25. Bersumpah

7 1 5
                                    

Sehari sebelum keberangkatan, aku menemukan Raja Josuan sedang berbincang dengan Goldey saat sedang memasuki Aula Suci. Mereka melirikku, sesuatu sedang direncanakan. Raja memberi penjelasan tentang strategi perang yang akan terjadi. Setelah mendengarkan semua yang dikatakan, aku dan Goldey mulai memberi pendapat. Erwin menyusul kami ikut mendengarkan. Kami tidak menemukan solusi yang baik. Raja menyuruh kami mengumpulkan seluruh seluruh Darxon.

"Apa yang terjadi?" Darrel menanyaiku saat kami menuju ke depan gerbang Darxon. Aula suci tidak akan memuat seluruh kaumku. Raja memutuskan untuk mengumpulkan kami di tanah luas. Ini kali pertama aku melihat seluruh Darxon berkumpul. Mataku menyapu sekeliling, melihat orang-orang Bawah dengan beragam penampilan. Para ayah dan ibu memegang tangan anak-anaknya. Mereka ketakutan.

Saat Raja Josuan maju ke depan, seluruh suara basa-basi antar sesama jadi bungkam. Darrel yang biasanya terus bertanya kepadaku pun ikut diam. Raja Josuan menarik seluruh perhatian. Dia nampak berbeda. Aku belum pernah melihat sosoknya yang ini.

Raja Josuan memakai baju perang emas, berzirah besi cantik. Di pinggangnya terselip pedang, sarungnya saja memunculkan kilauan yang mematikan. Dia tidak berjalan sendiri. Tangan kanannya menggandeng sang istri yang selama ini lebih memilih menutup diri. Tangan kirinya menggenggam tangan kecil seorang gadis berusia 9 tahun, itu anaknya. Raja sampai di depan, naik ke atas panggung kecil meninggalkan keluarganya di barisan paling depan.

"Beri hormat!" Suara Erwin menggema di seluruh Darxon.

Seketika kaum Bawah berdiri rapi. Membuat barisan seperti anak pramuka. Aku tidak pernah mengikuti upacara seperti ini. Kukira aku telah mengenal seluruh Darxon dan budaya-budayanya, tapi ini jelas hal baru.

Kami memberinya hormat dengan menundukkan kepala selama sepuluh detik. Hanya suara gerakan kami yang terdengar. Mulut-mulut diam tidak bisa berkata.

"Rakyatku, perang terbesar dalam sejarah kita akan terjadi. Aku memanggil kalian untuk berdiskusi, memikirkan strategi paling baik karena kali ini kita berperang bukan untuk bertahan, tapi untuk menang," kata Raja kepada seluruh rakyatnya.

Aku menelan ludah. Itu bukan hanya kata-kata, raja sedang menjanjikan seluruh kaum Bawah sebuah takdir baru. Takdir yang sebenarnya sangat kaumku takuti.

"Saat matahari terbit esok, kita akan berkumpul di dermaga, menuju Berlian untuk merebut tanah yang telah lama mereka rampas. Namun, kita harus merelakan satu-satunya tanah yang selama ini menghidupi kita, kita semua harus meninggalkan Darxon!"

Barulah kata-kata raja itu membuat mayoritas kaum Bawah tidak terima. Desis-desis mulai terdengar. Aku bisa melihat mereka saling menatap dan protes dengan suara pelan.

Raja Josuan melihat reaksi kaum Bawah. "Kita tidak bisa tinggal di sini lagi, Bangsawan yang kemarin lolos akan mencapai Berlian beberapa hari lagi. Saat itu terjadi, mereka akan mengirim prajurit terbaiknya untuk memusnahkan populasi kita."

Darrel yang pertama mengutarakan penolakan, "Mustahil!" 

Erwin yang berada di samping raja langsung meneriakinya, "Diam, Raja sedang-"

"Tidak masalah, Erwin," kata raja memotong kalimatnya, "Darrel, utarakan pendapatmu."

Darrel maju selangkah, "Kita memang bisa berperang, tapi tetap saja mustahil bagi kaum Bawah untuk meninggalkan Darxon. Prajurit kita mempunyai keluarga, ada ibu-ibu, anak-anak kecil, mereka tidak mungkin ikut berlayar ke laut untuk ikut perang."

Banyak kaum Bawah yang mengangguk setuju.

"Mereka akan meninggalkan Darxon, kaum Bawah yang tidak ikut ke Berlian untuk perang tetap harus meninggalkan tempat ini." Raja diam sesaat, lalu melanjutkan, "mereka akan ke Marvil!"

Kaumku bingung. Mereka tidak pernah mendengar nama Marvil. Aku saja baru mendengarkannya beberapa hari lalu.

Raja Josuan kemudian menjelaskan apa yang sudah dijelaskan kepadaku. Bahwa Zigala telah punah. Bahwa di ujung Pulau Kemarau ada sebuah tempat. Keberadaan raksasa cukup sulit diterima oleh kaumku. Bahkan sebagian malah menertawakan raja yang mengarang dongeng aneh.

Goldey terbatuk-batuk saat membela raja, "Entah Marvil itu ada atau tidak, kita akan tetap membawa keluarga ke ujung Kemarau. Itu lebih baik daripada menunggu Bangsawan datang dan membantai anak-anak kalian saat kalian sedang berlayar di laut!"

Perkataan Goldey cukup menyakiti perasaan kaum Bawah. Kenyataan itu memang pahit, kami tidak punya pilihan.

Beberapa orang mengangkat tangan untuk bertanya kepada raja, terlalu banyak sehingga mereka tidak sabar menunggu giliran dan mulai saling berteriak.

"Ke Marvil juga bunuh diri, para raksasa tidak akan menerima kita!"

"Kita akan dijadikan makanan mereka!"

"Lebih baik ke Berlian daripada ke sana!"

Isi kepalaku hampir pecah saat mendengar keluhan-keluhan, bayangkan apa yang dirasakan raja. Saat kaum Bawah masih berteriak meminta jawaban, saat kekacaun dan kericuhan mulai melonggarkan barisan kami, Raja Josuan mengeluarkan pedangnya.

Semua terdiam saat raja mengangkat pedangnya ke langit. Tubuh pedang berwarna hitam pekat. Kilauan yang dipancarkan menarik banyak perhatian. 

"Dengar baik-baik, aku tidak akan berdiskusi lagi." Mata raja menyapu seluruh kaum Bawah. Kami bungkam, diam, dan siap mendengarkan.

"Besok di dermaga, prajurit akan berangkat dengan 20 kapal, masing-masing berisi 50 orang. Aku akan memimpin kita menuju Berlian dan menyerang Narnar. Kita tidak akan pulang sampai Berlian berada di bawah kuasaku, jadi berjanjilah, Rakyatku, saat kita berangkat besok pagi, berjanjilah untuk membawa nyawamu dan relakan keluargamu!" 

"Kalian para keluarga, datanglah dan berikan pelukan kepada mereka, mungkin itu pelukan terakhir. Saat kami sudah berada di laut dan berangkat. Para orang tua, ibu-ibu, anak-anak, dan seluruh orang Bawah yang masih tinggal di sini harus menuju ke Marvil.  Kita tidak mempunyai cukup kapal untuk mengantar kalian ke ujung sana. Aku akan mengatakan kejujuran, kalian akan melewati hutan lebat, gunung curam, binatang buas akan menunggu kalian, jadi persiapkan diri dan tabahlah. 

"Para Prajuritku, jangan takut, aku tidak akan menjanjikan apa-apa, tapi ingatlah ini, aku akan mengutus dua orang orang terbaik yang pernah kita miliki untuk memimpin perjalanan menuju Marvil. Mereka berdua pernah melarikan diri ke Darxon melalui Laut Hijau, mereka akan mengorbankan seluruh hidupnya untuk keluarga kalian!"

"Aku bahkan akan mempercayakan mereka untuk membawa Ratu Elsa, istriku, dan Hannah, anakku di tangan mereka." Raja menatap dengan penuh kasih sayang ke mata keluarganya. Saat itulah kaum Bawah yakin, jika raja mengorbankan keluarganya, kami pun harus.

Kemudian raja menunjukku dengan pedangnya, "Jagat, bersumpahlah, Kau harus mengantar mereka ke Marvil dan menjamin keselamatan semua orang!"

Jadi aku maju beberapa langkah, mengeluarkan pedangku, mengangkatnya ke langit. "Aku akan membuang nama ayahku. Aku akan mengabaikan namaku. Aku akan menjadi pedang kaumku. Aku berjanji, tidak ada satu orang Bawah pun yang akan mati sebelumku. Aku akan melindungi mereka dengan seluruh tenaga dan napasku!"

Mereka yang menyaksikan terkesiap mendengar sumpahku. Para prajurit mengangguk, mereka percaya kepadaku.

Kemudian giliran Darrel yang maju di sampingku. Dia berlutut , matanya lurus menatap raja. "Atas nama ibu dan Rahul, aku akan mengikuti perintahmu, Raja, bahkan menuju neraka ketujuh sekalipun!"

Semua hal telah diputuskan. Raja membubarkan perkumpulan. Menyuruh kaum Bawah pulang ke rumah masing-masing untuk menikmati momen terakhir. 

Sementara aku dan Darrel disuruh menghadap raja. Ada hal yang ingin dia katakan. Sebuah kejutan.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang