30. Kebodohan

4 0 0
                                    

Beberapa jam sebelum matahari terbit, aku memastikan lima letnanku berada di posisi masing-masing. Aku menyuruh mereka berjaga sambil berdiri, dilarang duduk karena bisa ngantuk atau malah tidur. Setelah semua terkendali, aku meninggalkan mereka untuk menyisir jalan di depan, memastikan semua aman supaya besok pagi kami bisa berpergian lancar.

Tidak ada apa-apa di sepanjang jalan. Hanya beberapa pohon tumbang yang harus dipindahkan supaya kami tidak perlu memutar. Aku berjalan cepat, letnan-letnanku menyeimbangi dengan mata lelah. Mereka hanya bersemangat separuh jalan, lalu merasa bosan. 

Aku berani meninggalkan kaum Bawah bersama dengan lima letnanku karena aku yakin tempat yang kami tempati itu aman. Tidak ada tanda-tanda bahaya. Aku bahkan sudah mengeceknya sendiri saat pertama kali tiba sebelum bocah-bocah ini memintaku menjadi pelatih mereka. 

Kami tidak boleh pergi lebih jauh. Jalan-jalan yang akan kami lalui besok terlihat aman saja. Aku masih harus berada dalam jangkauan jika lima letnanku berteriak tanda bahaya.

Kira-kira dua jam lagi sebelum fajar muncul. Aku membawa empat letnanku ke dalam hutan. Stok makanan kami menipis. Aku harus mencari beberapa makanan. Sebenarnya aku bisa mencarinya sendiri, tetapi aku mengajak mereka agar bisa mengajari mereka cara bertarung dan berburu.

Saat kaki kami sampai di pohon paling luar hutan. Aku mengambil pisau dan mengukir angka 1 sebagai tanda. Aku memberi arahan, jika nanti kami tidak sengaja terpisah, maka carilah angka-angka yang ada di pohon ini. Angka 1 adalah tempat kami akan berkumpul. Semakin besar angkanya, maka kami berada semakin jauh.

Kami belum menemukan apa-apa. Ini sudah pohon nomor 7. Tidak satu hewan pun berada di hutan ini. Bahkan sungai dan sumber air bersih pun tidak ada. Aku terus maju. Keempat letnanku berjalan di belakang mencoba menyeimbangi langkahku.

Mereka terlihat bosan. Saat sampai di pohon ke 11, aku mengajari mereka cara melempar pisau.

"Kalian lihat pohon itu," kataku , lalu melempar belati. Tap. Menancap dengan sempurna.

"Sekarang giliran kalian," kataku. Mereka menggenggam pisau masing-masing. Melemparnya. Lalu gagal. Gagal terus hingga kesempatan kelima.

Aku mengambil belati lagi. "Pegang dengan yakin, anggaplah pisau ini sebagai bagian dari tangan kalian. Saat membidik target, bayangkan di kepala kalian bagaimana pisau bisa menancap mulus di badan pohon. Lakukan simulasi di otak.  Lalu tanpa ragu-rapu, gunakan kekuatan kalian, lempar, dan boom, kalian akan berhasil."

Mereka semua mengangguk

Army maju duluan, lalu diikuti letnan-letnanku yang lain. Semuanya gagal. Ini kesempatan kesepuluh.

Aku hanya berdiri mengamati mereka melempar pisau ke tanah. Mataku melirik sekeliling untuk mencari buruan. Barulah setelah beberapa lama, Elijah berhasil. Dia tersenyum kecil. Teman-temannya bertepuk tangan. Elijah cuek saja, jalan ke pohon, dan menarik pisaunya. Dia mengambil posisi lagi, terus berlatih melempar.

Akhirnya, aku mendengar ranting patah, dedaunan rendah bergoyang karena ada yang melewatinya. Aku berjalan pelan supaya tidak membuat kepanikan. Aku memberi tanda agar para letnanku tidak berisik. Saat aku berada di balik pohon, aku bisa melihat seekor rusa cantik. Tubuhnya besar. Itu makanan yang layak diburu.

Aku mengambil ancang-ancang. Belati kupegang dengan kuat. Bidikanku sudah pas. Aku menghitung di dalam hati. Tiga. Dua. Satu.

"Bang, aku aja," kata Army berjalan menghampiriku.

Aku meliriknya sebentar, lalu saat mau melempar belati, ternyata rusa itu sudah kabur. Langkah kaki Army berisik. Aku mengumpat. Sial.

"Ayo kejar," kataku memberi perintah.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang