6. Kebangkitan

13 5 0
                                    

Tentu saja aku terkejut. Aku harus terlihat seperti Bangsawan. Jika dia memintaku menunjukkan bahu kanan, itu artinya kematian. Aku tidak akan selamat keluar dari sini.

"Aku hanya orang biasa jika dibandingkan denganmu, Tuan." Aku menyanjungnya.

Dia hanya tersenyum. Meremehkanku.

Tangan dominanku siap mengambil belati. Rencanaku begini, jika ketahuan, aku akan menaruh belati ini di lehernya, mengancam dan membuat kesepakatan. Raja Julister pasti tidak ingin aku membunuhnya. Meskipun dia dibenci, dia tetaplah garis keturunan kerajaan.

"Bagus, apa Kau mengenalku karena omongan orang tentangku?" Dia tertawa lagi. Matanya yang lelah menatapku.

"Aku mengenalmu dari apa yang kulihat," kataku agak sedikit gemetar.

Serge tersenyum tipis. Melototiku dan kemudian terbahak-bahak, "Jangan terlalu serius, Bro!"

"Apa yang sedang Kau cari? Itu eksekusi seru , kamu malah mencari wanita? Matamu melirik kemana-mana, mending ke rumah bordil aja." Serge merangkul pundakku dengan tangan kirinya.

Aku pura-pura tersenyum. Mau tidak mau, aku terpaksa menyaksikan pembantaian di bawah. Aku harus kuat menyaksikan ini. Tidak boleh mendesis atau merasa ngeri karena aku sekarang harus berlagak menjadi Bangsawan yang dingin.

Kayu-kayu besar dibariskan di bawah. Prajurit Bangsawan menyeret Orang Bawah, baik itu orang tua, anak muda, laki-laki atau perempuan. Mereka dibariskan sejajar dengan kayu-kayu tadi. Kemudian berlutut. Lehernya diletakkan di atas kayu tua. Darah pun terpancar saat mereka dipenggal.

Aku tidak pernah melihat kejadian ini. Mereka membunuh manusia dengan harga yang gampang saja.

Namun aku tidak boleh berkedip. Aku harus kuat. Terpaksa tegar melihat peristiwa ini sebagai hiburan. Tersenyum sedikit dan bersorak seolah aku adalah Bangsawan yang terangsang dengan darah kaum Bawah.

Selang sekian detik setelah itu, ada kericuhan kecil di bawah sana. Di barisan para penonton. Dua orang penjaga berlari kecil menuju sebuah lorong. Seperti sedang mengejar musuh.

Firasatku mengatakan hal baik. Darrel masih hidup. Dia sedang mencuri di bawah, atau setidaknya diaa lagi berbuat onar hingga menarik perhatian.

"Aku akan melihat lebih dekat," kataku kepada Dennis agar diizinkan turun. Dia mengangguk saja. Sibuk dengan bir dan eksekusi di bawah.

Aku menuruni anak tangga dengan cepat. Masuk ke lorong yang sama. Dua orang penjaga berdiri di depan sebuah pintu. Satu orang menempelkan telinga sambil menghitung mundur. Mereka siap mendobrak pintu. Tapi kedatanganku mengejutkan mereka. Mereka tidak mengenalku, hanya berpikir kalau aku ini seorang Bangsawan.

"Maaf, Tuan, sepertinya ada seseorang di dalam sini," kata salah satu dari mereka.

Aku menatapnya tajam. Melucuti nyali mereka. Karena dari kesan pertama tadi, dua penjaga bodoh ini merasa bersalah hanya karena tidak membungkukkan badannya kepadaku.

"Kalian tau ini ruang apa?" Pertanyaan itu untuk menyatakan mereka berada di tempat yang tidak seharusnya. Tapi aku juga ingin tahu tempat apa ini. Mereka hanya mengangguk. Aku memainkan rasa takutnya.

"Jangan-jangan kalian tidak tahu ini ruang apa, seenaknya saja berdiri di sini?" Aku mendekat. Belati kucabut dan kugenggam erat, siap menggorok kedua leher penjaga. Mengancam.

"Ini ruang makan para petinggi kerajaan." Keduanya menjawab, tidak serempak.

"Kami melihat seseorang menuju ke arah sini, Tuan. Mungkin orang Bawah."

Salah satu penjaga mencoba membela diri. Dia gemetar. Aku mengembalikan belati ke pinggang.

"Aku akan membuka pintu. Kalau tidak ada siapa-siapa di sini, kalian harus sudah enyah begitu aku berbalik badan, paham?!"

Aku meninggikan suara. Bukan hanya karena berlagak marah, tetapi agar seseorang yang memang berada di ruang ini bisa mendengar. Lalu bersembunyi.

Dengan pelan kubuka pintu itu. Piring-piring dan gelas perak di atas meja makan memantulkan cahaya. Makanan enak ditata dengan rapi di sana. Ruangan ini seperti surga. Dan beruntung, tidak ada siapa-siapa di sini.

Aku berbalik. Kedua penjaga itu terkencing-kencing berlari meninggalkanku.

Aku mengamankan parameter. Memastikan semuanya aman, lalu menutup pintu.

"Keluar dari sana, Darrel..."

Bocah itu bangkit dari bawah meja. Tangannya penuh dengan makanan. Begitu melihatku, dia menghambur memeluk. Jarang sekali dia ingin merangkul orang.

"Kupikir Kau saudah mati, Jagat."

Dia menangis di pelukanku. Rangkulannya sangat erat. Dia mempunyai tangan yang kuat. Darrel terisak, dia membasuh air matanya dan menceritakan sesuatu yang sudah aku ketahui.

"Rahul sudah mati.... Dia ikut pertarungan itu dan tidak kembali. Aku dan ibu akan dieksekusi. Aku benci mengatakannya, tapi kakakku itu bodoh!" Darrel menatapku. Tatapan yang begitu lemah. Dia tidak tahu bahwa akulah yang membunuh kakaknya.

Aku ingin menceritakan kebenaran. Tapi sekarang bukan saatnya aku bicara, aku harus lebih banyak mendengarkan kesedihan bocah ini.

Darrel tidak bisa tidur di malam pertarungan. Dia ketakutan. Takut membunuh. Takut dikuasai rasa bersalah. Rahul memeluknya malam itu. Bercerita tentang harapan dan kebebasan. Betapa masa sulit kaum Bawah akan segera berakhir. Menyakinkan adiknya untuk berbuat baik. Tidak mencuri lagi walaupun kepada Kaum Bangsawan.

Hidup ini ada porsinya masing-masing. Beberapa orang tidak akan jahat jika tidak diberi kuasa. Kaum Bangsawan dididik untuk melukai, merendahkan, dan membenci orang Bawah. Wajar saja mereka jahat. Karena bagi anak-anak muda yang cantik dan tampan itu, kaum Bawahlah orang jahat di cerita mereka.

Malam itu Rahul berbicara banyak sampai Darrel tertidur. Saat bangun, ibunya menangis di atas kasur. Mengatakan kalau kakaknya pergi bertarung menggantikan Darrel. Mereka menangis bukan karena Rahul akan kalah dan mereka dieksekusi. Namun karena tidak sanggup membayangkan bagaimana kematian akan menjemput Rahul si baik hati.

Aku mendengar dengan baik. Hatiku digali ke luka yang sama. Darrel masuk ke ruangan ini untuk makan. Setidaknya pernah mencicipi makanan kaum Bangsawan sebelum dipenggal.

Sejak kami bertemu, seleranya hilang. Dia senang sekaligus sedih. Senang karena aku masih hidup dan sedih karena kami tidak akan bersama-sama lagi. Dia yakin akan bertemu Rahul di alam lain.

Darrel beranjak pergi. Ingin menjumpai ibunya di lapangan eksekusi. Mereka akan dibunuh, dan itu semua karenaku. Andai aku tidak membunuh Rahul. Oh, jahatnya.

Aku menarik lengan Darrel. Menatap tajam ke arah matanya yang masih berair. Kupegang erat bahunya. Menguatkan. Memberi semangat. Mengalirkan ketabahan yang akan merubah hidupnya. Hidup kaum Bawah. Kami akan melakukan sesuatu. Kaum Bangsawan mengenalnya dengan pemberontakan. Kami menyebutnya kebangkitan.

"Kita akan menuju ke Pulau Kemarau, Darrel!"

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang