31. Empat Terbaik

3 0 0
                                    

Aku harus mengerahkan segala kesabaranku untuk tidak memukul bocah-bocah ini. Menghadapai tingkah laku mereka membuatku lelah. Seperti mimpi buruk yang kudoakan segera berakhir. Mereka menempatkan nasib kaum bawah dalam bahaya. Namun sayangnya, aku merasa bersalah karena percaya dengan letnan-letnan bodohku.

"Aku menyuruh kalian berjaga di sini sampai aku kembali!"

"Itulah yang kukatakan sama mereka, Bang." Bocah itu menjelaskan. "Tadi pagi-pagi sekali, kami berdebat soal perintahmu. Mereka semua bilang kalau kalian sudah di depan duluan mengamankan jalan, kami Kau tugaskan untuk membawa kaum Bawah yang ada di sini."

Aku hanya mendengarkan.

"Aku letnan kelima, pangkatku paling tinggi di antara mereka. Namun mereka tidak mendengarkan. Bahkan aku bakal dihajar kalau macam-macam dan menghentikan mereka. Aku bisa saja menghentikan mereka, tapi aku tidak suka kekerasan."

Army berdehem. "Tomy sering dibulli, dia tidak bisa berkelahi."

Aku menggeleng tidak percaya apa yang sebenarnya kupikirkan saat merekrut mereka menjadi letnan. Semua telah terjadi. Waktu tidak bisa diubah sama sekali. Satu-satunya cara aku bisa menyelamatkan semua orang adalah menyusul mereka.

Aku berjalan cepat. Setengah berlari karena tenagaku sudah terkuras. Apalagi kapasitas otakku yang tidak sanggup berpikir baik lagi. Aku melirik ke belakang untuk mengecek letnan-letnanku. Hanya Elijah yang berjalan di belakangku. Sementara yang lain masih asyik memaki Tomi.

"Cepat!"

Aku meneriaki mereka dengan lantang. Itu demi melepas semua rasa stres dan depresi yang sedang kualami. Elijah menghela napas. Dia merasa malu punya teman seperti bocah-bocah bodoh itu.

Jalan mulus di depanku terlihat sepi. Sepanjang jarak pandang, tidak ada siapa-siapa. Letnan kelimaku bilang kalau kaum Bawah berangkat pagi-pagi sekali saat matahari baru muncul sebagian. Kami terlambat sekitar dua jam lebih. Itu jarak yang cukup jauh.

Pikiran-pikiran aneh muncul. Bayangkan Kau mengutus ibu-ibu dan anak-anak ke dalam hutan tanpa tuan. Mereka orang lemah, duri saja bisa melukai mereka, apalagi jika ada binatang buas, telebih lagi raksasa.

"Lari, atau kalian kupecat!"

Aku meneriaki bocah-bocah lagi. Mereka nurut. Berlari menyeimbangi agar tidak tertinggal di belakang. Bagi mereka, pangkat letnan yang kuberikan adalah simbol kepercayaan. Terlalu menakutkan jika aku memecat mereka. Aku sendiri tidak paham apa yang sedang kulakukan dengan anak-anak ini. Sangat memalukan jika Goldey dan Darrel melihat kekonyolan yang kuciptakan. Letnan bodoh.

Perjalanan kami cukup lancar. Tidak ada rintangan apa-apa selain stamina, rasa lapar, dan haus. Kami tidak memiliki bekal apa-apa. Semuanya dibawa bersama kaumku yang lain. Meskipun begitu, aku tidak berhenti berjalan sedikit pun. Letnan-letnanku mengeluh, aku meneriaki mereka lagi. Ini adalah hukuman kalau mereka tidak becus.

Berjam-jam berlalu. Matahari turun di balik gunung. Kami berjalan hingga sore hari, namun tidak satu orang pun berada di jalan. Mereka tidak mungkin tersesat. Aku bisa melihat bekas perjalanan mereka. Kami hanya perlu berjalan lurus ke arah Marvil. Hutan-hutan pun tidak terlalu menyeramkan di daerah sini. Tadinya aku menyakini kalau kaum Bawah akan banyak beristirahat di jalan, kami tidak akan beristirahat agar bisa menyusul. Namun ini aneh, mereka tidak beristirahat sama sekali.

Setelah melewati banyak pohon, gunung, dan tanah kering, akhirnya aku melihat sebuah tembok raksasa yang melingkar. Benteng pertahanan. Beberapa bagiannya bolong. Keretakan di mana-mana. Bahkan bagian kiri tembok tinggal separuh. Di bagian depan, aku bisa melihat jalan masuk. Pintu kayu besar telah jatuh hancur berkeping di atas tanah.

Kami sampai di Zigala.

Dikisahkan dahulu Zigala berdiri cantik dengan tembok melingkari kota. Di dalamnya berdiri rumah-rumah kecil. Kebun-kebun segar. Rakyat-rakyat Bawah yang bahagia. Zigala telah berubah. Aku hanya melihat tanah kering, di atasnya bertumpuk serpihan kayu, bekas-bekas kehidupan. Aku pun masih bisa melihat beberapa tulang belulang dan tengkorak. Bauh-bau aneh menusuk hidung.

Aku sampai di pintu masuk. Letnan-letnanku mengikuti di belakang. Menutup hidung mereka karena bau yang kurang sedap. Aku berjalan pelan memberi perhatian ke sekitar. Di tembok bagian dalam, aku melihat bercak merah. Jemariku menyentuhnya, itu darah. Masih segar dan kental. Kaumku pasti di sekitar sini. Ini pertanda baik dan buruk sekaligus.

Aku mengeluarkan pedangku. Memegangnya di tangan kanan. Meskipun bingung, para letnanku memperbaiki genggaman pisaunya. Aku berjalan maju ke depan. Mataku melihat ke tanah. Ada darah yang menetes di sini. Memberi jejak untuk kuikuti. Terlalu banyak darah. Ini bukan luka dari satu orang, mungkin beberapa kaumku telah terluka.

Saat kami sudah berada di tengah-tengah Zigala. Di antara reruntuhan bangunan kayu dan semen, aku berhenti. Seluruh inderaku merespon. Aku bisa merasakan beberapa pasang mata sedang mengintai kami. Letnan-letnanku ketakutan. Mereka bersembunyi di belakangku.

"Jika sesuatu terjadi ke kaumku, akan kulipat gandakan sepuluh kali ke kaummu," kataku sambil memalingkan wajah ke segala arah.

Dentuman benda tumpul tesasa di tanah. Astaga. Itu langkah kaki para raksasa. Dari balik dinding tinggi, 10 raksasa keluar berlari ke arahku. Ukuran mereka lebih besar daripada keluarga Dante. Lalu menyusul 6 raksasa yang lebih kecil yang ukurannya 3 kali dari tinggi tubuhku. Mereka menyeringai maju ke arahku.

Lalu dua raksasa yang lebih kecil muncul.Di antara mereka, kaumku muncul. Aku bisa mendengar jeritan-jeritan. Mereka berjalan tertatih ke arahku. Mata mereka memunculkan ketakutan. Dua raksasa tadi terus mendesak kaumku untuk jalan ke tengah Zigala. Aku hanya bisa melihat mereka kesakitan. Tidak banyak yang bisa kulakukan sekarang.

Kaum Bawah berhenti. Mereka berada 1oo meter dariku. Saat itulah aku mengenali dua wajah. Itu Dante dan Jasper. Mereka mengapit kaumku. Berjaga agar aku tidak macam-macam.

Saat aku ingin mengatakan sesuatu, seorang raksasa lagi muncul. Tubuhnya tidak telalu besar, seperti Jasper. Wajahnya lebih dewasa, tetapi tidak terlalu tua. Para raksasa yang lain melihatnya dengan rasa hormat. Dia menggenggam sesuatu di kedua tangannya. Lalu empat kayu terlempar ke arahku. 

Sial. Itu bukan kayu.

Itu empat letnanku yang terhempas. Mendarat di atas tanah kering. Terpental ke depan kakiku. Tubuh mereka terkulai lemas. Darah-darah keluar dari mulut dan hidung. Raksasa ini tidak main-main. Mereka tidak punya hati. Berani menyakiti anak kecil.

"Aku sudah menunggumu," kata si raksasa. "Letnan-letnanmu ini membuatku tertawa. Empat bocah memimpin rombongan ibu-ibu liburan ke hutan."

Para raksasa lain tertawa. Mereka mengejekku.

Aku tidak bisa asal maju. Terlalu beresiko untuk kaumku.

"Bang," Army berbisik menarik ujung bajuku. "Finn tidak ada di situ."

"Siapa?"

"Finn, letnan kesembilan," jawab Army. "Dia ada di sana, di antara kaum Bawah yang lain."

Aku hanya mengangguk. Itu informasi yang tidak penting.

Ternyata aku salah.

Finn akan menjadi letnan terkuatku.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang