38. Tawanan Perang

3 0 0
                                    

Pertarungan berlangsung cukup lama. Bahkan sampai saat ini, belum ada yang mati di pihak tujuh dewa. Namun mereka telah terluka. Mereka juga manusia. Kami harus mengorbankan puluhan pasukan hanya untuk membuat mereka kelelahan.

Raja Josuan dan beberapa prajurit berhasil merobek pelipis salah satu dewa, lalu menyayat mulutnya dengan pedang tajam. Setengah kepalanya jatuh ke tanah. Miller bersama prajurit raksasanya berhasil menumbangkan satu lagi. Menginjak salah satu dewa sampai terkubur ke dalam tanah.

Aku terluka cukup parah. Lengan kananku menerima tiga sayatan. Namun Maura juga terluka. Bahu kananya terkena tusukan belatiku. Jubah putihnya semakin memerah. Kami masih bertarung. Dia orang terkuat yang pernah kulawan. Bahkan ketika Raja Josuan ikut membantu, aku tidak mengeluh dan menyombongkan diri dengan mengalahkan Maura satu lawan satu. Aku tidak akan menang. Tidak juga kalah. Namun jika aku mendapat tambahan tangan, aku bisa menang.

Hanya kemenangan satu-satunya hal penting.

Empat dewa menghabisi hampir seratus prajuritku saat mereka mati. Bahkan delapan raksasa telah terkapar di lantai. Aku hanya melatih kaumku bertarung beberapa tahun, bahkan sebagian mereka baru benar-benar berlatih beberapa bulan lalu. Mereka ketinggalan jauh dengan Bangsawan, apalagi dengan tujuh dewa.

Para raksasa pun bukan petarung sungguhan. Mereka memiliki kelebihan dengan tubuh tinggin dan besar. Hanya beberapa yang pernah membunuh dan berperang. Gerakan mereka lambat. Tidak bisa mengimbangin para Dewa Nersia.

Sekarang tinggal Maura sendiri. Aku dan raja berhasil memukulnya hingga terkapar di tanah. Dia mencoba berdiri. Gerakannya melambat. Aku melempar belatiku, dia menghindar, namun lehernya tersayat. Memuncratkan darah. Dia menggunakan tangan kirinya untuk menutupi luka agar tidak kehabisan darah. Tangan kanannya masih memeggang belati. Berdirinya tegak, masih merasa bisa menang.

"Menyerahlah!" Aku meneriakinya.

Maura tersenyum. Dia tidak maju. Kali ini dialah yang harus bertahan.

Raja Josuan menatapku. Tidak menyetujui jika kami mengampuni nyawanya. Aku menjelaskan kepada raja agar membiarkan Maura hidup. Dia adalah seorang putri sah Raja Nersia. Cukup berharga untuk dijadikan tawanan. Sebagai tawaran jika para Bangsawan benar-benar sedang menuju kemari membawa seluruh pasukan Nersia.

Raja akhirnya mengangguk. Empat pasukanku maju ingin menangkap Maura. Dengan satu tangan, dia membunuh keempatnya.

Aku akhirnya maju, lalu Goldey muncul dari sebelah kiri, Erwin di kanan, dan Dante dari belakang. Maura tetap melawan. Namun tubuh kecilnya jatuh terkapar di belakangku saat Dante melempari batu besar ke punggungnya.

Kami berhasil menangkapnya. Tangan Maura kuikat pakai rantai. Tubuhnya terkulai lemas di depan gerbang istana. Di sampingnya tergeletak enam tubuh dewa. Seluruh kaumku menyaksikan tujuh tubuh kecil yang membunuh ratusan orang-orang kami.

Itulah kekuatan Bangsawan. Ketakutan mulai menyebar di kulit-kulit kaum Bawah.

Kami bahkan belum beristirahat sedikit pun saat suara gemuruh kembali memenuhi langit. Getaran menjalar di tanah. Ada yang datang.

Aku memanjat gerbang istana. Melihat ke arah benteng pertahanan. Astaga. Jauh di ujung penglihatanku, ratusan kuda menyerbu ke arah kami. Jumlahnya cukup banyak, mereka meghambur ke tengah Himala seperti gelombang tsunami. Sepuluh raksasa yang berjaga di benteng tidak memberi sinyal apa-apa. Kemungkinan mereka telah tumbang dibunuh para Bangsawan.

Maura terkekeh di atas tanah. "Mampus, kaum Bawah akan musnah!"

"Tidak," kata Raja Josuan. "Ayahmu akan menukar Himala dengan gadis manjanya."

Kini Maura tertawa lebih keras. Memegang perutnya. Kami menunggu beberapa detik hingga dia berkata, "Ayahku tidak bersama pasukan, dia telah mati seminggu lalu. Raja baru yang memimpin para Bangsawan itu adalah orang gila. Kau, Jagat, kan?"

Maura menunjukku. "Kau mengenalnya dengan baik, Jagat!" Dengan leher terluka, Maura masih bisa menertawakan dan menakuti kami.

"Sebutkan namanya, Jagat!" Maura tersenyum meremehkanku.

Aku mengangguk. Harusnya aku merasa senang dengan nama yang akan kusebutkan. Namun sudah lima tahun aku tidak berjumpa dengan orang ini. Jika dia bisa memerintahkan tujuh dewa, pastilah dia lebih kuat.

Aku menghela napas. Kaumku menunggu apa yang akan kukatakan.

"Dia adalah Dennis," kataku dengan yakin.

***

Malam menjadi dingin dan mencekam. Aku melihat para pasukan kaum Bawah dan raksasa. Merasakan ketakutan yang menggentarkan kulit dan kaki mereka. Untuk memenangkan perang, aku membutuhkan pasukan yang mengerikan, bukan pengecut yang memegang pedang dengan tubuh menjerit ingin kabur.

Di atas gerbang masuk istana, aku melihat kaumku yang sedang menunggu para Bangsawan mencapai kami. Aku mengeluarkan pedang putihku. Memukul dinding gerbang. Bunyinya bergema. Membuat seluruh pasukan mendongak melihatku.

Raja Josuan mengangguk ke arahku. Itu sebuah isyarat. Persetujuan kalau aku akan mengambil alih seluruh pasukan. Mereka harus tunduk dan taat atas perintahku.

"Kaum Bawah," kataku, "Hapus seluruh ketakutan, hapus semua masa kelam, hari ini pertarungan kita dengan Bangsawan akan menjadi sejarah. Kita harus menang, atau jika kita harus kalah, kita akan kalah dengan gaya. Kita akan tumbang dengan satu pesan kepada generasi muda, bahwa kaum Bawah melawan, bahkan kita hampir merebut Berlian.

Kaum Bawah mengangguk. Memantapkan niat dan merelakan takdir. Mereka menggenggam pedang dan tombak. Menyelipkan belati di pinggang. Mengambil perisai-perisai milik pasukan yang telah tumbang.

"Kita akan menunggu mereka di halaman istana, menjadikan gerbangnya sebagai pertahanan. Para raksasa berdirilah di depan gerbang, halangi Bangsawan. Mereka adalah orang-orang biasa, saat melihat tubuh tinggi dan besar kalian, ketakutan akan menular di nadi-nadi mereka," kataku memberi perintah.

Para raksasa melirik Miller. Meminta persetujuannya. Mereka tidak mempercayaiku.

Miller mengeluarkan pedangnya. Tersenyum ke arahku. "Jika kau mengirim kami ke neraka, kami akan patuh, Jagat. Kami akan menjadi martir demi kehidupan lebih baik. Kita tidak selalu satu suara, tapi aku yakin kau akan hidup lebih lama dari kami di perang ini. Saat tiba waktunya, berjanjilah untuk melindungi keluarga para raksasa di Marvil!"

Aku mengangguk. "Aku akan melindungi mereka seperti keluargaku sendiri."

Miller maju lebih dulu. Berdiri tegak tanpa rasa takut di depan gerbang istana. Para pasukan raksasanya mengikuti. Membentuk benteng pertahanan yang hidup.

"Kaum Bawah yang lain, kalian akan berada di dalam gerbang. Kita akan mengatur strategi. Bangsawan akan mengira kalau mereka sedang berkuda menuju surga, kita akan persembahkan neraka!"

"Erwin," panggilku, dia mengangguk mendengarkan, "Bawa seratus pasukan ke atas gerbang, kumpulkan semua tombak, saat Bangsawan mendekat, lempari mereka dengan ratusan tombak. Buat mereka terkapar di tanah sehingga pasukan yang berada di belakang akan terhambat."

Tidak buruh waktu lama. Erwin mengajak seratus orang.

"Goldey, kau orang pertama yang akan Bangsawan temui jika mereka berhasil memasuki gerbang istana. Kumpulkan seluruh sisa pasukan, bersiaplah menyajikan kegelapan kepada orang-orang biadab itu!"

Goldey mengangguk. Wajah tuanya tersenyum. Seluruh pasukan mengikuti perintahnya. Mengambil perisai, memegang pedang dan kapak.

Aku turun ke bawah. Berdiri di samping Raja Josuan. Berbicara beberapa detik. Suara gemuruh tanah semakin mendekat. Ratusan kuda melaju dengan kecepatan mengerikan.

Untuk saat ini, kami akan menawarkan Maura dengan harga yang tinggi.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang