Aku meloncat dari kapal raksasa, mendarat di kapal raja. Kami berpelukan. Bahuku yang terkilir masih kesakitan. Kami berbagi informasi. Raja menceritakan perjalanannya. Mata-mata kami memberi informasi kalau Himala sedang sepi. Para Bangsawan meninggalkan kota menuju ke Julister untuk melindungi Narnar dan kota lainnya di Julister. Itu kabar baik. Jika Himala tidak dalam penjagaan, kami bisa menaklukkannya dalam sehari.
Tidak banyak yang kukatakan kepada raja. Masalah-masalah yang kami hadapi di perjalanan menuju Marvil kusembunyikan. Bahkan kematian Calleb dan nasib Hannah tidak kuceritakan sedikit pun, agar raja berfokus untuk memimpin perang. Pertengkaranku dengan para raksasa pun tidak boleh ada yang tahu. Bahkan aku sudah memperingatkan Miller dan pasukannya agar tidak mengungkit apa pun di depan raja. Cukup bilang kalau kami memiliki satu tujuan, merebut Himala.
Raja menanyaiku tentang Darrel. Kali ini aku tidak bisa mengelak. Aku menceritakan semuanya, mulai dari hari pertarungan kaum Bawah sampai saat Darrel ingin membunuhku, lalu kabur meninggalkanku. Raja memegang bahuku, mengucapkan rasa kasihannya. Kami berdua setuju kalau perang ini lebih mudah jika Darrel ikut bertarung.
"Nanti malam, kita akan menyerang Himala," kata Raja Josuan di petang hari saat kami berdiri rapi mendengarkan orasinya.
Miller berdiri di samping raja. Dua pemimpin kaum Bawah. Berseragam lengkap. Berdiri dengan tubuh tegak menunjukkan kekuatan.
Raja Josuan melanjutkan, "Kita akan merebut Himala hari ini, bertarunglah seolah-olah tidak ada hari esok. Jika kota itu jatuh ke tangan kita, tanahnya bisa menghidupi kaum Bawah selama ratusan tahun ke depan. Kita akan membangun banteng terkuat. Melatih pasukan terhebat. Memiliki pasokan makanan yang memuaskan. Menanam puluhan jenis makanan. Itulah yang kalian perjuangkan hari ini."
"Jangan ragu untuk membunuh, karena Bangsawan tidak akan ragu sedikit pun. Penuhi pedang dan tombak kalian dengan darah. Kumpulkan semua dendam, amarah, dan kebencian di tangan kalian, lalu cabutlah nyawa mereka tanpa rasa kasihan!"
Kalimat Raja Josuan membuat para pasukan bersorak. Mengangkat pedang dan tombak ke langit. Meneriakkan kata-kata semangat. Berbahagia sekaligus termotivasi. Aku tersenyum menyaksikan. Ketakutan telah menjadi kekuatan. Saat Bangsawan sadar, Himala akan jatuh ke tangan para Bawah.
Namun, jauh di lubuk hati, aku tidak percaya kalau Himala dibiarkan tanpa penjagaan. Bangsawan memang sudah lama tidak berperang. Namun dari buku-buku yang kubaca, mereka tidak pernah meninggalkan kota dalam keadaan lemah. Aku ingin menyampaikan firasatku, tapi itu akan menghancurkan momen semangat ini. Mungkin aku berpikir terlalu jauh. Mungkin ini hanya setitik rasa gentarku karena terlalu mengagumi kekuatan para Bangsawan dari buku-buku sejarah.
Sekarang giliran Miller untuk mengucapkan khotbah perangnya. Tubuh besar dan kekarnya membuat para kaum Bawah tercengang. Bahkan sejak kedatanganku dan para raksasa, kaumku berbisik-bisik sesama mereka, membicarakan keberadaan raksasa yang sangatt menakjubkan.
"Aku telah membawa pasukan terbaik dalam sejarah umat manusia. Saat Bangsawan brengsek itu melihat prajurit raksasa, mereka akan mati karena kaget," kata Miller membuat seluruh kapal tertawa.
"Kami bertanya-tanya kepada tuhan, mengapa para raksasa dibiarkan hidup ratusan bahkan ribuan tahun, padahal kami hanya orang Bawah yang hidup susah dan sekarat. Namun hari ini, Jagat dan Raja Josuan datang menyampaikan amanah tuhan, bahwa kami diizinkan bernapas lama untuk menginjak peradaban Berlian yang sudah semena-mena. Bahwa para raksasa hidup sampai hari ini untuk ikut menyertai kaum Bawah menuju era kebangkitan."
Kami hanya diam.
"Kita akan menyerang saat malam, lalu ketika para Bangsawan membuka mata untuk sarapan, Himala telah berada di tangan kita!"
Lalu gemuruh tepuk tangan pecah di tengah lautan. Miller menghentakkan kakinya di badan kapal raksasa. Terompet perang telah dibunyikan. Senja hilang. Lalu malam datang membawa kehangatan. Menggiring para pasukan meuju kemenangan, atau mungkin kejatuhan.
Raja Josuan menyuruhku menyampaikan kata-kata. Dia menyakini bahwa kaum Bawah akan lebih bergairah jika prajutit terkuatnya ikut bicara.
Aku mengangkat pedangku. Menatap sekeliling. Tidak banyak yang kukatakan. Hanya sebuah kebenaran.
"Kaum Bawah telah kalah selama ribuan tahun, kita kalah tanpa melawan. Kita sudah kalah seumur hidup kita. Maka satu kekalahan lagi tidak akan membuat kita gentar. Hari ini, jika kita tidak mendapat kemenangan saat ratusan pasukan kita jatuh, maka kita akan merobek langit dan merebut kemenangan dari tangan tuhan. Kita tidak akan menyerah hingga tuhan mencabut nyawa kaum Bawah sampai tuntas!"
Gemuruh semangat yang kaumku rasakan cukup besar. Wajah-wajah tersenyum. Dada kami dipenuhi rasa bangga. Seribu lima ratus pasukan berlayar mendekat ke Himala. Kami datang dengan segenap kekuatan, Bangsawan tidak bisa diremehkan.
Puluhan kapal perang merapat ke tanah Himala. Kami bergerak dalam diam, seperti hantu. Tidak ada yang melihat kedatangan kami. Malam itu terasa sepi saat kami sampai di tanah Berlian, tanah nenek moyang.
Raja Josuan memimpin pasukan di depan. Membawa 200 prajurit terbaiknya termasuk aku, lalu Miller membawa lima raksasa terkuatnya. Strateginya adalah menciptakan serangan dadakan. Para raksasa dan ratusan kaum Bawah lain akan menunggu sinyal di tepi laut. Jika kami menyerang Himala dengan semua pasukan, itu bisa menyebabkan kepanikan. Kabar penyerbuan akan sampai ke Nersia dan Julister. Lalu tersebar ke seluruh Berlian. Hal terakhir yang kami inginkan adalah berperang dengan seluruh Berlian.
Kami sampai di depan banteng pertahanan Himala. Bersembunyi di belakang pohon-pohon lebat. Menyaksikan keadaan sekitar untuk menilai waktu terbaik menyerang.
Ada sepuluh penjaga yang berjalan di atas benteng pertahanan. Mereka menghabiskan malam dengan rasa bosan karena tidak mengira akan ada penyerangan. Setelah menyakini kalau situasi dalam genggaman kami. Raja memberi perintah. Aku diutus untuk membuka gerbang benteng dari dalam. Bersama dua puluh pasukan, aku berlari tanpa suara ke arah benteng. Menempelkan tubuh di dinding besar Himala. Lalu menunggu dua raksasa bertubuh tinggi maju dalam diam.
Kami tidak membawa tangga. Para raksasa ini mengangkat tubuhku. Aku menaiki benteng dengan belati di genggaman. Saat pijakan kakiku menyentuh bagian atas benteng, seorang penjaga melihatku. Dia mati tertikam belati sebelum sempat meneriakiku. Lalu para pasukanku juga muncul. Menaiki benteng. Membunuh sembilan penjaga lain tanpa ampun. Hanya dua pasukan kami yang gugur.
Bangsawan, kami telah sampai!
KAMU SEDANG MEMBACA
Perang Berlian [END]
AcciónBerlian adalah bagian bumi yang terasingkan, di sana berdiri beberapa kerajaan, mereka percaya bahwa umat manusia ini dibedakan dengan ras dan golongan. Jagat seorang kaum Bawah, ras yang mengabdikan diri menjadi petani, kuli, tukang, suruhan dan pe...