Hanya ada dua orang di perahu itu. Mereka tersenyum melihat kami. Aku menyuruh Darrel menyimpan belatinya. Mereka orang Bawah.
"Apa yang kau lakukan di sini, Anak muda?" Salah satu nelayan bertanya kepadaku. Ia turun dari perahunya dengan keadaan basah. Temannya ikut turun sambil membawa banyak ikan hasil tangkapan yang masih segar di dalam bubu.
"Aku ingin membeli perahu ini," kataku sambil mengeluarkan 3 koin perak. Menyuguhkannya di depan kedua nelayan supaya mereka tergiur. Hanya sedikit nelayan yang bisa mengumpulkan 3 keping perak dalam seminggu. Itu artinya banyak sekali.
Mereka saling pandang. Kemudian memutuskan tidak menjualnya, karena alasan bodoh. Itu perahu keluarga, sudah membantu cari nafkah selama puluhan tahun. Terbuat dari kayu terbaik. Mereka menyebutnya perahu tembon. Karena kecepatannya, ia kerap disebut kuda laut. Dua tiang anakan untuk layar kecil dan satu tiang agung untuk layar utama. Saat angin laut bagus, tidak perlu repot-repot mengayuhnya.
Aku mengerti kalau itu hanya alasan belaka. Para nelayan ini menginginkan harga yang lebih tinggi. Tapi aku tidak menyisakan harta apa-apa. Berbeda dengan Darrel, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan dua garpu makan Bangsawan. Terbuat dari perak. Beratnya tiga kali lipat dari 3 koin perak.
"Kecil belum tentu miskin," kata Darrel sambil tersenyum. Membuat aku sedikit lega, ini senyum pertamanya sejak insiden itu.
Cukup satu garpu perak. Nelayan itu menjual perahunya ke kami. Perahu keluarga apanya. Aku dan Darrel naik ke perahu baru kami.
"Kalau boleh tau, kalian mau kemana, Anak muda?" Nelayan yang memegang bubu ikan bertanya.
"Ke Pulau Kemarau." Aku menjawab dengan santai. Mereka berdua saling pandang. Sedikit terkejut tapi sedikit tersenyum. Mereka pikir kami hanya bergurau dan mengacau. Tidak ada orang yang berhasil melintas ke sana.
"Anggaplah kalian serius, emang punya bekal di perjalanan?" Kata nelayan itu sambil mengangkat bubunya.
Aku lupa memikirkan hal itu. Butuh berhari-hari sampai ke Pulau Kemarau dan kami tidak punya apa-apa untuk dimakan. Kupikir nelayan itu menawarkan sedikit kebaikan hati, tapi dia niat menjual karena tahu kalau Darrel masih menimpan satu sendok perak lagi.
Kami tidak setuju. Itu terlalu mahal untuk sebubu ikan. Negosiasi terjadi. Tambahkan dua galon air bersih, kami menolak. Tiga galon, kami tidak terima juga. Mereka kesal, berjalan pulang dan kami terpaksa memanggilnya lagi. Kami lebih butuh air daripada perak.
"Kalian berdua orang Bawah, Raja Xenia masih mengizinkan kalian tinggal di sini?" aku penasaran.
"Oh, tidak, kami akan ke Xenia untuk dieksekusi, kami dua bersaudara yang memiliki hobi yang sama, memancing terakhir kali sebelum mati seperti menulis puisi kepada bidadari di surga."
Aku hanya menggeleng tidak percaya. Namun Darrel bertanya, "Kalau kalian mau mati, kembalikan aja peraknya ke kami, kalian gak butuh itu di surga, sesama orang Bawah harus saling bantu, kan?"
Darrel mengedipkan matanya. Mereka berdua tertawa.
"Kami akan membeli berliter-liter kopi dengan perak ini, Nak. Lagian kalian juga akan mati di Laut Hijau. Sampai jumpa di surga, atau neraka mungkin." Mereka tertawa dan berjalan meninggalkan kami.
Tidak berlama-lama lagi, kami memulai perjalanan. Masing-masing mengambil kayuh untuk menjalankan perahu . Untung sudah istirahat setengah hari saat menunggu di dermaga, tenaga kami cukup untuk mengayuhnya sampai angin segar muncul.
Setelah meletakkan alat kayuh, angin dan gelombang membawa kami separuh perjalanan. Di tengah laut aku melihat jejeran tancapan kayu, ujungnya diikat kain merah. Disusun seperti garis pembatas. Aku langsung tahu kalau perahu kami tidak boleh melewati tanda bahaya tersebut.
Dongeng lama tentang bahayanya Laut Hijau membuat Darrel takut. Aku bisa melihat kegusaran saat menatap matanya. Dia masih tidak banyak bicara, tapi sudah saatnya aku yang memulai percakapan. Terserah dia akan mendengarnya atau tidak.
"Darrel, jangan takut. Ini hanya laut biasa, dongeng-dongeng lama itu membuat kita berpikir buruk. Tetap jaga isi otakmu dengan hal-hal positif. Itu semua hanya dongeng." Aku mengatakan hal tersebut dengan sedikit tersenyum supaya aura positifku tertular kepadanya.
Darrel masih takut. Dia menjawabku tanpa memalingkan wajahnya, "Iya, ini semua dongeng, hanya dongeng biasa seperti Hari Pertarugan Kaum Bawah."
Hatiku tertikam. Rasa bersalah itu mencuat ke permukaan. Aku mengingat Rahul dan dua penjaga. Inikah yang Rahul inginkan? Membunuh orang dan kebebasan akan diraih?
Kami diam lagi sepanjang perjalanan. Tidak banyak yang kami bicarakan. Hanya mengajak Darrel makan biasa. Kami seperti orang asing dan aku akan membiarkan ini semua berlalu. Sampai saat yang tepat, barulah aku akan menjelaskan hal-hal yang tidak bisa dipahami Darrel.
Sudah hari keempat. Laut Hijau tidak seseram yang orang-orang bicarakan. Saat senja, angin laut tidak lagi bertiup. Langit jadi kosong. Udara dan angin seolah menghilang. Aku dan Darrel terpaksa mengambil alat kayuh lagi. Kami masih cukup kuat, mengayuhnya dengan semangat sampai malam tiba dan angin laut kembali muncul.
Aku tersenyum ke arah Darrel. Ini kondisi yang baik, kami bisa gantian istirahat sementara angin mengantar kami melewati Laut Hijau.
Tetapi aku keliru. Itu bukan angin yang kami inginkan. Tiba-tiba perahu bergoyang, petir-petir datang dan mencakar langit dengan cahaya seramnya. Kami memasuki gelombang dahsyat. Membuat tubuh perahu seolah ingin pecah. Aku bisa merasakan getaran dari bawah laut, lalu diikuti gemuruh yang cukup besar. Tanganku meraba tiang anakan dan sisi samping perahu agar tetap seimbang. Aku terlalu sibuk sampai lupa melihat kondisi Darrel.
Barulah saat dia berteriak memanggil, aku cepat-cepat menoleh. Matanya kosong, ia takut setengah mati. Kedua tangannya masih memeluk sisi pojok perahu dengan gemetaran. Dia meraung seperti harimau terluka, aku bangun ingin membantunya. Tetapi di laut, kita tidak bisa berkompromi dengan waktu.
Aku terlambat. Darrel terbanting ke badan perahu. Dia tidak berdaya, lalu tubuhnya terpantul akibat gelombang dari bawah.
Darrel jatuh dari perahu, ia dimakan Laut Hijau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perang Berlian [END]
ActionBerlian adalah bagian bumi yang terasingkan, di sana berdiri beberapa kerajaan, mereka percaya bahwa umat manusia ini dibedakan dengan ras dan golongan. Jagat seorang kaum Bawah, ras yang mengabdikan diri menjadi petani, kuli, tukang, suruhan dan pe...