28. Hutan Mati

4 0 0
                                    

Ketika fajar pertama baru muncul, aku menggendong Hannah ke depan para raksasa. Aku melangkah dengan tegap. Sebenarnya, kesunyian sedang bergemuruh di dalam diriku. Bekas cekikan Darrel masih terasa perih di hatiku. Aku memikirkan kata-katanya berulang kali. Darrel mengusirku dari kehidupannya. Saat memikirkannya lagi, itu menjadi semakin sakit karena aku sadar bahwa separuh jiwaku sudah hilang karena kepergian Darrel.

"Pertama, Kau harus memberinya penawar agar dia bangun," kataku kepada para raksasa. "Lalu kita bisa berkenalan dan saling menawar!"

"Aku Dante, itu istriku, Nova, dan yang sedang diperban adalah anak kami, Jasper." Raksasa paling besar yang menjawab.

"Kukatakan sekali lagi, obati Hannah dulu, baru kita bicara!"

"Dia sudah mati," kata Nova, "Setidaknya 3 hari lagi." 

Aku menatap mata Nova yang sedang merawat luka anaknya. Dia berbicara jujur. Ratu Elsa menangis lagi. Meratapi tubuh anaknya yang lemas.

"Demi Tuhan, aku akan membunuh anakmu jika Hannah tidak bangun!"

Kini aku maju sambil mengeluarkan pedangku. Amarahku muncul lagi.

"Tapi," kata Dante, "Dia bisa hidup, kemungkinan kecil," lanjutnya.

"Jelaskan bagaimana caranya, pastikan Kau menjelaskan dengan cepat, karena jika aku memotong leher anak dan istrimu, kemungkinan besarnmereka tidak bisa membersamaimu lagi!" Kataku dengan tegas.

"Santai, Kau temperamen sekali, Kawan," canda Dante.

Aku melempar belatiku, sangat cepat, menancap di pohon besar, tepat di sebelah wajah Jasper. 

"Satu kesempatan lagi," tegasku.

Dante menelan ludah. Kini dia benar-benar mengerti kalau aku sedang serius.

"Itu jarum beracun, satu tusukannya bisa melumpuhkan rusa besar. Efeknya sangat cepat, kami menggunakannya untuk berburu makanan. Hannah hanya kurang beruntung, kami berencana meracuni kalian semua dan dijadikan makanan. Jangan kaget, kami telah memakan manusia bertahun-tahun. Itu cara kami bertahan hidup jika stok makanan yang lebih beradab menipis."

Aku membayangkannya. Hatiku geli. Manusia memakan daging manusia. Sebuah penghinaan untuk memperpanjang kehidupan.

"Kami hanya memakan Bangsawan, Hannah tampak seperti salah satu dari mereka bagiku. Namun setelah melihat kalian semua dari dekat, aku bisa mengenali kaum Bawah. Maafkan kami, sudah ratusan tahun tidak ada kaum Bawah yang ke sini. Sesekali kami bertemu Bangsawan di Laut Sentosa bagian utara, membunuhnya, dan memasak daging mereka. Makan mewah...." Dante tertawa.

Aku tidak tertawa.

"Maaf," kata Dante, "Kami harus membawa Hannah ke Marvil sekarang jika kalian ingin dia selamat."

Kami tidak akan sampai di Marvil dalam waktu 4 hari. Hannah akan mati sebelum sampai ke sana. Kupikir Dante berusaha menipuku.

"Kita tidak akan sampai ke Marvil dalam waktu 4 hari," kataku.

 "Kita?" Dante tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Hanya Hannah yang akan ikut bersama kami. Percayalah, kami akan berusaha tiba tepat waktu."

Dante maju ke arahku, lalu menatap kaumku. "Aku tidak tahu tujuan kalian, tapi pulanglah ke Darxon. Jangan melewati daerah perbatasan karena kalian akan mati dibunuh para raksasa. Demi Tuhan, aku akan membunuh kalian semua jika saja aku cukup kuat. Aku tidak malu mengakui kalau keluarga kami bukan petarung hebat, kami bertarung cerdas dengan racun. Jadi, baliklah ke Darxon!"

"Tidak, tujuan kami adalah ke Marvil," kataku.

"Kau orang gila sialan brengsek-" Jasper menyumpahiku.

"Jaga mulutmu, Anak bodoh," Nova menampar mulut Jasper yang ingin memakiku lagi.

"Apa yang sebenarnya Kau pikirkan, Anak muda?" Tanya Nova.

Aku menjelaskan rencana kaum Bawah untuk menyerang Berlian. Sesekali Jasper tertawa mendengar perkataanku yang tidak masuk akal. Misi-misi mustahil yang aku ceritakan seperti kebohongan dan candaan bagi mereka. Dante kadang ikut tertawa. Namun tidak dengan Nova. Dia benar-benar mendengarkanku.

"Pulanglah, Marvil hanya akan menjadikanmu makanan," kata Nova.

"Tapi kami orang Bawah," kataku.

"Mereka tidak peduli. Berada di sini saja sudah melanggar aturan. Kami tidak pernah bertemu orang-orang berukuran kecil seperti kalian, kecuali di laut."

Lalu Nova melanjutkan, "Semakin lama kita mengobrol, kesempatan Hannah mati semakin besar," kata Nova menjelaskan. 

Aku menatap tubuh Hannah yang semakin tidak berdaya.

Nova maju ke arah kami. Dia mengulurkan tangannya. Mengambil Hannah dan menggendong tubuh kecilnya.

"Kalian tidak bisa sampai ke Marvil, bahkan jika kalian sangat ingin ke sana, kalian tidak mempunyai kapal. Kami akan berlayar membawa Hannah ke Marvil di pinggiran Laut Hijau. Kalau beruntung, kami akan sampai dalam empat hari. Di sana ada seorang wanita tua yang mungkin bisa menyembuhkannya. Kami tidak akan membawa kalian ikut di kapal, karena kalau raja tahu, kami akan dihukum mati karena membantu orang-orang seperti kalian. Hannah adalah pengecualian, aku berjanji akan menyembuhkannya, setidaknya untuk kali ini saja." kata Nova melihat Hannah yang terkulai lemas di tangannya.

"Kami bisa jalan kaki ke sana," kataku.

"Tidak," jawab Dante cepat. "Bahkan hanya beberapa kaumku yang berani masuk ke hutan antara Zigala dan Marvil. Di sana ada hutan mati yang membentang luas. Berbagai binatang buas berukuran besar hidup di sana. Kalian hanya anak-anak kecil dan ibu-ibu, jadi tidak ada kemungkinan kalian akan selamat. Jangan tersinggung."

Aku menelan ludah. Semua rencanaku terlihat sia-sia. Aku tidak akan mampu melindungi semuanya jika harus berhadapan dengan hutan mati. Kami harus menemukan kapal. Aku berusaha berpikiran positif. Mungkin di Zigala ada beberapa kapal peninggalan.

"Kami akan pergi," kata Dante, "tapi kami membutuhkan bekal makanan. Mengantar Hannah tidak gratis."

Stok makanan kami tidak banyak. Jika harus tersesat di Pulau Kemarau, kami membutuhkan banyak makanan. Tidak akan cukup jika dibagikan dengan para raksasa rakus itu.

Sial. Aku harus mengalah

"Dante hanya bercanda," kata Nova. Lalu berjalan meninggalkan kami.

"Aku tidak bercanda." Dante protes.

Jasper mengikuti ibunya meninggalkan kami. Dante menghela napas lalu menanyaiku, "Siapa namamu, Nak?"

"Aku Jagat," jawabku.

"Kau terlihat seperti kaum Bawah, tapi caramu bertarung lebih mirip Bangsawan. Sampai jumpa, Jagat!"

Ketiga tubuh besar itu semakin menghilang di ujung penglihatan. Kaumku terduduk lemas merasa lega karena mereka sudah pergi. Ratu Elsa  masih menangisi kepergian Hannah. Dia sangat ingin menemani anaknya, namun para raksasa bersikeras untuk mengabaikannya.

Aku harus membuat keputusan lagi. Kaumku ketakutan untuk melanjutkan perjalanan. Kami bisa saja bertemu dengan raksasa yang lebih besar dan kejam. Apalagi jika harus melewati hutan mati. Itu tampak seperti rencana yang mustahil. 

Walaupun seluruh keraguan menyerap ke pikiranku, aku harus tetap optimis. Terutama karena akulah pemimpin di sini.

"Berdiri, kita akan ke Zigala. Rencanaku adalah menemukan kapal di sana. Kalau tidak, biarlah hutan mati yang menentukan nasib kita."

Aku tampak percaya diri. Kaumku mengangguk ragu-ragu.

Ratu Elsa bangun dari duduknya. Dia menyeka air mata dan menyakinkan mereka, "Kita adalah yang terakhir dari kaum Bawah, kita akan terus maju sampai yang terakhir dari kita mati."

Aku pun berjalan di depan memimpin mereka. Aku khawatir. Entah karena kehilangan seseorang atau karena tidak akan mampu menjaga semuanya.

Semua lebih mudah jika Darrel bersamaku.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang