar sedikit. Hanya dua minggu waktu Darxon untuk bertahan sebelum penyakit-penyakit mewabah seenaknya di tubuh yang kelaparan.

"Kalian pergi selama empat bulan dan hanya membawa secuil harta? Apa yang sebenarnya kalian lakukan?" Raja berusaha menjaga suaranya agar tidak terkesan putus asa.

"Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tempat yang biasa kami datangi sudah jatuh miskin dan bangkrut. Di tempat lain, kami tidak menemukan apa-apa kecuali sedikit makanan. Itu pun tidak bisa dibawa pulang karena akan membusuk. Perak sudah langka. Kita sudah menjarah seluruh penjuru yang bisa kita taklukkan." Goldey bicara lancar seolah sedang bercakap dengan temannya sendiri.

"Kami bisa saja tidak kembali hari ini dan terus menjarah, namun itu hanya akan membuang tenaga dan sia-sia. Kita juga bisa kembali ke laut dan mengikuti arus untuk menemukan harta yang banyak, tapi percayalah, di luar sana tidak ada apa-apa lagi. Malam ini harus ada solusi, atau Darxon akan mati."

Raja, dewan, dan rakyat terkejut mendengar kejujuran yang disampaikan Goldey. Sementara kami para penjarah sudah menerimanya dengan maklum, itulah kenyataan yang hari ini terjadi.

Pulau Kemarau hanya tempat Bangsawan membuang Kaum Bawah. Sudah lumrah kalau tempat buangan itu jelek dan kotor. Pulau ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali kayu yang kuat untuk tembok. Air bersih saja susah didapat. Darxon bertahan karena orang Bawah rajin menjarah ke pulau-pulau lain. Dan sekarang pulau-pulau itu sudah tiada, Darxon akan jatuh.

"Apa kau punya solusi, Goldey?" Raja yang bertanya.

"Untuk sekarang, aku tidak punya, Tuan." Goldey seperti rakyat lainnya, dia gusar dan otaknya tidak berpikir baik.

Darrrel mengangkat tangan. Aku heran dan berbisik, "Apa yang kau lakukan, Darrel?"

Raja memberinya izin bicara.

"Bagaimana kalau kita berkebun, hasil panennya dijual ke pulau orang kaya. Kita juga bisa membuat kerajinan dengan kayu-kayu pohon di Darxon, seperti kursi, meja, atau bahkan kapal." Ide Darxon tampak bagus, tapi tidak secerdas kelihatannya.

"Wah, ide yang bagus, Anak muda. Mengapa kita tidak membuat pedang dan menyerang kota orang kaya itu?" Erwin mengejek Darrel dengan bertanya begitu. Hadirin tertawa. Semua orang tau jawaban dari pertanyaan Erwin.

"Ide yang bagus, Erwin, Kau akan ikut menyerang atau menyamankan pantatmu di kursi dewan?" Darrel membuat kerumunan makin riuh.

Tidak mungkin menyerang orang yang benteng pertahanannya lebih kokoh. Alasan kami tidak menjarah suku lain yang kaya adalah karena kami tidak mampu. Manusia hanya merampok dari yang lemah. Saat ini kamilah yang paling lemah dan kami tidak punya siapa-siapa untuk dikorbankan.

Raja menjelaskan dengan baik ide Darrel tadi, "Tanah ini tidak bisa menumbuhkan apa-apa, Nak. Meski kau ingin bilang kalau kita harus mencobanya ratusan kali, ia tidak akan berubah. Tanah ini kering dan mati. Dan terkait menjual kerajinan ke orang kaya, itu tindakan sia-sia karena di setiap tempat yang bagus ada pula pengrajin yang bagus."

Darrel kecewa dengan usulannya. Itu tidak akan berhasil. Berbagai usulan lain muncul, tetapi tetap tidak masuk akal dan mustahi. Aku berpikir kalau kami hanya memiliki satu pilihan. Pilihan itu sulit. Tetapi itu pilihan cerdas.

Setelah puluhan kekecewaan yang didapat di perkumpulan ini. Aku menawarkan satu-satunya solusi. 

Dan itu solusi yang pantas diperjuangkan; Merebut Berlian.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang