Seluruh Kaum Bawah bersiul mengejekku. Solusi yang kutawarkan membuat bulu kuduk mereka bangkit. Ketakutan, kegelisahan, dan trauma menggerogoti jiwa orang-orang ini.
Bagi mereka, Bangsawan adalah penguasa, algojo, dan malaikat maut. Tidak ada kesempatan hidup jika berperang dengan Para Berlian. Sejarah masa lalu belum dilupakan dan akan terus diingat sampai kapan pun. Aku mengutuk diri sendiri, betapa kaumku adalah orang yang lemah sekali. Ribuan tahun yang lalu Bangsawan menanam rasa takut dan bersalah di hati kaum Bawah, itu berlaku sampai hari ini. Tetapi tidak kepadaku.
Di eraku ini, aku akan membangkitkan kaum Bawah.
"Kau sudah gila, Jagat!"
Erwin membanting gelas ke lantai. Muak dengan mukaku yang dianggap sok jadi pahlawan. Goldey membisikkan telingaku, memastikan aku tidak gila karena mungkin terkena benda tumpul di kepala saat menjarah. Aku melihat sekeliling, mereka semua putus asa dan saran yang kuberikan hanya mempercepat kejatuhan orang Darxon.
Namun ada dua orang yang masih memiliki keyakinan. Aku melihat Raja Josuan dan Darrel menatapku bingung. Mereka meminta penjelasan, alasan, dan kemungkinan jika memutuskan untuk menyerang Berlian. Raja mengangguk ke arahku sendiri. Tidak dilihat orang lain. Apa yang kupahami dari anggukan itu adalah tanda setuju. Bahwa Raja Josuan ingin mengambil solusiku, namun dia terlalu takut untuk menjelaskannya kepara para rakyat.
Terlalu sulit bagi pemimpin untuk membuat keputusan yang tidak masuk akal bagi rakyatnya. Hal itu beresiko kehilangan kepercayaan kaum dan dikira jadi gila. Karena aku yang menyulut api kebangkitan, aku pula yang akan mengatakan bahwa di dunia yang egois ini, tidak ada yang mustahil.
Aku maju ke atas meja yang berada persis di tengah aula. "Kita tidak punya pilihan. Satu-satunya solusi adalah menjarah daerah yang kaya, resikonya terlalu buruk karena kita akan kehilangan banyak orang dan belum tentu mendapatkan harta..."
"Lalu apa bedanya menyerang Berlian, kita tidak akan kehilangan orang-orang ini?" Erwin memotong penjelasanku.
"Bedanya adalah tujuan kita menyerang," aku berhenti sejenak agar terlihat tenang. Namun orang-orang tidak berhenti memotong kalimatku dan menyerbuku dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkan oleh rasa takut.
Aku menghentakkan kaki di atas meja. Bunyinya keras dan membuat seisi aula terdiam. "Izinkan aku menjelaskannya sampai selesai!"
Aku menghela napas. Apa yang akan kukatakan berikutnya bisa menjadi semangat atau malah ketakutan.
"Tujuan kita menyerang pulau orang kaya adalah untuk mencari harta jarahan. Kita menyerang orang lemah yang tidak bersalah dan mengambil perak mereka. Itu hanya bertahan dua bulan, lalu pergi menjarah lagi. Lagi dan lagi sampai kita kehabisan barang jarahan seperti yang kita alami saat ini."
"Namun tujuan kita menyerang Berlian jauh berbeda. Ini bukan tentang harta. Kita tidak akan menyabet gelar pencuri, perampok, atau penjarah karena Berlian adalah rumah. Berlian adalah sejarah. Dan Berlian adalah darah yang mengalir di pembuluh kaum Bawah." Aku mengulang kata-kata itu seperti seorang politisi yang mendramatisasi sebuah kampanye.
Orang-orang di aula masih belum menyukai ideku. Meskipun jauh di lubuk hati mereka, ada percikan api semangat yang mulai muncul.
Raja Josuan berdiri dan bertanya, "Menyerang Berlian bukanlah sebuah penjarahan. Melainkan sebuah perang, atau lebih layak disebut pembantaian."
Kaum bawah saling sahut membenarkan perkataan raja mereka. "Apa yang membuatmu yakin?" tanya raja akhirnya.
Aku tersenyum. Seolah aku yakin akan membawa kemenangan. "Kita adalah orang yang kuat jika datang ke pulau lain. Namun sayang kita jadi orang lemah saat disandingkan dengan Bangsawan. Apa yang membuat mereka lebih kuat? Fisik? Kekayaan? Sejarah?"
"Ketakutan," jawab Darrel pelan.
"Itu dia!" Aku menunjuknya. "Ketakutanlah yang melemahkan semangat kita. Aku membunuh dua orang penjaga Bangsawan yang mengejar kami di hari keberangkatan ke Pulau Kemarau. Aku tidak takut. Aku marah. Namnu kemarahan itu menguatkanku."
Orang-orang yang hadir menggeleng tidak percaya. Darrel mengiyakan. Namun itu semua tidak penting. Mereka bisa melihat mataku dan mengetahui kalau ini semua adalah fakta yang nyata.
"Jika kekayaan yang kita cari, aku setuju untuk tidak datang ke Berlian. Namun jika kali ini yang akan kita cari adalah kekayaaan, kejayaan dan masa depan, aku akan memimpin armada perang ke Berlian! Astaga, itu rumah kita. Kita bisa menaklukkannya, dimulai dengan daerah kecil. Di sana kita bisa hidup enak karena tanahnya mampu menumbuhkan apa saja. Kita bisa bertani. Menghasilkan perak dan mengirimnya ke Darxon untuk keluarga yang memilih menetap di sini."
Aula ini semakin ramai. Kata-kataku membuat mereka tertegun. Goldey mengangkat tangan dan bertanya, "Berapa peluang kita menang?"
Aku terkekeh sedikit. "Melawan seluruh Berlian? Kita semua akan mati dalam dua hari. Melawan Julister? Mungkin kita akan lenyap dalam dua minggu."
"Jangan main-main, Jagat, siapa yang akan kita serang?!" Goldey tidak sabaran seperti semua orang.
"Kita akan menyerang kerajaan kecil di Berlian. Kita tidak akan masuk di gerbang Julister, karena itu adalah ibu kotanya. Tidak juga menjarah jantung Nersia, Xenia, atau Arum. Kita akan menyerang Narnar, itu wilayah yang bagus. Bentengnya tidak sekuat kerajaan kecil lain yang berada di bawah payung Julister. Ada cukup tanah untuk membangun rumah dan berkebun." Aku seperti ahli strategi, kemampuan otakkulah yang menjadikanku begini.
"Narnar itu ibarat anak dari Julister. Kau menyerangnya, Bangsawan lain akan datang!" Seseorang berteriak dari kerumunan.
Aku turun dari meja dan menjawab, "Itulah yang kalian semua pikirkan. Namun kenyataannya, Bangsawan bukan orang yang hidup akur di antara kaumnya. Sama seperti kita yang terpecah belah di penjuru pulau ini. Jika kita menyerang Narnar, Bangsawan memang akan marah. Julister pasti akan ikut campur tangan. Tetapi kita akan mendapat satu poin penting, penawaran. Kita hanya perlu merebut benteng Narnar dan serahkan keputusan-keputusan dibuat oleh raja."
"Kenapa mereka mau bernegosiasi? Akan lebih mudah menyerbu kita dan mengambil alih Narnar," gerutu Darrel.
"Bagus, Darrel," aku memuji, "setiap perang akan memakan korban. Meskipun Bangsawan menganggap kita lemah, tetap saja kaum Bawah mampu menjatuhkan korban dan bagi mereka, nyawa Bangsawan cukup besar harganya. Paling tidak, mereka akan membuat penawaran yang layak."
"Terlalu beresiko," kata Raja Josuan, "perang ini akan memakan korban jiwa lebih banyak di sisi kita, Jagat. Kukira kau tidak akan melewatkan itu."
"Benar, Raja," kataku sopan. "Katakanlah kita menyerang pulau lain, banyak yang akan gugur. Begitu juga jika menyerang Berlian. Pertanyaannya adalah, nyawa Kaum Bawah lebih layak memperjuangkan pulau lain atau Berlian?"
"Tentu saja Berlian." Erwin sependapat denganku, "Aku mebencimu tetapi kali ini kuakui kau cukup cerdas, Jagat."
Aku sama sekali tidak tersanjung dengan pujian itu. "Entah aku ini cerdas atau memang nekat, Erwin. Tapi aku rela mati seribu kali demi mencoba merebut kembali apa yang dari dulu menjadi hak kaumku. Aku memilih jalan yang berbahaya karena bagiku, adalah pilihan bijak untuk memutuskan hidup pendek tapi penuh makna dan karya, ketimbang umur panjang yang hampa."
"Apa yang akan kita lakukan hari ini akan menentukan masa depan kaum Bawah. Dan semoga esok jadi hari yang berbeda."
"Wah, kita punya penyair sekarang," kata Darrel bercanda.
Malam itu, keputusan dibuat. Pilihan yang cukup berbahaya, namun semoga saja itu pilihan yang layak. Ketakutan masih mengendap di hati kaum Bawah meskipun aku sudah berusaha mencabutnya. Sudah lumrah kalau manusia susah untuk berubah.
Kerumunan bubar. Raja menginginkanku tinggal. Begitu pun dengan Darrel, Goldey, dan Erwin.
"Aku hanya akan mengatakannya sekali, dengarlah baik-baik," kata raja kepada kami. "Aku melarang kaumku ke utara Pulau Kemarau karena satu alasan yang jelas."
Aku mengingat beberapa tahun lalu saat ingin ke utara mencari harta dan makanan, namun raja mencegahku. Sudah menjadi aturan di Darxon, kami tidak boleh ke wilayah lain. Di utara, ada sebuah kota bernama Zigala, hanya para kriminal kaum Bawah yang tinggal di sana. Nenek moyang kaum Bawah membuat kesepakatan agar Darxon dan Zigala tidak pernah melintasi perbatasan. Demi menjaga kemakmuran.
"Kaum Bawah di Zigala sudah punah!" Raja Josuan mengungkap rahasia besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perang Berlian [END]
AcciónBerlian adalah bagian bumi yang terasingkan, di sana berdiri beberapa kerajaan, mereka percaya bahwa umat manusia ini dibedakan dengan ras dan golongan. Jagat seorang kaum Bawah, ras yang mengabdikan diri menjadi petani, kuli, tukang, suruhan dan pe...