21. Menghilang

7 1 0
                                    

Aku tidak akan maju bertarung. Ini curang. Pembantaian, seperti yang Bangsawan lakukan kepada kami. Tetapi kaumku yang marah maju, ingin melawan Serge dan anak buahnya.

Sembilan orang Bangsawan maju ke depan Serge. Melindunginya seperti sebuah benteng melindungi istana. Tidak ada ketakutan dalam jiwa para Berlian ini. Mereka tidak menyerang karena kalah jumlah. Ini permainan defensif.

Menatap mata mereka saja kaum Bawah bisa menciut dan takut. Makanya tidak semua prajurit maju menyerbu. Lima orang Bawah pertama mengaung dan menyerang. Hanya butuh dua Bangsawan dan belati, lima orang tadi tumbang tidak bernyawa. Aku tidak bisa melihat pertumpahan darah ini. Harus menghentikannya. Tidak ada pilihan. Harus membunuh atau kaumkulah yang dibunuh.

Para Bangsawan mengambil pedang dan perisai orang Bawah yang sudah jatuh terkapar di tanah. Kini mereka bertambah kuat. Pertarungan ini menunjukkan betapa tangguhnya mereka dan betapa lemahnya kami. Itu bukan hal yang baik mengingat perang akan terjadi. Kaumku akan berpikir kalau kemenangan itu mustahil. Melawan 10 orang saja kami harus gentar dan ragu. Apalagi seluruh kerajaan.

Darrel melompat maju lebih dulu. Seorang diri. Serge tersenyum licik dalam ketakutannya. Satu lawan satu. Serge memerintahkan hanya satu anak buahnya yang maju, agar pertandingan ini terlihat seru. Darrel bertaruh di sini, dia harus menang untuk mengembalikan kepercayaan kaum Bawah. Bahwa Bangsawan tidak sekuat yang kaumku pikirkan.

"Satu lawan satu, jika kami menang, kita berdamai dan aku akan pulang tanpa dendam. Lima puluh pekerja ikut denganku," itu penawaran yang bagus. Tetapi dilihat dari situasi, Sergelah yang sedang terpojokkan dan dia tidak berhak menawar.

Raja bingung. Tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya dia mengangguk. Sebagian kaum Bawah tidak setuju. Aku tidak setuju. Darrel harus mundur dan aku akan menggantikannya.

Darrel menatapku saat mau maju. "Ini giliranku, Jagat."

Dan anehnya, aku membiarkan Darrel bertarung. Tidak ada ampunan di matanya. Tidak seperti yang diperlihatkan saat melawan Ferdi. Dia akan melawan Bangsawan yang membunuh keluarganya.

Astaga, akulah yang sebenarnya membunuh Rahul.

Darrel berlari cepat menabrak lawannya. Dia memiting lalu menusuk tempurung lutut Bangsawan itu dengan pedang sementara dia masih mengibas-ngibaskan pedangnya sibuk melakukan persiapan. Lawan terjatuh, tidak bisa menahan rasa sakit. Darrel pun mencelupkan pedangnya di sela-sela baju zirah. Pelan sekali hingga aku bisa mendengar dagingnya robek.

Darrel menangkap ekspresi tidak percaya Serge. "Kenapa, Tuan? Duel sudah dimulai. Aku licik, tetapi bukan binatang buas. Aku hanya menang cepat."

Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Prajurit itu tidak siap sama sekali ketika Darrel menyerang. Tetapi duel memang sudah dimulai saat Serge dan raja sama-sama setuju. Itu pembunuhan pertama Darrel. Ia cukup tenang dan tegar. Tidak ada keraguan di matanya. Ternyata selama ini dia sudah mengumpulkan apa saja yang ia butuhkan untuk mengambil nyawa kaum Bangsawan dengan mudah.

Serge panik. Dia berbisik dan mereka berlari menuju ke arah kapal. Terkencing-kencing. Jarang melihat Bangsawan kalah jumlah. Apalagi sampai harus melarikan diri. Mereka tidak akan sampai ke dermaga dengan mudah. Itu perjalanan panjang.

"Tangkap dan bawa mereka ke sini, terutama Serge. Jika melawan, bunuh mereka semua," raja memerintahkan prajurit.

Aku dan Darrel ikut mengejar. Tubuh atletis yang dimiliki Bangsawan membuat mereka berlari cukup kencang. Mereka melewati hutan gelap yang sepi. Tidak mudah mencari orang yang bersembunyi di sini. Tetapi Bangsawan tidak akan jauh, mereka tidak mengenal Pulau Kemarau. Mereka tidak akan sampai ke kapal.

Aku mendengar suara pedang saling banting. Gesekan besi itu terdengar di dalam hutan. Aku dan Darrel berlari mencapai sumber suara. Saat sampai, satu prajurit Bangsawan sudah terkapar mati. Sedangkan ada lima mayat Kaum Bawah yang tergeletak di sana.

"Apa yang terjadi?" tanyaku kepada tiga orang yang masih di lokasi.

"Mereka masih berlari ke arah kapal. Satu orang sudah menunggu kami di sini. Dia sendiri melumpuhkan lima dari dua puluh orang yang mengepungnya," kata prajurit rendahan itu terengah-engah.

Gila. Serge adalah orang licik dan gila. Dia menyuruh prajuritnya memperlambat langkah kami. Meninggalkan satu orang di belakang. Mengorbankannya demi keselamatan sendiri. Dan anehnya, kaum Bangsawan yang kuat ini malah melakukan perintah tersebut dengan ringan hati. Aku sadar, prajurit yang dibawa Serge ini bukan Bangsawan sembarangan. Mereka yang terkuat. Sembilan orang dengan sumpah setia kepada Julister. Dan jika para prajurit ini mau melakukan apa pun untuk Serge, itu artinya Raja Julister memang memberikan kewenangan dan kepercayaan.

Kami tidak punya pilihan. Serge harus mati.

Aku, Darrel, dan tiga orang lainnya melanjutkan pengejaran. Mengarah ke kapal. Lagi-lagi ada seorang Bangsawan yang tewas di tengah hutan. Empat Kaum Bawah juga tergeletak tidak bernyawa. Tiga sudah tumbang. Ada tujuh orang lagi yang masih berkeliaran.

Kami berlari santai sambil berharap kelompok kami di depan sudah menangkap Serge. Di tengah perjalanan, aku melihat tubuh yang lemah terkulai bersandar di pohon. Itu orang kami. Dia sudah mati. Kali ini tidak ada Bangsawan yang jatuh. Beberapa meter di depan, satu lagi tewas. Lalu ada lima orang lagi yang mati di lokasi yang berjarak. Tidak ada Bangsawan lagi. Mereka semua lolos.

Aku pun mendengar suara berisik dari rerumputan. Ada seseorang atau sesuatu di baliknya. Aku menahan gerakan Darrel dan prajurit. Ada yang tidak beres. Aku paham taktik yang dimainkan Bangsawan.

Pertama, mereka memperlambat gerak kami. Lalu karena unggul soal jarak dan menjauh dari penglihatan kaum Bawah, mereka bersembunyi di balik pohon atau semak-semak. Saat prajurit kami tidak siap, mereka menyerang. Itulah alasan kenapa banyak yang tumbang di lokasi yang berbeda. Mereka pandai. Itu bukan ide Serge. Dia bukan orang sepandai itu soal perang. Prajurit yang dibawanya itu terlampau hebat, mereka punya otak dan otot.

Kami harus berhati-hati atau masuk dalam perangkap.

Aku maju di depan. Menyibak rerumputan dan menemukan seorang prajurti yang menangis menahan rasa sakit. Astaga, isi perutnya dikeluarkan. Dia tidak bisa berbicara. Aku tidak sanggup melihatnya menderita. Belatiku menancap kepalanya dengan lembut. Aku menghilangkan rasa sakitnya.

Kami pun bergerak lagi. Tidak menemukan apa-apa di dermaga kecuali kapal besar Bangsawan dan lima perahu Kaum Bawah. Seseorang berada di atas kapal. Itu pemuda yang tadinya diperintah raja untuk meletakkan pedang dan senjata kaum Bangsawan di sana.

"Mereka tidak kemari, Tuan. Kelompok pertama tiba di sini juga dan tidak menemukan Bangsawan. Mereka berpencar menyisir Pulau Kemarau," kata anak muda yang ada di kapal.

"Siapa namamu, Nak?" tanyaku.

"Army, Tuan."

"Berapa orang kita yang sampai ke sini?"

"Sekitar tiga puluh orang."

Aku mengangguk. "Itu jumlah yang bagus."

"Apa kau bisa bertarung?" tanyaku kepadanya lagi. Dia mengangguk dengan ragu-ragu.

"Tetap di kapal bersama tiga orang ini," aku menunjuk prajurit yang membersamaiku tadi. "Jangan biarkan Bangsawan lolos kalau mereka datang kemari!"

"Kami akan menjamin itu, Tuan," tegas pemuda itu.

Aku dan Darrel masuk ke dalam hutan lagi. Bangsawan masih berada di sini. Tidak mungkin menampakkan diri ke luar hutan karena masih siang. Mereka punya rencana kabur yang sangat baik.

Aku tidak menemukan apa-apa kecuali beberapa orang Bawah. Mereka semua kelelahan. Beristirahat di tempat yang nyaman. Aku dan Darrel tidak menyerah sampai malam tiba. Kami juga tidak melihat satu Bangsawan pun.

Pulau Kemarau sangat luas. Cukup luas setidaknya untuk mencari tujuh orang yang bersembunyi. Aku dan Darrel harus kembali ke Darxon. Mungkin raja membutuhkan informasi.

"Mereka menghilang begitu saja," kataku kepada raja dan dewan, "tersisa tujuh orang lagi."

"Mereka bukan Tuhan, tidak mungkin menghilang begitu saja!" Erwin membentakku seolah aku tidak becus.

"Mereka tidak menghilang begitu saja, Tuan Mulut besar, mereka punya rencana!" Darrel muak melihat Erwin yang terus-terusan ngoceh.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang