37. Tujuh Dewa Nersia

2 0 0
                                    

Aku membuka gerbang besar yang terbuat dari kayu kokoh. Tidak ada kehidupan di Himala. Semua tampak sunyi. Mungkin para Bangsawan sedang tertidur. Bermimpi indah tentang kemegahan. Mereka tidak menyadari kalau kami muncul membawa petaka.

Raja masuk melalui gerbang bersama dengan Miller dan seluruh pasukan yang menyertai kami. Aku memimpin di depan, berjalan memasuki tanah Bangsawan. Tujuan kami adalah istana yang berada di tengah-tengah kota. Kami tetap mewaspadai kehadiran para pasukan Bangsawan. Miller berjalan paling belakang untuk melindungiku dan raja.

Semua aman. Kami sekarang memasuki gerbang halaman depan istana. Sebuah pemandangan yang elok di tengah malam. Taman hijau dengan bunga-bunga tumbuh memanjakan mata para Bangsawan.

"Kenapa tidak ada siapa-siapa di sini?" Tanya Miller.

Raja menjawabnya, "Mereka masih di Narnar menunggu kita. Ini kesempatan yang bagus untuk merebut Himala. Panggil seluruh pasukan, beri mereka sinyal. Jika Bangsawan datang, mereka harus melawan kita dari luar. Keuntungan di pihak kita karena benteng Himala sekarang menjadi perisai terbaik para psaukan."

Miller mengangguk. Aku sendiri masih berjalan memutari sekitar istana. Mencari-cari kejanggalan. Aku akan lebih senang jika para petarung Bangsawan muncul daripada hanya keheningan yang kudapat. Ini seperti pertanda buruk.

Saat hatiku masih merasa aneh dengan semua keadaan, Miller melempar batu dengan kekuatan terbaiknya. Batu itu dibalut oleh api yang menyala. Menjadi matahari di tengah malam gulita. Itu sinyal kami.

Sekarang seluruh pasukan sedang menuju Himala. Seribu lebih kaumku akan menikmati kemenangan yang cuma-cuma. Miller hanya mengutus sepuluh raksasanya untuk menjaga benteng pertahanan. Jika ada yang mencurigakan, kami akan diberi sinyal.

Raja Josuan melangkah menaiki tangga untuk mencapai pintu emas istana. Aku mengikutinya di belakang. Sementara Miller dan raksasanya menunggu di halaman depan. Tubuh mereka terlalu besar untuk masuk ke rumah mewah para Bangsawan.

Raja memutar gagang pintu. Terkunci. Lalu dia mengambil ancang-ancang untuk menendang pintu tersebut. Bruk. Sebuah suara muncul padahal raja belum mengayunkan kaki kanannya. Suara itu cukup besar, bahkan membuat kakiku merasakan getaran di dasar bumi.

Saat aku melihat ke belakang. Satu raksasa telah tumbang. Enam prajuritku jatuh ke tanah tanpa kepala di leher mereka. Miller berlari ke arahku bersama para pasukan yang masih bernyawa. Di balik kegelapan. Aku merasakan aroma kejahatan.

"Anak-anak bodoh," suara neraka akhirnya berbisik dari kegelapan. Suara itu keluar dari mulut seorang perempuan yang berjalan ke arahku. Kami mengambil pedang, memegangnya dengan sempurna. Lalu di samping perempuan itu, muncul enam Bangsawan. Mereka bahkan tidak memegang pedang. Tangan-tangan itu berlumuran darah. Mustahil. Aku melihat tubuh para pasukanku yang tumbang. Kepala mereka terputus, tapi bukan karena tebasan pedang.

Orang-orang Bangsawan ini hanya menggunakan tangan kosong!

"Selamat datang ke neraka!"

Aku akhirnya bisa melihat wajah cantik yang mengeluarkan suara itu. Matanya biru. Rambutnya sebatas bahu. Aku mengenalnya. Aku mengenal wajahnya, tapi sama sekali tidak tahu kekuatannya.

Itu adalah Maura. Putri satu-satunya Raja Nersia.

Mereka memakai seragam putih seperti jubah yang dibalut dengan zirah yang menyilaukan. Maura berdiri di tengan prajuritnya. Melihatku dengan senyuman mematikan.

"Kalian bisa pergi meninggalkan Himala, berlayarlah ke laut lepas dan jangan pernah kembali," kata Maura.

"Tidak! Kita harus membunuh mereka, Maura!" kata suara lain, kali ini suara pria yang berdiri di sampingnya.

Maura tidak menaanggapi. Dia menunggu salah satu dari kami angkat bicara.

Raja Josuan maju.  "Kami tidak akan ke mana-mana."

Maura tersenyum lagi. Menghembuskan napas melalui mulutnya. Dia merasa lega. "Kami akan menunggu sebentar, terlalu mudah untuk membunuh kalian semua. Kenapa para prajuritmu lambat sekali?"

Sial. Maura tahu strategi kami. Para pasukanku dalam bahaya. Para Bangsawan mungkin akan mengepungnya.

"Siapa kalian? Bagaimana kalian tahu kami di sini?" Miller akhirnya bertanya. Aku pun penasaran.

"Kami tidak tahu," kata Maura. "Para pasukan kami dibawa ke Narnar untuk berjaga-jaga. Kami bahkan tidak perlu turun tangan untuk menagani kalian di sana. Kalian mengganggu tidurku saat sebuah pesan tiba, mengatakan kalian sampai ke Himala. Aku harus repot-repot berkuda ke sini. Dan kami punya jalan masuk lain."

Maura memang cantik. Namun aku tidak menyukai gadis bermulut besar.

Raja Josuan membenci basa-basi. Dia menyuruh tujuh prajurit maju membunuh para Bangsawan. Ketujuh kaumku tumbang sebelum pedang diayunkan. Tujuh tangan Bangsawan, entah bagaimana, menusuk tembus ke dalam dada kaumku. Lalu mencopot jantung mereka.

Aku telah melihat cukup banyak orang untuk mengetahui kalau mereka adalah prajurit terbaik. Bangsawan-bangsawan itu bahkan tidak menghadapi kami dengan serius.

Jujur, kami tidak punya kesempatan menang saat ini. Jika Maura ingin sekali menyombongkan diri untuk menunggu ribuah prajuritku datang, biarlah. Kami akan memiliki peluang lebih.

Akhirnya aku merasakan tanah bergetar. Prajuritku sedang berlari menuju kami. Maura pun tersenyum, lalu dengan satu jentikan jarinya, tujuh Bangsawan mengeluarkan belati kecil.

"Para pasukan Berlian sedang menuju kemari untuk mengepung kalian, namun mereka hanya akan melihat jasad-jasad busuk orang Bawah. Agar kalian tidak penasaran, ingatlah kalau kami bertujuh adalah Dewa Nersia, Bangsawan terkuat di kerajaan!" Maura mengambil aba-aba.

"Seribu kaumku tidak akan kalah dengan tujuh orang sombong," kata raja.

Laki-laki di samping maura tertawa, "Setengah dari kaummu akan mati sebelum membunuh kami!"

Aku bisa melihat para pasukanku berlari memasuki gerbang istana. Tangan mereka menggenggam pedang. Menyerbu tujuh dewa. Maura meloncat ke arahku bersama dua dewa lainnya. Tiga dewa maju menghadapi kami yang di dalam halaman istana.

Lalu empat dewa lainnya menghadang ribuan prajuritku yang datang satu persatu. Himala bergemuruh. Maura cukup lincah. Dia mengarahkan seluruh tenaganya, menghujaniku dengan satu belati.

Aku bersama empat prajuritku menghadapi Maura sendirian. Dia terlalu kuat. Saat aku sibuk menghindari sayatannya, empat prajuritku kehabisan darah. Terbaring di lantai.

Maura mengira kaum Bawah adalah orang lemah. Dia tidak mengenalku. Dia tidak mengenal Raja Josuan, Miller, Erwin, Goldey, dan puluhan prajurit terkuat kami.

Tangan kanan Maura sangat lincah memainkan belati. Aku menghindar sebisa mungkin. Gerakannya sangat cepat hingga membuatku lalai saat tangan kirinya memukul rahangku. Darah menetes ke tanah. Sekarang aku tidak akan memaafkan. Aku tidak akan menganggapnya sebagai perempuan. Aku akan menghadapinya dengan seluruh kekuatan.

Aku bisa melihat gerakan-gerakan Maura setelah melayaninya beberapa menit. Dia mengira aku akan bertahan selamanya. Saat dia ingin mengenaiku dengan taktik yang sama, ketika tangan kirinya ingin mengenai rahangku lagi, aku membungkukkan badan, lalu menggores lengan kirinya dengan belati. Darah mengalir pelan di atas kulit putihnya.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang