12. Goldey

7 2 0
                                    

Kami melanjutkan perjalanan. Sangat tidak masuk akal mengapa kami belum sampai ke daratan Pulau Kemarau. Bulan dan bintang menggantung indah di langit. Mewarnai laut malam. Kami sungguh selamat. Setelah membuka layar dan membiarkan perahu meluncur sendiri, Darrel tertatih dengan hati yang letih untuk memelukku.

Dia bersedih dan menangis. Mengalir di atas pipinya air mata paling suci. Tangisan itu adalah rindu, rasa kangen kepada ibu dan Rahul. Tangisan itu juga kehampaan, dia tidak punya siapa-siapa kecuali aku. Tangisan itu juga kelegaan, di atas semua penderitaan yang ia alami, setidaknya dia belajar satu hal bahwa kadang ombak menabrakmu berkali-kali bukan untuk menjatuhkan, tapi mengantarmu menuju ke fajar yang baru.

Aku juga menangis di dalam batin. Di gelapnya laut tadi, di atas pucuk gelombang bening yang tinggi, semua rasa bersalah menganga lagi hatiku. Rahul, Ibu dan dua penjaga. Apa itu semua adalah hal yang benar. Mengapa aku selamat dari Laut Hijau jika aku orang jahat dan kejam. Apa ini semua hanya tipu dunia, supaya kelak aku bisa membuat lebih banyak hal-hal jahat demi kebebasan. Itukah yang kuinginkan? Apakah itu yang kubutuhkan?

Pelukan Darrel terasa murni dan bersih. Dia kembali menerimaku sebagai sosok saudara dan orang baik. Entah bagaimana penafsiran yang dikulik hatinya tentang kejahatan yang kulakukan. Mungkin ia menganggap aku melakukan ini semua demi kebaikan Darrel. Demi kebangkitan kaum Bawah.

Dua hari berlalu tanpa masalah, kami melihat daratan. Bubu ikan sudah kosong, sisa air bersih juga sudah habis. Kami diselamatkan lagi. Namun daratan Pulau Kemarau yang tampak di ujung laut tidaklah seindah momen ketika para penjelajah dunia menemukan kota emas. Pulaunya tidak memancarkan cahaya apa-apa. Hanya sebongkah tanah kering yang lebih besar dan disebut pulau.

Kami sampai, tidak ada cahaya di sini. Setidaknya tidak ada cahaya sejati. Kegelapan menyelimuti langit dan tanahnya. Aku tidak melihat siapa-siapa. Bagian bumi ini seperti sedang kesepian. Kami mendarat di sisi barat pulau. Menuruni perahu. Beranjak masuk ke dalam hutan. Aku pernah mendengar kalau kaum Bawah yang bertahan di Kemarau telah membangun kerajaan kecil, sebagai pusat pemerintahan kaum Bawah. Namun aku tidak melihat apa pun, harusnya mereka membangun benteng agar tidak diserang pihak lain.

Aku tidak pernah kemari sebelumnya. Hanya tahu arah peta. Jadi wajar kalau perahu kami menepi di daratan Pulau Kemarau yang salah. Para Bawah yang menang di hari duel pasti mendarat di tempat lain. Tetapi aku juga tidak tahu apakah mereka yang sampai duluan atau kami. Jika diukur pakai jarak, kamilah yang akan sampai lebih dulu meskipun mereka berangkat duluan. Tetapi laut yang kami lewati membuat perahu terombang-ambing ke arah yang tidak menentu. Tambahkan hujan, badai dan ombak agung, mungkin kami tiba di sini lebih telat.

Aku sedikit heran mengapa pemimpin kaum Bawah tidak menempatkan orangnya di sisi barat pulau. Bukankah akan berbahaya sekali jika ada invasi yang dilakukan Bangsawan dan berencana melenyapkan kami, sementara mereka masuk leluasa karena tidak ada yang berjaga. Katakanlah suku lain datang dan menyerang Kemarau dari sini, mereka akan dibakar tanpa tahu di mana musuh berada.

Aku berpikir terlalu defensif begini karena aku berpikir seperti seorang Bangsawan. Itulah yang mereka ajarkan kepada anak-anaknya. Mereka membangun benteng kerajaan yang cukup besar dan kokoh dengan tangan kaum Bawah. Lalu menempatkan penjaga di parameter terdekat dan mengirim mata-mata ke seluruh penjuru.

Sementara otakku berpikir, ada yang aneh sedang terjadi di hutan ini. Jalan setapak yang kami lewati terlihat lengang seperti kota hantu. Tetapi aku baru saja mendengar suara ranting patah, tanaman bergoyang dan langkah kaki hewan.

Aku mulai was-was. Darrel yang asyik bersiul di belakangku tidak tahu apa-apa. Aku memanggilnya mendekat karena jarak kami lumayan jauh. Tubuhku berputar, mataku menyapu seluruh hutan untuk memastikan semua baik-baik saja. Mungkin tadi hanya firasatku.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang