3. Sosok Kakak

29 9 3
                                    

Ada alasan Rahul menjadi pengrajin membantu ibu, itu karena sebelah kakinya cedera. Dan hari ini, dia harus bertarung denganku.

"Mengapa Kau di sini, Rahul?" Aku bertanya dengan heran.

"Haruskah kita menghabiskan waktu di sini dengan bercengkrama saja, atau menyajikan hiburan yang layak untuk Bangsawan?" Rahul terkekeh.

Rahul berdiri lebih dulu. Dia berusaha kuat dan perkasa.

Aku ikut bangun. Masih tidak percaya dengan siapa yang dijadikan lawanku, meskipun aku tidak berencana membunuh siapa pun hari ini. Kenyataan ini saja membuat hatiku hancur. Namun, aku senang karena Rahul berada di ruang yang sama denganku. Nyawaku bisa mengembalikannya ke pangkuan ibu dan Darrel. Dia tidak harus bertarung.

Kami orang Bawah, dipaksa membunuh teman sendiri? Keluarga sendiri? Orang macam apa yang membuat budaya semacam itu?

"Aku tidak akan membunuhmu, Rahul." Aku mendekati tubuhnya.

Secepat kilat, tangan pengrajin yang lihai itu menonjok rahangku. Aku mengaduh kesakitan.

"Ayo lawan, Jagat! Kau adalah yang terakhir dari keluargamu! Apa kau akan membiarkan orangmu punah?" Rahul maju selangkah.

"Tidak akan! Kaulah orangku, Rahul. Kau punya keluarga sedangkan aku tidak. Bunuh aku dan pulanglah merawat ibu dan Darrel...." Aku memegang bahunya dengan lembut.

Rahul malah memukul dadaku dengan kuat. Meskipun kepalan tangannya kecil, aku terhuyung ke belakang dan merasakan sesak di dadaku.

Aku tidak marah, dan akan membiarkan Rahul unggul.

Rahul maju dan melayangkan beberapa pukulan dengan cepat. Tubuh kami jelas berbeda, hanya dengan melihatku saja kaum Bangsawan akan tahu siapa pemenangnya.

Mereka bersorak dari luar memberi semangat kepada Rahul yang terus melayangkan pukulan. Bagi Bangsawan, tidak penting pertarungan ini dimenangkan karena lawannya rela mati dan mengalah. Yang penting bagi mereka, hanya satu orang yang akan keluar hidup-hidup dari ruangan ini. Hanya satu orang yang akan mati, dan hanya satu orang yang akan jadi pembunuh.

Tubuhku mulai tidak tahan dengan pukulan Rahul, itu karena bekas tonjokan Bangsawan yang menggiringku tadi.

Aku menangkis serangan lanjutan Rahul. Aku memegang tangannya yang sangat kecil.

Di situ aku sadar, para Bangsawan sangat kejam. Mereka mengharapkan tangan tangguhku ini membunuh Rahul. Bagaimana mungkin aku akan membunuhnya dengan tangan kosong. Kematian yang pelan ialah yang paling menyakitkan. Aku harus menumpahkan cukup banyak darah dari tubuhnya dengan tanganku yang tumpul. Berbeda dengan pedang yang hanya sekali sayat.

"Orang Bawah harus melawan, Jagat!" Rahul berseru.

"Aku tidak akan membunuhmu, Kawan."

"Kau menghina bangsamu, setidaknya beri aku satu pukulan jika kau benar-benar orang Bawah, atau kau sudah jadi Bangsawan, Jagat? Bukankah ayahmu tangan kanannya raja? Dia mati cukup bangga karena memiliki anak Bangsawan sepertimu."

Mendengar ucapan itu, wajahku mati rasa. Ayahku bukan Bagsawan. Dia orang Bawah yang cukup kuat sehingga dipekerjakan di kerajaan. Namun Rahul terus mengoceh dan melontarkan sumpah serapahnya.

"Jagat, ayahmu akan malu melihat anaknya mati karena jadi pengecut. Tak usah sok suci, ayahmu sudah membunuh ratusan orang, apa sulitnya bagimu untuk menambahkan satu lagi?"

Kemarahan menguasaiku. Jantungku bergemuruh. Emosi mendekam di kerongkonganku.

Rahul benar-benar membuatku marah. Seluruh memori tentang ayah berputar di pita kepalaku. Itu menyakitkan dan menyesakkan. Tapi aku takkan terpancing untuk membunuh Rahul. Aku hanya akan memberinya satu pukulan. Hanya satu. Agar kalau nanti aku mati, setidaknya Rahul tau aku melawan dan tidak menganggapnya remeh.

Aku mengayunkan tinju ke wajahnya. Astaga, ternyata pukulanku sangat kuat. Aku mematahkan hidung Rahul. Darah segar mengalir dan dia terjatuh ke belakang.

Aku tidak mendengar tepuk tangan Bangsawan. Aku panik dan duduk merangkul sahabatku itu.

Kalian, yang tahu betul niatku, katakan kepada Darrel bahwa aku tidak berniat membunuh saudaranya. Aku hanya akan melawan sedikit.

"Simpan air matamu, Jagat," kata Rahul terengah-engah dengan senyumnya.

Tubuh Rahul di pelukanku terasa cukup ringan. Aku tidak mampu berbicara untuk beberapa saat.

"Kau tidak membunuhku, Kawan. Ingat dengan tanaman beracun di dekat rumahmu? Aku memakannya tepat setelah memasuki gerbang Aula Suci. Maafkan perkataanku tadi, aku memancing emosimu karena butuh dipukul sekali supaya Bangsawan tau kalau kau melawan."

Kalimat Rahul itu agaknya untuk menghiburku. Aku masih merasakan bekas daging yang kupukul dengan tangan kosong.

"Aku mengikat Darrel di kamarnya saat sedang tidur. Aku tidak takut membiarkan dia bertarung di sini, karena dia cukup kuat dan akan menang, meskipun melawan kau, Jagat. Yang aku takutkan, dia akan bangga setelah membunuh orang Bawah di sini. Aku tidak mau adikku menjadi pembunuh." Suara Jagat semakin mengecil.

"Kau juga tahu akan kalah, dan itu akan membuat keluargamu dieksekusi!" Aku marah kepada Rahul. Andai Darrel di sini, dia cukup kuat melawan siapa pun. Dia cukup patuh untuk kusuruh membunuhku.

"Aku yakin akan kalah melawan siapa saja, tapi eksekusi itu adalah hari esok, dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, kan? Setidaknya, kalau besok Darrel mati, dia tidak pernah melukai kaum Bawah mana pun. Aku tak akan pernah membiarkan adik kecilku mencicipi rasa darah, itu sangat berbahaya."

"Jagat, kau tidak membunuhku. Ini adalah suara terakhirku, dengarkan baik-baik."

Rahul mengangkat kepalanya dari lenganku.

"Kau adalah kaum Bawah. Begitu pun keluargamu. Kaum Bawah selalu melawan, itulah mengapa dahulu leluhur kita pernah berperang dengan para Bangsawan. Kita tidak membenci Bangsawan, kita hanya benci sistem mereka. Sistem yang membuat hiburan semacam ini. Sistem yang mengelompokkan manusia bedasarkan kelas masing-masing."

"Aku ingin sekali mengubahnya, namun tanganku kecil dan bahuku rapuh. Aku ingin menggendong kebebasan dan membawanya ke keluargaku. Tapi Beban dan tanggung jawab seperti itu akan menumbangkanku. Ada alasan kita dipertemukan di sini. Ada alasan kenapa kau akan keluar dari sini hidup-hidup. Aku yakin, kau akan mengubah Berlian jadi bumi yang lebih bagus."

"Besok akan jadi hari yang berbeda, aku yakin seyakin hari esok Darrel akan mencuri lagi."

Aku menangis. Apa yang telah kulakukan. Wajahku pening, penglihatanku memudar. Apa yang kulihat mejadi dua.

Dengan sisa tenaga, Rahul mengambil kain merah di celananya. Dia mengenggamnya dan menyodorkan kepadaku.

"Jagat, takdirmu tidak didikte oleh orang lain. Hiduplah dengan keyakinan bahwa masa depan bisa diubah jadi lebih baik."

Rahul tersenyum lagi, menunjuk dadaku dengan tangannya yang kecil. Darah mengalir dari hidungnya. Dia jatuh lagi ke pelukanku, tidak berdaya. Kemudian dia diam. Tidak lagi bergerak-gerak. Tidak lagi tersenyum.

Aku membenci diriku sambil memeluk kepala Rahul. Wajahnya kini seperti senja paling merah.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang