7. Dua Penjaga Sialan

10 1 0
                                    


Aku menyelinap keluar dari lorong ruang makan bersama Darrel setelah menghiasi tubuhnya, merapikan bocah itu sebelum menyusuri jalan keluar. Dia harus berpura-pura jadi Bangsawan.

Darrel senang sekali. Pemberontakan adalah satu-satunya hal yang sangat ingin dia lakukan. Aku yang biasanya suka menasehati dan memarahi dia supaya tidak nakal, kali ini menyeretnya ke perjalanan yang amat buruk.

Kami tiba di pinggir lapangan eksekusi. Menoleh dan melihat sekitar untuk menemukan ibu Darrel. Tangannya gemetar. Dia cemas karena tidak melihat ibu dari tadi. Hanya pamit sebentar, meninggalkan perempuan tua itu untuk mencuri makan.

Aku mendengar napas Darrel yang semakin tidak teratur. Kedua telapak tangannya dikepal. Ada yang tidak beres. Aku mengikuti arah pandangannya dan menemukan ibu Darrel. Perempuan itu tersenyum ke arah kami. Dia menatap Darrel anaknya, kemudian menatapku juga. Aku bisa merasakan tatapan seorang ibu.

Tapi senyum itu berada di wajah yang sekarang disajikan di atas potongan kayum yang melingkari lehernya. Tempat pemenggalan. Seperti kentang yang dipotong di atas telenan, ia akan dieksekusi. Darrel berlari secepat cahaya untuk menyelamatkan sang ibu. Ingin memberitahunya kalau kami punya rencana untuk kabur. Kalau kami akan hidup di Pulau Kemarau.

Aku tahu itu semua sudah terlambat. Bagiku, senyuman ibu Darrel adalah pertanda. Aku harus menyelamatkan anaknya.

Aku berlari mengejar Darrel sekuat tenaga. Bayangkan kau dikejar binatang buas, larimu akan bertambah. Kalikan kecepatannya jadi dua. Aku berlari secepat itu, menyeimbangi langkahnya. Meneriakinya kalau kami sudah terlambat. Tapi dia tidak peduli, dunianya akan segera dibunuh. Ibunya akan pergi selamanya.

Aku meloncat seperti harimau ingin menangkap mangsa. Tanganku berhasil meraih kaki Darrel. Kami berdua terjatuh. Dia bangkit lagi berniat berlari, namun aku lebih cepat. Dengan sigap aku menarik tubuh Darrel sekuat mungkin. Merangkulnya dengan kuat dan memalingkan wajah anak itu, dan membenamkannya di pelukanku. Dia tidak boleh melihat kejadian ini.

Sedetik kemudian, aku menyaksikannya lagi. Saat-saat orang yang kucintai mati. Ibu Darrel menatap mataku dari jauh. Pedang diayunkan oleh algojo.

"Patahkan belenggunya, hidup kebebasan!"

Teriakan ibu Darrel menggema. Namun sebelum pantulan suara itu selesai, kepalanya jatuh ke tanah. Lehernya mengeluarkan banyak darah. Kini tubuh dan kepalanya terpisah dua. Semoga jiwanya naik ke surga.

Luka di hatiku digali lebih dalam lagi. Kesedihan ini sulit sekali diterima hingga air mataku tak menetes. Aku hancur dari dalam. Darrel melepaspelukanku yang melemah. Dia menoleh ke arah ibunya, wanita baik hati itu kini diseli.

Darrel murka. Dia bangun sambil menatap wajah algojo. Aku mencegahnya lagi. Menarik legannya. Ini bunuh diri. Namun Darrel bukan anak muda yang patuh, dia melawanku, mengeluarkan belati kecilnya dan menanam ujungnya di leherku. Aku bisa merasakan kulit leherku basah dengan darah mengalir pelan.

"Lepaskan aku, Jagat!" Darrel mengancam, "Kau tahu aku mampu menusuk belati ini lebih dalam!"

Aku melihat matanya yang layu. Aku hanya menggeleng, bahkan memperkuat genggaman tanganku di lengannya. Aku tidak akan melepas Darrel menuju kematian yang sia-sia.

"Sial, Jagat, demi tujuh neraka aku akan membunuhmu."

Aku bisa merasakan belati itu semakin menusuk. Sedikit demi sedikit.

"Yah, aku tahu kau mampu melakukannya," kataku.

"Jadi? Enyahlah sekarang, brengsek!" Kemaharan telah menguasai Darrel.

"Aku juga tidak sabar untuk membunuh mereka, tapi lihat sekitarmu, kita akan dikepung. Kau ingin bertemu ibumu dan menceritakan kebodohanmu ini di langit?" Kini genggamanku semakin kuat. Aku bisa merasakan tulang lengannya.

Mataku tajam menatapnya tanpa berkedip. Darel tidak pernah melihatku amat marah. Dia menarik belatinya pelan-pelan karena rasa takut. Aku telah menjadi sesuatu yang berbeda, Darrel seperti melihat monster.

"Kita akan menunggu, membuat rencana, berlatih, mempelajari mereka, dan saat waktunya tiba, kita akan melenyapkan seluruh Berlian." Aku mengatakannya dengan serius.

"Berapa lama kita haus menunggu?" Darrel bertanya. Kini dia menyelipkan belati ke celananya.

"Sebulan, setahun, sepuluh tahun, atau sampai api di neraka padam, selama apa pun, kita akan menunggu. Itu harga sebuah pemberontakan. Sekarang, waraslah sedikit, kita masih harus keluar dari sini dan mengejar kapal ke Pulau Kemarau!" Aku berhasil menyakinkannya.

Beruntung, meskipun kami ceroboh, pertengkaran kami tidak menarik banyak perhatian. Para Bangsawan lebih tertarik menonton pertumpahan darah ketimbang aksi kecil kami. Teriakan mereka pun membungkam perselisihan kami.

Darrel hampir jatuh ke tanah karena saat menoleh ke arah jasad ibunya. Keputusasaan menggali dada. Aku tetap merangkulnya, tidak akan membiarkan dia jatuh. Mencoba menstabilkan keadaan sebisa mungkin. Kaki Darrel tidak lagi menyentuh tanah dengan baik. Dia berdiri karena aku masih menahan beban tubuhnya.

Aku tidak akan menyalahkan Darrel. Dia tidak punya pilihan. Memang harus berduka. Saat aku kehilangan ayah dan ibu, momen itu terasa cepat dan sakit. Lalu sakitnya makin terasa dan tumbuh seiring usia. Saat itu aku hanya anak kecil yang tidak mengenal soal hati dan hal-hal yang membuatnya menderita. Sedangkan Darrel, dia mengerti banyak rasa sakit di masa remaja sekarang. Dia kehilangan dua orang tersayang dalam tiga hari. Dia harus berkabung. Mesti diberikan hiburan untuk hatinya yang nelangsa. Tapi sekarang bukan waktu yang cocok. Dia harus kuat.

"Wajar kau merasa lemas, Darrel. Itulah yang Bangsawan inginkan. Mereka merenggut semuanya dari kita. Tahukah kau apa lagi yang akan mereka renggut jika kau tidak segera menjadi dirimu yang kokoh saat ini?" Aku menepuk pipinya pelan. Mencoba membuat kontak mata.

"Mereka akan merenggutmu dariku. Aku juga kehilangan Rahul. Kehilangan ibumu..." Aku tidak bisa menyelesaikan kalimat itu. Tiba-tiba kehampaan mengisi dadaku. Rasanya menyakitkan, karena akulah yang membuat Darrel kehilangan semuanya. Namun sekali lagi, aku harus lebih kuat, terutama di saat-saat sekarang.

"Kita harus kuat," aku melanjutkan, "Kamu harus kuat. Mereka akan merenggut lebih banyak, hal yang jauh lebih berharga, mereka akan merenggut masa depan Kaum Bawah. Jika kau selamat, mereka akan merenggut anak-anakmu, keturunan-keturunan kaum Bawah. Kuatkan kakimu, Darrel. Tabahkan hatimu. Kita akan menyimpan kesedihan ini untuk waktu luang yang lain. Aku membutuhkanmu saat ini. Jika kau tidak segera kuat, mereka akan merebutku darimu juga. Tidakkah aku berharga buatmu?"

Aku menahan air mata. Harus memberinya teladan. Rasanya amat menyakitkan jika bertanya apa aku berharga bagi Darrel. Mungkin iya, tapi bagaimana kalau dia tahu akulah orang yang membuka pintu kesedihannya. Akulah yang paling banyak menyakitkannya. Dia bahkan tidak tahu apa-apa.

Darrel berhasil melewati masa sulitnya. Dia mulai stabil. Kakinya kembali menompang tubuh. Dia memelukku kuat, hampir meremukkan tulangku. Di bawah payung kesedihan. Kami berjalan tampan, gagah, dan sempurna. Kami menjadi Bangsawan, melewati beberapa orang dan menapaki jalur kecil ke arah pintu belakang.

Aku orang yang paling mendetail di Julister. Setidaknya Begitulah menurutku. Aku tahu mana jalan rahasia, jalan pintas, kelebihan dan kelemahan sebuah bangunan. Pintu belakang tembok bangunan romawi yang akan kami lewati ini terkunci. Aku menyerahkan sisa pekerjaan ke Darrel. Pencuri yang handal bisa membobol pintu kemana saja. Itulah yang sedang dilakukan Darrel saat ini. Dia sedikit bingung, gugup, tidak selincah biasanya. Wajar karena bocah itu sedang menahan banyak rasa sakit.

Persis pintu belakang itu terbuka. Dua orang penjaga yang tadi kutemui di lorong ruang makan,kini datang menghampiri kami dari ujung jalan. Mereka mengeluarkan pedang dari sarungannya. Meneriaki kami. Menyuruh berhenti. Darrel panik dan melihat ke arahku.

Instruksi yang kuberikan jelas. Kami akan berlari.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang